Satu Hakim Bela Kebijakan Benur Edhy Prabowo: Untungkan Negara dan Nelayan

15 Juli 2021 20:24 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi benih lobster. Foto: dok. KKP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi benih lobster. Foto: dok. KKP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, divonis bersalah menerima suap izin ekspor benih bening lobster (BBL) senilai Rp 25 miliar.
ADVERTISEMENT
Ia kemudian divonis 5 tahun penjara, membayar uang pengganti Rp 9,6 miliar dan USD 77 ribu, serta hak dipilih dicabut selama 3 tahun.
Vonis tersebut tidak bulat alias terjadi perbedaan pendapat hakim (dissenting opinion). Satu dari tiga anggota majelis hakim menilai Edhy tak terbukti meminta atau memerintahkan anak buahnya menerima suap.
Hakim yang dimaksud bernama Suparman Nyompa. Hakim Suparman menilai Edhy hanya tidak mengetahui uang yang dipakainya belanja di AS bersama istri, merupakan suap dari pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP), Suharjito.
Terdakwa kasus dugaan suap izin ekspor benih lobster tahun 2020 Edhy Prabowo mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (19/5/2021). Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
Dalam pertimbangan dissenting opinion, Hakim Suparman menilai kebijakan Edhy membuka keran ekspor BBL melalui penerbitan Permen KP Nomor 12/2020, bertujuan baik, yakni meningkatkan penerimaan negara.
ADVERTISEMENT
Sebab ketika BBL dilarang diekspor saat era Menteri KP Susi Pudjiastuti, justru banyak penyelundupan yang menimbulkan kerugian negara karena tidak membayar pajak.
Sebaliknya bila izin ekspor BBL dibuka, kata Hakim Suparman, bisa menambah penghasilan nelayan kecil karena dapat menjual BBL, Adapun dari pihak eksportir akan dikenakan pajak sehingga memberi pemasukan bagi negara.
"Begitu pula ahli perikanan ada yang berpendapat akan menguntungkan negara dan nelayan kecil jika diizinkan ekspor BBL. Dengan alasan jika memperhatikan setiap induk lobster dapat bertelur dan menetas BBL antara 800 ribu sampai 1 juta ekor benih, namun yang dapat bertahan hidup hanya sekitar 20 persen karena BBL banyak dimakan predator. Maka dari jumlah 20 persen dipandang tidak menguntungkan dibanding banyak yang mati karena dimangsa predator," jelas Hakim Suparman.
Hakim Suparman Nyompa. Foto: Dok. Istimewa
"Permen KP 12/2020 diterbitkan bukan karena adanya pemberian uang, hadiah, atau janji dari pihak lain. Hal ini diakui para saksi dan terdakwa lainnya. Permen KP yang diterbitkan terdakwa dapat dipandang clear dan clean, " lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Meski diwarnai dissenting opinion, Edhy tetap dihukum penjara karena terbukti menerima suap. Sebab 2 anggota majelis yang lain tak setuju dengan pendapat Hakim Suparman.
Adapun Menteri KP pengganti Edhy Prabowo, Sakti Wahyu Trenggono, telah melarang kegiatan ekspor benih lobster. Larangan itu ditegaskan dengan terbitnya Peraturan Menteri KP Nomor 17 Tahun 2021.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Muhammad Zaini, menegaskan beleid terbaru itu mengatur larangan memperdagangkan benih lobster ke luar dari Indonesia. Kendati demikian, kata Zaini, penangkapan benih masih bisa dilakukan.
Ilustrasi benih lobster. Foto: Antara/Ardiansyah
"Benih lobster tidak boleh diperdagangkan untuk diekspor. Boleh ditangkap tapi hanya untuk kepentingan riset dan budi daya, ini yang paling prinsip di dalam Permen 17 ini," jelas Zaini.
Zaini melanjutkan, kendati aktivitas penangkapan dibolehkan untuk kepentingan budi daya, aturan terbaru ini memberikan batasan mengenai lokasi budi daya. Kegiatan pembesaran benur hanya boleh dilakukan dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Selain itu, terdapat aturan ukuran lobster yang bisa ditangkap. Pertama untuk jenis pasir harus sudah berukuran 6 sentimeter dengan bobot 150 gram. Sementara jenis lainnya harus memiliki bobot 200 gram dan berukuran 6 sentimeter.
Ia menambahkan, mengenai kuota dan lokasi yang boleh dilakukan penangkapan harus berdasarkan rekomendasi dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan, tidak bisa diputuskan sepihak oleh KKP.
"Kemudian berikutnya alat penangkap yang digunakan bersifat pasif, tidak boleh aktif merusak lingkungan. Siapa yang boleh menangkap adalah nelayan kecil, tidak boleh menggunakan kapal di atas 5 GT. Ini definisi menggunakan UU Cipta Kerja," tuturnya.