Sebab Angka Perceraian Meroket di Jazirah Arab

26 Juli 2017 19:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Infografis Tren Perceraian Negara Arab (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Tren Perceraian Negara Arab (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Namanya Farah. Di usianya yang baru 19 tahun, Farah telah menyandang status janda. Sementara anak dalam pangkuannya saat itu baru berusia 11 bulan. Pernikahannya hanya bertahan 2 tahun.
ADVERTISEMENT
Pernikahan yang akhirnya kandas itu merupakan hasil perjodohan yang dirancang orang tuanya. Perantara perjodohan biasa dilakukan oleh saudara atau kerabat. Mereka bertugas untuk mengecek dan menimbang masa depan perekonomian si calon mempelai pria, sifat dan sikap, tentu saja termasuk penampilan fisik.
Ketika kedua orang tua setuju, maka mereka akan mempertemukan calon mempelai pria dan wanita di satu ruangan. “Jangan tunjukan kelemahanmu,” begitu pesan yang biasa disampaikan orang tua pada calon pasangan pria yang akan bertemu.
Farah menceritakan saat itu ia tertarik dengan ketampanan calon yang dikenalkan padanya. Apalagi mengetahui ia berasal dari keluarga baik-baik dan cukup terpandang, serta memiliki sopan santun.
Namun usia Farah barulah 17 tahun. Ia tak tahu pernikahan seperti apa yang akan ia jalani, termasuk soal hubungan seksual. Ia tak pernah diajarkan hal-hal yang dianggap tabu itu, baik di keluarga ataupun di sekolah.
ADVERTISEMENT
Ia hanya tahu bagaimana mengatur pengeluaran dan pemasukan ekonomi keluarga. Itulah satu-satunya yang ia pelajari sebelum menikah.
Calon suaminya tak keberatan ketika Farah menyatakan keinginannya untuk tetap melanjutkan pendidikan. Tapi tentu saja itu semua berubah saat adanya kehadiran buah hati. Farah tak mungkin melanjutkan pendidikannya.
Namun selama dua tahun itu, Farah menyadari ia tak mengenal suaminya. Apalagi suaminya jarang berada di rumah, jarang menunjukkan perasaannya. Farah merasa tertekan. Ia berujar “Aku ingin seorang suami yang mampu menceritakan ketakutannya, kekhawatirannya, dan keinginannya.”
Tak tahan dengan kurangnya komunikasi terjalin dan perasaan tertekan, Farah pun mengajukan perceraian.
Abu Dhabi, kampung halaman Farah, memiliki tingkat perceraian tertinggi di antara kota lainnya di Uni Emirat Arab. 40 persen pernikahan berakhir di sidang perceraian. 50 tahun lalu, tingkat perceraian di kota tersebut hanya empat persen.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan laki-laki yang cukup mengatakan “Aku ceraikan kamu” dan tanpa persetujuan pihak lain untuk berpisah dari perempuan, perempuan harus mengajukan perceraian ke pengadilan lalu menanti persetujuan pihak orang tua dan suami yang diceraikan. Jika tidak disetujui, maka ia belum bisa dikatakan bercerai.
Perempuan yang mengajukan cerai juga harus mengembalikan semua hadiah pernikahan dan membayar sejumlah denda.
Uni Emirat Arab tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat perceraian tertinggi, terutama di wilayah Timur Tengah, yakni sebesar 46 persen. Negara tetangganya, Arab Saudi, tak kalah hebat. Pada 2016, tercatat rata-rata 5 perceraian terjadi setiap jamnya.
September 2016, perceraian di Saudi mencapai 127 kasus per hari. Di Jeddah misal, berdasarkan data Kementerian Kehakiman Saudi, tingkat perceraian melonjak 50 persen dibanding pada 2015.
ADVERTISEMENT
“Saya pikir perceraian banyak terjadi di pernikahan karena perjodohan,” ujap Daad Alhakam, warga Arab Saudi, seperti dikutip dari The Media Line. “Juga anak muda sekarang tidak bertanggung jawab dan tidak menghargai kesakralan pernikahan itu,” lanjutnya.
Seorang pengacara hukum perdata yang banyak menaangani kasus perceraian, Jana --nama samaran-- mengatakan, “Di Arab Saudi pernikahan banyak terjadi karena perjodohan, mereka tidak mengenal satu sama lain ketika menikah.” Kebanyakan kasus diinisiasi oleh perempuan.
Para perempuan mengalami tekanan secara emosi. Aturan di Arab Saudi mengizinkan poligami --lelaki boleh memiliki istri lebih dari satu. Selain itu, tak ada batasan usia minimal pernikahan. Usia 13 tahun pun sudah diizinkan menikah atau bahkan dinikahkan oleh orang tuanya.
ADVERTISEMENT
Usia belia dengan norma sosial yang dirasa tak adil, terutama bagi perempuan, menjadi faktor penyebab tekanan emosi banyak dialami oleh para istri.
“Norma sosial dan aturan hukum melahirkan banyak istri yang tidak bahagia dan turut serta menyumbang tingkat perceraian yang makin tinggi,” ujar Samar Fatany, Kepala Penyiaran Al Arabiya.
Persoalan lain yang terus dialami oleh perempuan di negara-negara patriarki lainnya adalah kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik, verbal, atau psikis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nation Family Safety Program, satu dari enam wanita di Arab Saudi mengalami pelecehan dan kekerasan baik verbal, fisik, atau emosional. 90 persen pelakunya adalah suami mereka.
Farah yang kini tengah melanjutkan pendidikannya, berharap anak perempuannya nanti bisa menikah karena cinta. “Untuk itu ia harus bisa mencintai dirinya sendiri terlebih dulu,” ujar Farah.
ADVERTISEMENT
“Akan sangat luar biasa jika aku bisa menemukan cinta sejatiku. Tapi jika hal itu tak kunjung datang, aku lebih memilih sendiri daripada menikah hanya di atas selembar kertas,” tutupnya.
Bagaimanapun Farah percaya, perceraian adalah tindakan yang paling dibenci Tuhan.
Infografis Tren Perceraian Negara Arab (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Tren Perceraian Negara Arab (Foto: Bagus Permadi/kumparan)