Sastra Masuk Kurikulum: Penyair Sutardji Ditulis Sudah Meninggal

31 Mei 2024 20:08 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud Ristek, Anindito Aditomo, (tengah) konferensi pers soal buku panduan penggunaan rekomendasi buku sastra di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (31/5/2024). Foto: Luthfi Humam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud Ristek, Anindito Aditomo, (tengah) konferensi pers soal buku panduan penggunaan rekomendasi buku sastra di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (31/5/2024). Foto: Luthfi Humam/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Buku panduan penggunaan rekomendasi buku sastra oleh Kemendikbudristek mendapat kritik dari berbagai pihak karena dianggap tidak tepat sebagai bahan ajar kepada siswa.
ADVERTISEMENT
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud Ristek, Anindito Aditomo mengakui bahwa pada buku panduan itu masih ada kekeliruan. Contohnya, kata dia, sastrawan yang masih hidup tapi ditulis sudah meninggal.
“Harus kita akui bahwa ada hal-hal yang keliru termasuk dari para kurator yang menyampaikan surat kepada kami, memprotes mengenai buku panduan itu karena ada kesalahan data,” kata Anindito kepada wartawan di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (31/5).
Anindito tak merinci siapa sastrawan yang meninggal. Namun berdasarkan penelusuran kumparan terhadap buku panduan tersebut, penyair Sutardji Calzoum Bachri ditulis sudah meninggal.
Sutardji Calzoum Bachri. Foto: Teresia May/ANTARA FOTO
Penyair yang bergelar Datuk Seri Pujangga Utama itu tertulis sudah meninggal pada 17 Juli 2020. Padahal, Sutardji saat ini masih hidup dan berusia 82 tahun.
ADVERTISEMENT
Selain kesalahan data, Dito menjelaskan bahwa buku panduan itu juga menjadi banyak dikritik karena di dalamnya terdapat catatan dengan istilah-istilah yang kurang pas untuk khalayak ramai, khususnya untuk dunia pendidikan.
Ia mengatakan memang catatan itu dibuat untuk memberikan peringatan kepada pengajar sebelum menggunakan karya sastra tertentu kepada murid.
“Kemudian ada yang kurang pas dalam cara buku panduan itu memberikan review, cara memberikan komentar, mungkin itu tadi tanpa konteks, yang memotong bagian-bagian tertentu seolah-olah buku itu mempromosikan bullying, mempromosikan kekerasan seksual, padahal sebaliknya,” ungkapnya.
“Jadi karya-karya memang sudah dipilih berjenjang, tentu yang konten sensitif itu kita tempatkan jenjang SMA, tentu saja kami tidak menyarankan konten-konten di SD atau SMP, tim kurator pasti sudah punya kriteria dan mengembangkan metodologi yang bisa dipertanggung jawabkan,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Anindito menyebut program sastra masuk kurikulum ini memang tidak bersifat wajib. Guru diberikan kebebasan untuk memilih untuk menggunakan atau tidak karya-karya tersebut.
“Ini sifatnya alat bantu kalau ada guru, alat bantu supaya ingin menggunakan karya sastra di kelasnya, karya mana nih yang cocok utk SD, SMP,” pungkasnya.