Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Tabulasi real count terakhir yang ditampilkan KPU pada 6 Maret 2024 menunjukkan Prabowo -Gibran unggul telak dengan raupan suara 58,82% dibanding Anies-Muhaimin (24,49%) dan Ganjar-Mahfud (16,68%). Dalam tabulasi tersebut, perhitungan suara telah mencangkup 78,10% dari total 823 ribu TPS se-Indonesia.
Data itu adalah yang terakhir ditampilkan KPU sebelum tabulasi tersebut disetop dengan alasan menghindari spekulasi manipulasi suara. Melihat data tersebut, besar kemungkinan paslon ‘gemoy’ ini bakal memenangi Pilpres 2024 .
Kemenangan telak Prabowo tak lepas dari dukungan Presiden Jokowi yang memasangkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden.
Sejak awal, pasangan dengan dana kampanye terbesar kedua ini telah digadang-gadang hampir seluruh lembaga survei nasional sebagai pemenang pemilu. Selain karena faktor endorse Jokowi, kemenangan Prabowo-Gibran juga tak luput dari gencarnya kampanye lewat media sosial untuk memikat pemilih muda.
Kendati demikian, adanya intimidasi kepada perangkat desa, jor-joran pembagian bantuan sosial, hingga dugaan money politic turut kental mewarnai kemenangan paslon yang didukung koalisi ‘gemuk’ terdiri dari partai Gerindra, Demokrat, Golkar, PAN, PSI, PBB, Gelora, dan Garuda ini.
Terciptanya duet Prabowo-Gibran tak bisa dianggap biasa-biasa saja, melainkan bergabungnya dua kekuatan politik, Prabowo dan Jokowi. Prabowo merupakan mantan menantu Soeharto, pemimpin Orde Baru yang dikenal otoriter ketika memimpin Indonesia selama 32 tahun. Sementara Gibran adalah putra sulung presiden yang maju ketika Jokowi masih menjabat. Kondisi ini dianggap mirip dengan yang terjadi di Filipina.
Dua Dinasti di Filipina
Pilpres Filipina 2022 melahirkan pemimpin baru dengan Ferdinand ‘Bongbong’ Marcos Jr. terpilih menjadi presiden dan Sara Duterte sebagai wapres.
Bongbong merupakan putra mendiang pemimpin diktator, Ferdinand Marcos, yang memimpin Filipina selama 21 tahun (1965-1986). Sementara Sara merupakan anak dari presiden yang masih menjabat, Rodrigo Duterte.
Ferdinand Marcos memiliki sejarah kelam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Semasa dia berkuasa dua dekade, aparat telah menangkap serta menyiksa ribuan orang yang dianggap menentang kekuasaannya. Banyak di antara mereka yang kemudian dibunuh.
Demi mengubah citra ayahnya sebagai pemimpin diktator yang kejam, tim kampanye Bongbong membuat ratusan potongan video lama saat ayahnya memimpin yang telah diedit secara manipulatif. Lalu membagikannya kepada orang-orang di Facebook.
Sebanyak 68% penduduk Filipina merupakan pengguna internet dan lebih dari 92 juta penduduknya terdaftar di media sosial. Ini membuat para pemilih muda yang tidak merasakan kediktatoran era Ferdinand Marcos, merasa yakin apa yang selama ini dituduhkan kepada keluarga Bongbong tidak benar.
Bongbong pun berkali-kali menyerukan persatuan nasional setiap kali berkampanye. Ia meminta masyarakat Filipina tidak menatap kejadian kejam ayahnya masa lalu dengan kemarahan.
Pemilihan presiden dan wapres di Filipina sedianya terpisah, tapi Bongbong memilih menyatukan kekuatan dengan Sara Duterte. Ayah Sara, Rodrigo Duterte, disebut ingin melanggengkan kekuasaan dengan mencalonkan anaknya sebagai cawapres. Mengingat Dutete tidak bisa maju lagi sebagai capres lantaran masa jabatan presiden di Filipina hanya dibatasi satu periode selama 6 tahun.
Di samping itu, muncul desas-desus transaksi politik antara Bongbong dan Duterte. Apabila Bongbong menjadi presiden, Duterte akan dilindungi dari gugatan Mahkamah Internasional atas kejahatan HAM yang pernah ia lakukan selama menjabat. Duterte kala itu mempunyai program menembaki orang-orang yang dicurigai mengedarkan narkoba.
Memilih beraliansi, Bongbong bersama Sara gencar berkampanye ‘gemoy’ di media sosial, Mereka kerap berjoget bersama para pendukungnya dalam kampanye. Di sisi lain, Bongbong minim mengikuti gelaran debat yang diadakan publik.
Kampanye ‘gemoy’ Bongbong dan Sara dengan memanfaatkan media sosial secara maksimal ini tak jauh beda seperti yang dilakukan tim kampanye Prabowo-Gibran.
Sederet survei nasional Filipina sebelum pemilu telah memprediksi kemenangan telak bagi Bongbong dan Sara Duterte yang mengusung narasi keberlanjutan. Elektabilitas tinggi Bongbong dan Sara dalam survei kemudian terealisasi saat hari pemilihan.
Bongbong mampu meraup suara sebesar 58,77% atau sebanyak 31.629.783 pemilih. Capres lainnya, Leni Robredo yang merupakan wapres petahana, meraih 27,94% atau sekitar 15 juta pemilih dan petinju populer dunia Manny Pacquiao hanya memperoleh 6,81% atau sekitar 3,6 juta pemilih.
Sementara Sara Duterte menang secara mutlak dengan suara sebesar 61,53%. Ia unggul jauh dibanding cawapres lainnya Fransiskus Pangilinan (17,82%), Tito Sotto (15,67%) dan Willy Ong (3,59%).
Seperti disinggung sebelumnya, pemilihan presiden dan wapres berlangsung terpisah, tidak disatukan menjadi pasangan capres-cawapres seperti yang berlangsung di Indonesia.
Pecahnya Aliansi Dua Dinasti
Usai memenangi pesta demokrasi itu, Bongbong dan Sara menjadi simbol perkawinan dua dinasti politik Filipina. Hubungan keduanya akrab sejak awal kampanye hingga resmi mengemban jabatan masing-masing. Keduanya sempat membuat vlog bersama usai memenangi pilpres sebagai bukti saling menjaga keakraban.
Namun, sejak awal, banyak pihak memperkirakan bulan madu Marcos-Sara tak akan berlangsung lama. Benar saja, selang 1,5 tahun setelah pelantikan keduanya, dua dinasti politik itu pecah kongsi.
Akhir Januari 2024, tensi perseteruan mereka memanas. Bermula dari Bongbong yang meluncurkan gerakan ‘Filipina Baru’ untuk mengubah konstitusi. Tujuannya untuk memudahkan investasi asing masuk. Tapi upaya perubahan konstitusi berpotensi melenceng dan justru menyentuh persoalan masa jabatan presiden.
Sara Duterte dalam sebuah orasi politiknya menolak perubahan konstitusi tersebut. Bahkan Duterte secara langsung juga mengkritik langkah sekutunya itu. Duterte menilai Bongbong ingin memperpanjang kekuasaannya.
Padahal masa jabatan presiden Filipina maksimal 1 periode selama 6 tahun telah disepakati dalam konstitusi yang diubah usai ayah Bongbong, Marcos, dilengserkan pada 1986. Duterte bahkan menuding Bongbong sebagai pecandu narkoba dan mengancam akan memerdekakan kampung halamannya, Pulau Mindanao, dari Filipina.
Di tengah ketegangan politik itu, Bongbong membantah terlibat konflik dengan Sara Duterte. Ia menegaskan hubungannya dengan Sara masih utuh seperti dulu.
“Uniteam (istilah persatuan partai-partai) bukan cuma soal satu atau dua atau tiga partai. Tapi unifikasi semua politikus, dan berharap semua kekuatan politik di Filipina bisa bersama-sama demi kebaikan bangsa,” ucap Marcos seperti dikutip dari Reuters.
Lantas apakah pecahnya aliansi dua dinasi politik di Filipina bisa terjadi di Indonesia?
Prospek Kongsi Prabowo-Jokowi
Kembali ke Indonesia yang hampir pasti bakal dipimpin Prabowo-Gibran, dalam lipsus edisi ‘Semua untuk Gibran’ pada Oktober 2023, sumber kumparan di lingkaran koalisi Prabowo berujar, penempatan Gibran sebagai cawapres karena Jokowi ingin memastikan Prabowo tetap berjalan pada rel yang benar ketika ia memimpin.
“Menjaga” Prabowo dianggap lebih aman bila berpasangan dengan Gibran, putra Jokowi sendiri. Langkah itu dianggap lebih terjamin ketimbang sekadar mendukung Prabowo bersama cawapres lain atau melalui Partai Solidaritas Indonesia yang kini dipimpin putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep.
Namun menurut sumber di elite Gerindra dan Ketua Tim Kerja Strategis Prabowo-Gibran, Bahlil Lahadalia, pemilihan Gibran sebagai cawapres murni ide Prabowo. Gibran dianggap sebagai perekat koalisi agar tak pecah. Sebab kala itu setiap partai punya jagoan cawapres masing-masing.
“Itu pintar-pintarnya Pak Prabowo saja,” kata Bahlil dalam program Info A1 kumparan.
Dua sumber kumparan di elite Gerindra menyatakan, hubungan Prabowo dan Jokowi begitu solid. Bahkan semakin solid setelah munculnya gerakan hak angket di DPR.
Sumber itu berpandangan, komitmen Jokowi mendukung Prabowo dilandasi tiga kepentingan. Mulai dari menjaga pemerintahan Jokowi agar tidak tersandung potensi hukum selepas purnatugas, keberlanjutan program strategis pemerintah seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, hingga menyelamatkan kepentingan keluarga Jokowi.
Walau demikian, seorang petinggi partai koalisi pemerintah menyebut walau koalisi paslon 02 nampak solid, sedianya partai-partai di dalamnya terbagi dalam dua faksi: faksi Prabowo dan Gibran yang di belakangnya ada Jokowi.
Menurut sumber itu, parpol koalisi pendukung Gibran terdiri dari Golkar, PAN, Demokrat, dan PSI. Sedangkan yang berada di belakang Prabowo adalah Gerindra. Kondisi ini disebut berpotensi menyulitkan Prabowo dalam mengkonsolidasikan pemerintahan.
Wakil Ketua Umum Golkar Erwin Aksa enggan menanggapi adanya faksi-faksi tersebut. “Saya enggak tahu infonya darimana,” kata Erwin di kantornya di Jaksel, Kamis (7/3).
Sementara Demokrat membantah bergabungnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ke pemerintahan lantaran adanya deal tertentu dengan Jokowi. Menurut Demokrat, masuknya AHY ke kabinet karena panggilan tugas negara.
“Ketum [AHY] menyanggupi untuk mengawal pemerintahan ini [Jokowi] bisa soft landing,” kata Deputi Bappilu Demokrat Kamhar Lakumani, Jumat (8/3).
Sumber di koalisi pemerintah tersebut menyebut kubu Prabowo kini coba merayu partai-partai lain untuk bergabung dan membentuk koalisi besar. Salah satu partai yang dirayu adalah PKB yang sebelumnya hampir berkoalisi di Pilpres 2024. Politikus PKB, Yanuar Prihatin, menyatakan hingga kini partainya belum memutuskan sikap politik apakah bergabung dengan koalisi pemerintah atau tidak.
“Kami masih menunggu hasil rekapitulasi suara,” ucap Yanuar.
Seorang petinggi partai koalisi pemerintah memprediksi kongsi Prabowo-Jokowi tak akan lebih dari setahun selepas pelantikan. Sebab di masa itu, Prabowo sudah bisa mengkonsolidasikan kekuatan di bidang keamanan, hukum, dan intelijen.
Sementara sumber elite politik dari orang dekat Prabowo menyebut ketika sudah dilantik sebagai presiden, Prabowo tidak akan mudah ‘didikte’ Jokowi. Prabowo disebut memiliki kepribadian yang mandiri dan tidak mudah diatur.
Adapun sumber kumparan di elite Gerindra menyebut, sekalipun hubungan Prabowo dan Jokowi kini masih baik-baik saja, mereka tetap mengantisipasi kemungkinan terburuk.
Ia berpegang pada keniscayaan politik bahwa tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Terlebih, Gerindra menduga mereka telah ‘dikerjai’ saat Pileg dengan perolehan suara di posisi ketiga, di bawah PDIP dan Golkar, meski ketua umum mereka nyata-nyata menang Pilpres.
Sumber menduga-duga bahwa anomali raihan suara Gerindra di Pileg lantaran ada bargain tertentu untuk tetap membuat suara PDIP paling tinggi. Sehingga diharapkan Partai Banteng bersedia bergabung di pemerintahan Prabowo-Gibran.
Sehari setelah coblosan, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan partainya siap berjuang sebagai oposisi untuk melakukan checks and balances di parlemen.
Co-Captain Timnas AMIN Sudirman Said menilai siapa pun yang nantinya terpilih sebagai presiden, maka suasana kepemimpinan pasti akan berubah. Sebab setiap kali pergantian kepemimpinan akan diikuti gaya kepemimpinan yang berbeda-beda.
“Jadi saya optimistis bahwa umpamanya ini dianggap sebagai suasana yang sumpek secara bernegara. Itu akan ada harapan baru,” katanya kepada kumparan, Sabtu (9/3).
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai, potensi pecah kongsi Prabowo-Jokowi bisa saja menyamai apa yang telah terjadi di Filipina.
Menurutnya, saat Prabowo telah resmi mengemban jabatan presiden, pasti akan banyak kepentingan yang mempengaruhi hubungan dengan Jokowi.
“Apalagi kekuasaan, tidak ada yang abadi. Semua potensi bisa, pecah kongsi atau bulan madu panjang, atau di tengah jalan presiden ganti, atau skenario yang lain itu bisa saja,” jelas Pangi.
Meski demikian, Pangi melihat sejauh ini hubungan Prabowo dan Jokowi masih saling membutuhkan. Hal ini terlihat dari bagaimana Jokowi menerima kebijakan makan siang gratis masuk dalam pembahasan R-APBN 2025.
Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin, menyatakan Prabowo sejauh ini telah teruji loyalitasnya dalam perpolitikan. Hanya saja, dalam politik semua bisa terjadi. Apalagi jika Jokowi ke depan masih akan terus cawe-cawe.
“Kita lihat saja apakah Jokowi-nya cawe-cawe enggak ke Prabowo. Soal kesamaan kepentingan semua politisi sama, kalau sama ya bersatu, kalau berbeda ya berpisah seperti itu,” tuturnya.
Adapun analis komunikasi politik Hendri Satrio berpendapat bahwa tenang atau gaduhnya pucuk kepemimpinan nasional bergantung hubungan antara presiden dan wapresnya. Menurutnya, sejauh ini wapres yang mengerti posisi dan membuat nyaman presiden hanya dua yakni Boediono di masa SBY dan KH Ma’ruf Amin di era Jokowi.
Hendri menilai pecahnya kongsi bisa dihindari jika Gibran nantinya bisa memposisikan diri layaknya wapres. Namun jika Gibran bertindak layaknya Megawati di era Gus Dur atau Jusuf Kalla di masa SBY dan Jokowi, perpecahan politik sulit dihindari.
Terlebih Gibran nantinya diyakini tak hanya berperan sebagai wapres, tetapi juga Ketua Dewan Aglomerasi yang membawahi Jakarta dan sekitarnya. Posisi ini sedang digodok di RUU DKJ dan tengah berproses di parlemen.
“Nanti bisa dilihat peran Gibran jadi Wapres dan menteri-menteri yang jadi jatah Jokowi. Kalau orang-orang Jokowi seperti Erick [Thohir], Bahlil tiba-tiba di-reshuffle, nah itu dia,” kata Hendri dalam program DipTalk kumparan.
Sekalipun faktor Jokowi berperan besar dalam pemenangan Prabowo-Gibran, Hendri meyakini Prabowo akan tegas bila telah memegang kekuasaan. Ia meyakini eks Danjen Kopassus itu akan berupaya menjaga kekuasaannya.
“Jokowi politisi jenius, Prabowo persistence. Keduanya sedang mempersiapkan skenario-skenario. Menurut saya, mirip yang terjadi di Filipina dengan di Indonesia—Filipina antara Bongbong dengan bapaknya Sara (Rodrigo Duterte), di Indonesia bisa saja antara Prabowo dengan bapaknya Gibran (Jokowi),” tutup Hendri.