Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sawit di Tangan Petani Plasma Transmigran: Kini Replanting Pakai Bibit Unggul
25 Oktober 2024 20:40 WIB
·
waktu baca 7 menitPawito tersenyum semringah saat meninjau kebun kelapa sawit miliknya. Sambil bertegur sapa dengan mandor, dirinya mengecek buah-buah sawit segar yang baru dipanen.
Pria yang tinggal di Kecamatan Kerinci Kanan, Kabupaten Siak, Riau, itu sudah puluhan tahun menjadi petani kelapa sawit. Dia merupakan petani plasma binaan Asian Agri, perusahaan perkebunan dan pemrosesan kelapa sawit berkelanjutan nasional.
Berkat sawit, dirinya mampu mengangkat derajat perekonomian keluarga hingga mampu membawa anaknya jadi sarjana. Kini, kebun sawitnya kian produktif setelah replanting atau penanaman kembali.
Lantas, bagaimana kisah awal dia bisa menjadi petani plasma dan punya kebun yang terus produktif?
Hijrah ke Riau karena Program Transmigrasi
Kehidupan Pawito saat muda sangat berbeda dengan sekarang. Lahir dan besar di Sukoharjo, Jawa Tengah, dirinya mengubah nasib lewat program transmigrasi–PIR Trans–yang diselenggarakan pemerintah untuk meratakan pembangunan. Pada 1989 silam, petani padi itu memboyong istri dan anak pertamanya yang masih kecil ke Kabupaten Siak, ribuan kilometer jauhnya dari tanah kelahirannya.
Tiap transmigran mendapat rumah seluas 6x6 meter dan lahan kebun seluas dua hektare untuk diolah. Kala itu, Pawito masih minim pengalaman soal cara berkebun sawit. Dirinya dan keluarga pun mendapat dukungan bahan pangan selama setahun dalam bentuk beras, gula, garam, hingga ikan asin.
“Di sini kami sudah disiapin lahan, jadi kita juga dipekerjakan di lahan tersebut. Belajar lah ngurusi sawit yang tadinya di Jawa tahunya padi. Sekarang dikenalkan dengan sawit, jadi di situlah kita mulai merawat sawit. Dari mulai nanam, merawat sampai akhirnya sesuai usia konversi dibagikan ke petani,” jelas Pawito kepada kumparan, Senin (3/6/2024).
Pawito dan petani-petani plasma Asian Agri sesama transmigran mendapatkan pendampingan penuh oleh Asian Agri sebagai pihak swasta yang bekerja sama dengan pemerintah. Sambil menunggu pohon sawit siap panen, mereka mendapat dukungan pangan dan mata pencaharian alternatif.
“Dari awal kita sampai di sini, terus bersosialisasi kita dibina oleh Asian Agri. Pendampingannya cara bekerja sesuai standar untuk mengurus kebun sawit. yang tadinya kita tidak tahu, kita dikasih arahan, dipekerjakan (di kebun sendiri) bagaimana cara mengurus sawit yang baik,” kata Pawito.
“Nah, itu usia empat tahun kebun kita dikonversi, kebun itu diserahkan. Jadi terserah kita urus, masing-masing petani ngurus kebunnya. Ngurus itu tanda kutip, dipekerjakan di kebun sendiri. Sekarang kita bekerja di kebun kita sendiri,” tambahnya.
Berbeda dengan tumbuhan padi yang ditanam kembali usai panen, sekitar 3-4 bulan sekali, sawitnya bisa terus berbuah dan baru ditanam kembali (replanting) setelah 25 tahun karena sudah tidak produktif. Sawit tua berusia 25 tahun ke atas, menurutnya, produksinya terus menurun. Sementara biaya perawatan terus naik.
Masa replanting membutuhkan waktu bertahun-tahun agar pohon sawit tumbuh dewasa dan dapat dipanen kembali. Di masa penantian ini, petani seperti Pawito mencari cara untuk mendapat penghasilan tambahan.
“Kami diberi pelatihan-pelatihan, bagaimana nanti menutup (mengisi) waktu kita mengadakan replanting generasi kedua, bagaimana untuk menambah income. Saat kebun di-replanting dari mana income kita? Di situlah diberi pelatihan-pelatihan oleh perusahaan,” kata pria kelahiran Sukoharjo itu.
Pelatihan yang diberikan Asian Agri misalnya soal budidaya ikan atau menanam sayur. Ada juga petani yang dibekali dengan kemampuan beternak sapi dan kegiatan lainnya.
“Secara pribadi, kebutuhan rumah tangga itu banyak. Jadi dari situ yang saya coba sendiri daripada kita ke pasar, kalau bisa kita tanam cabai 1-2 pohon, itu bisa mengurangi biaya sayur. Lauk pauk, umpama ikan, kita buatlah kolam-kolam,” kata dia.
Replanting dengan Bibit Unggul
Penanaman kembali kebun sawit Pawito menggunakan bibit unggulan Topaz dari Asian Agri. Nah, bibit ini menghasilkan buah sawit dengan daging tebal sehingga minyaknya banyak.
Berbeda dengan pohon sawit generasi satu sebelum replanting, pohon sawit dari bibit Topaz mempunyai ukuran yang lebih pendek. Ini memudahkan petani untuk memanen maupun perawatan rutin.
Petani yang sudah replanting seperti Pawito, merasakan manfaat sawit dari bibit Topaz yang jauh lebih produktif. Hasilnya pun jauh lebih menjanjikan.
“Kalau saya lihat gen pertama dulu, di usia (pohon) seperti sekarang 8 tahun, produksinya belum bisa mencapai seperti sekarang. Kalau sekarang rata-rata produksi, kalau saya ambil rata antara 3,5 sampai ke 5 ton per bulan per kebun. Per kavling lah,” ujar Pawito.
Petani yang aktif jadi anggota koperasi unit desa (KUD) sawit ini menjelaskan hasil yang melimpah itu tak seperti hasil sawit sebelum replanting. Pawito bercerita, dahulu untuk mencapai rata-rata 5 ton per kavling sangat sulit, maksimal dapat 3 ton.
Kini, sawit berperan besar dalam mengubah kehidupan keluarga Pawito. Harapannya untuk mengubah nasib jadi lebih baik di perantauan, itu benar adanya. Dirinya mampu menyekolahkan anak hingga ke jenjang pendidikan tinggi.
“Kalau saya hanya SD, anak bisa meningkat jadi lulusan dari kuliah. Kalau rumah, tadinya ya hanya rumah kayu dari pemerintah yang ukurannya 6x6, sekarang udah agak bagus beralaskan keramik. Kendaraan dulu palingan sepeda motor, itu aja sudah bagus. Sekarang ya sudah ada roda empat,” jelasnya.
Tiga anaknya bekerja di bidang yang tak jauh-jauh dari sawit. Anak pertama Pawito bekerja di bidang transportasi mengangkut tandan buah segar (TBS). Anak keduanya mengurus kebun sawit, sementara si bungsu sarjana akuntansi, bekerja di KUD–kerja sama dengan Asian Agri.
Kebun Sawit di Tangan Generasi Kedua
Para petani plasma generasi kedua–layaknya anak Pawito–berperan menjaga kebun sawit terus bergerak berkelanjutan. Beberapa dari mereka merupakan generasi millenial. Salah satu petani gen 2 ini adalah Sukron.
Pada 2019, usai menyelesaikan kuliah S1 di jurusan Teknik Informatika, alih-alih bekerja di sektor TI, dirinya langsung turun mengurus kebun sawit yang mulanya dikelola oleh orang tua. Hasil kebun itu selama ini mampu menghidupi keluarga, bahkan membantunya berkuliah.
“Karena memang orang tua saya itu pendapatan utama di sawit, ada beberapa hektar, kan. Jadi saya memutuskan untuk melanjutkan itu dari orang tua,” kata dia kepada kumparan dalam kesempatan terpisah.
Pengelolaan kebun sawit tersebut sejak awal sudah bermitra langsung dengan Asian Agri. Sukron bercerita, kini mulai jarang ada pemuda yang mau meneruskan pekerjaan orang tua–petani sawit generasi pertama–untuk mengelola kebun.
“Di saya pasti (ada kesulitan) lah. Karena kalau anak muda sekarang mana ada yang mau untuk terjun ke dunia kelapa sawit. Tapi menurut saya ini potensi, loh, kelapa sawit itu potensi,” kata Sukron.
Menurutnya, saat ini tantangan yang dihadapi adalah kurangnya tenaga kerja muda di lapangan. Mereka, kata Sukron, tak berminat karena kurang menyadari potensi sawit.
Potensi itu, maksudnya, sawit yang berasal dari kebun warga tak cuma bisa diproses menjadi minyak goreng saja, melainkan juga menjadi berbagai produk ekspor, seperti bahan kosmetik hingga bahan bakar kendaraan. Adanya sawit, kata Sukron, mampu mengangkat derajat ekonomi masyarakat Siak.
Terkait kebun sawitnya, Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Bakti Mandiri itu menjelaskan, Asian Agri memberikan pendampingan mulai dari rekomendasi soal perawatan kebun hingga menurunkan mandor sejak dia turun langsung mengurus kebun. Total ada 386 hektar kebun yang ikut program replanting dari KUD-nya. Sementara tahap kedua rencananya akan diikuti oleh 200 hektar kebun sawit.
Bibit sawit Topaz dari Asian Agri yang digunakan di kebun Sukron, sudah bisa dipanen saat berusia 30 bulan. Panen itu pun sudah diterima pabrik.
“Menurut saya, hasilnya cukup memuaskan karena pada tahun pertama panen dalam 1 pokok (1 pohon) bisa membuahkan 16-18 janjang/tahun dengan berat rata-rata 5,1 kg/TBS. Yang melegakan, hasil panen kebun replanting kami dapat membiayai perawatan kebun untuk tahun ketiga masa TBM. Sehingga anggota KUD sangat terbantu tidak perlu meminjam dan dari bank untuk membiayai perawatan kebun pada tahun ketiga masa TBM,” jelas Sukron.
Head of Partnerships Asian Agri Rudy Rismanto menjelaskan produktivitas bibit Topaz jauh lebih unggul daripada bibit sebelum kebun di-replanting.
“Keunggulan dari bibit Topaz itu adalah produktivitas yang tinggi dan pada umur tanaman 30 bulan sudah dapat menghasilkan TBS. Hal ini terbukti, sudah ada pemberian penghargaan terhadap pencapaian produktivitas tertinggi. Saat itu adalah 19,19 ton per hektare,” ujarnya.
Bersama-sama KUD, Asian Agri hadir mendampingi petani dalam menerapkan best management practice, termasuk soal penentuan harga. Tujuannya tentu agar pengelolaan kebun lebih baik. Selain itu, proses penanaman hingga panen bisa terus berkelanjutan.
“Ada kendala apa di lapangan yang perlu kita perbaiki bersama, kita lakukan, kita diskusikan, sehingga nanti sama-sama membuat satu kunjungan di lapangan melihat apa-apa saja yang harus diperbaiki. Sehingga, harapan bersama itu nanti ada produktivitas yang lebih baik,” imbuh Rudy.