Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Penculikan aktivis medio 1997-1998 hingga kini masih jadi misteri. Terhitung sudah 21 tahun orang tua korban menanti kabar dari anaknya.
ADVERTISEMENT
Tak lelah, segala cara dilakukan. Bahkan rela setiap Kamis, berpanas-panaskan di depan istana negara menanti kabar upaya pemerintah mengungkap keberadaan aktivis demokrasi yang hilang di era menjelang reformasi itu.
Tangis pecah, saat beberapa orang tua korban bercerita terkait penantian panjang yang belum juga menunjukkan titik terang di Hotel Grand Cemara, Jakarta Pusat, Rabu (13/3). Ibu dari Ucok Siahaan, orang tua dari salah satu korban penculikan, tak kuasa menahan air mata.
Sang suami, Paian Siahaan, mengatakan bahwa Ucok anaknya berdasarkan investigasi Komnas HAM jadi satu dari 13 aktivis yang hingga kini tak diketahui keberadaannya.
"Sudah 21 tahun kami berjuang untuk tahu keberadaan dari anak kami yang berdasarkan penyelidikan Komnas HAM anak saya termasuk orang yang dihilangkan secara paksa tahun 98," kata Paian Siahaan.
ADVERTISEMENT
Paian meyakini harus ada seseorang yang bertanggung jawab atas penculikan tersebut. Ia sudah melakukan beragam upaya mengungkap siapa dalang dibalik penculikan anaknya.
"Kami sudah yakin dan ada hasil penyelidikan itu yang menyatakan itu harus ada yang bertanggung jawab atas penculikan yang dimaksud," ungkapnya.
Hal yang sama diutarakan oleh Budiarti, ibunda dari Leonardus Nugroho Iskandar atau kerap disapa Gilang. Namun, nasib Gilang berbeda dengan 13 aktivis lainnya yang belum diketahui nasibnya.
Gilang merupakan salah satu korban penculikan yang diketahui nasibnya. Ia ditemukan meninggal dunia di sebuah tempat dengan luka tembakan dan sayatan.
"Gilang korban salah satu penculikan 98. Yang dilakukan penculik tidak manusiawi. Gilang diculik, dibunuh, dan jasadnya dibuang di tengah hutan dengan luka tembak," kata Budiarti.
ADVERTISEMENT
Budiarti bercerita, Gilang ditemukan dengan posisi terlentang dengan tangan yang diikat ke sebuah pohon. Terdapat luka sayatan di daerah perut atas, dekat ulu hatinya.
Budiarti heran kejahatan apa yang dilakukan anaknya hingga nasibnya begitu tragis. Padahal, Gilang merupakan seorang pengamen, berbeda dengan aktivis yang hilang lainnya.
"Gilang itu pengamen enggak pernah kriminal tawuran tidak, tapi kok sampai seperti ini. 21 tahun enggak tahu kejelasan pasti kejahatan apa yang anak saya lakukan," katanya.
Lain lagi dengan Marufah, ibunda dari salah satu korban penculikan yang selamat, Faisol Reza. Ia bercerita bahwa pada masa itu, dirinya mendapatkan kabar dari Lembaga Bantuan Hukum bahwa Reza diculik dan tak diketahui keberadaannya.
Marufah saat itu bingung, ia tak tahu harus bagaimana. Ia diminta untuk datang ke Jakarta untuk mencari tahu bersama-sama terkait keberadaan anaknya. Namun saat itu kondisi finansial tak mendukung. Beruntung ada seorang dermawan yang memberi uang untuk ongkos datang ke Jakarta.
ADVERTISEMENT
"Sebetulnya peristiwa ini sudah saya pendam dalam-dalam dan saya berjanji tidak akan keluarkan lagi, tidak akan membuka lagi lembaran ini tapi setelah saya mendengar cerita dari faisol Reza, saya tergugah," katanya.
Marufah mendapat kabar bahwa anaknya diculik saat sedang berada di Rumah Sakit Fatmawati. Singkat cerita, belakangan diketahui ia disekap selama tiga bulan. Dalam penyekapan itu, dia mendapatkan sejumlah siksaan secara fisik maupun mental.
Reza, kata Marufah dibebaskan usai dirinya diketahui seorang warga Nahdatul Ulama. Terlebih dia merupakan seorang santri. Begitu, Marufah menceritakan.
"Saya lihat wajahnya ini enggak karu-karuan, rambut berdiri. Sekujur tubuhnya banyak luka-luka. Dia enggak cerita sampai sekarang. Gimana siksaan Prabowo seperti apa. Kopassus seperti apa," katanya.
Namun Reza menceritakan apa yang ia alami kepada adik-adiknya. Dari adiknya, Marufah tahu apa yang dialami oleh anaknya itu.
ADVERTISEMENT
"Yang paling berat disiksa itu pertama ditidurkan di balok es, dia dan Waluyo Jati (temannya). Ditidurkan di balok es dalam keadaan telanjang. Kedua digantung pakai tali tapi kepala di bawah," ucapnya.
Meski selamat, ia dan Reza masih menemani keluarga korban lainnya mencari keadilan. Ia pun masih menunggu kabar dari Pemerintah terkait pelaku dibalik penculikan para aktivis.
Dalam konferensi pers yang berlangsung lebih dari 2 jam itu, hadir pula keluarga korban lainnya. Mereka adalah Utomo Raharjo, ayah dari Petrus Bimo Anugrah. Kemudian Suyadi, kakak dari Suyat, Wahyu Susilo, adik dari Seniman Wiji Tukul, dan tiga korban penculikan yang selamat yakni yakni Mugiyanto, Faisol Riza, dan Aan Rusdianto.
Menurut data Komnas HAM ada 23 korban penculikan di era itu. Sembilan di antaranya dibebaskan, selain tiga orang yang hadir di acara, adapun enam orang lainnya adalah Andi Arief, Nezar Patria, Pius Listrilanang, Desmond J. Mahesa, Haryanto Taslam, dan Rahardjo Waluyo Jati. Satu orang, yakni gilang ditemukan meninggal dunia. Dan 13 lainnya dinyatakan masih hilang.
ADVERTISEMENT
Muncul harapan, namun tipis
Berjuang 21 tahun, tentu bukan perkara waktu yang sebentar. Namun keluarga korban tidak pernah putus asa. Ditambah baru-baru ini ada pernyataan dari Agum Gumelar yang tahu mengenai penculikan aktivis 98.
"Ketika dari hati-hati dengan mereka (Tim Mawar), di sini saya tahu bagaimana mati orang-orang itu, di mana dibuang saya tahu betul," terang Agum dalam sebuah video yang beredar dan telah ia konfirmasi kebenarannya.
Mugiyanto, yang juga merupakan ketua dewan penasehat Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) menyebut pernyataan dari anggota dewan kehormatan perwira (DKP) saat itu, membawa angin segar. Ia meminta Pemerintah menindaklanjuti pernyataan dari Agum.
"Keluarga korban ingin tahu ada pejabat yang mengatakan tahu, karena itulah kami berharap supaya Pak Agum Gumelar yang mengatakan mengetahui, dan yang lain karena bukan hanya pak Agum saja, ada Kivlan Zein, Fahrurozi, SBY, Wiranto, menyatakan mengetahui menurut kami mereka harus menjelaskan itu ke keluarga korban," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini bola panas ada di tangan Pemerintah. Sebab, hasil investigasi dari Komnas HAM pada tahun 2006 sudah diserahkan kepada DPR. Dan DPR pada 2009 sudah mengeluarkan 4 rekomendasi berdasarkan laporan Komnas HAM terkait penculikan aktivis.
Empat rekomendasi tersebut yakni, pertama, Presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc. Kedua, merekomendasikan Presiden serta institusi pemerintah dan pihak terkait untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang. Ketiga, merekomendasikan pemerintah merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang, dan keempat merekomendasikan pemerintah meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa.
"4 rekomendasi itu belum ditindak lanjuti. Itu yang kami tunggu ditindak lanjuti oleh Pemerintah. Keluarga korban ingin Pemerintah mencari mereka yang hilang ada di mana," pungkasnya.
ADVERTISEMENT