Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Presiden Singapura HE Halimah Yacob berkunjung ke Keraton Yogyakarta, Rabu (5/2). Dalam kunjungannya, Halimah disambut Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X berserta permaisuri dan putri-putri keraton.
ADVERTISEMENT
Rupanya, bukan kali ini saja Halimah ke Yogyakarta. Sebelum jadi presiden, Halimah juga sempat berkunjung ke Yogya dan menjadi turis.
"Kurang lebih beliau 4 tahun lalu pernah ke sini sebagai turis. Beli tiket sendiri kemudian melihat performance tarian di Bangsal Sri Manganti. Lebih kepada budaya percakapannya. Bahwa beliau itu senang dengan kebudayaan yang ada di Jogja utamanya," kata putri pertama keraton GKR Mangkubumi di lokasi.
Tak hanya bertemu dengan Sultan, dalam kunjungannya kali ini Halimah ditunjukkan beberapa peninggalan bersejarah keraton termasuk juga keris-keris di keraton.
"Tadi kita ada pameran kecil. Di situ kita menjelaskan, kita tunjukkan manuskrip dan wayang. Lalu, ada rampadan yaitu tea set dari Hamengku Buwono VIII. Ada keris juga yang menunjukkan bahwa Yogya penuh dengan heritage dan manuskripnya sudah dari tahun 1855. Jadi, kita tunjukkan heritage yang kita punya di keraton," kata putri keraton lainnya, GKR Bendara.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Halimah juga dipertontonkan tarian Beksan Lawung Ageng, sebuah tari yang menggambarkan ketangkasan prajurit bertombak. Tarian tersebut dibuat Sultan HB I pada tahun 1755.
"Tadi ada Beksan Lawung Ageng. Itu kan dibuat HB I di tahun 1755. Kita juga sampaikan arti dari tarian-tarian tersebut," ujar Bendara.
Bendara menjelaskan, Halimah tampak terkesan dengan kunjungan kali ini. Terlebih Singapura memiliki sejarah yang kental dari Yogyakarta yaitu melalui sosok Thomas Stamford Raffles.
"Singapura punya histori yang lumayan kental dengan Yogya sendiri. Karena, mereka dengan Raffles. Jadi di situ juga saya ceritakan, bagaimana kita punya 300 manuskrip tapi kebanyakan dari Hamengku Buwono III ke bawah. Saat Hamengku Buwono II, Raffles datang dan bawa banyak sekali manuskrip dan akhirnya tersebar ke seluruh dunia. Itu juga jadi point of view dari mereka," katanya.
ADVERTISEMENT