Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Secercah Harapan untuk Aisyah, Korban Tragedi Tanjung Priok
4 Juli 2017 6:54 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Setelah beberapa kali salah jalan menuju rumah Aisyah, akhirnya, melalui kolong jalan Tol Tanjung Priok, tim kumparan berhasil bertemu dengan ibu enam anak tersebut. Saat bertemu, tim kumparan langsung dipersilakan masuk ke rumah Aisyah, yang berjarak sekira 50 meter dari ujung gang sempit di jalan itu.
ADVERTISEMENT
Rumah tak berpintu itu terlihat sempit dan tak layak pakai. Alih-alih menggunakan papan triplek atau kayu untuk dijadikan daun pintu, Aisyah hanya menggunakan gorden berlapis dua sebagai penggantinya. "Ini saya pintu saja enggak punya," cerita Aisyah sambil tertawa, Rabu (21/6).
Aisyah bercerita, rumah tak layak pakai itu kini kondisinya sudah lebih baik. Pada bulan Mei lalu, ia baru saja berhasil memasang atap dari asbes, berkat bantuan dari teman-temannya. Sebelumnya, rumah Aisyah tak beratap dan hampir roboh.
"Dulu tiap malam, kalau tidur sambil lihatin bintang. Sekarang alhamdulillah sudah enggak. Meskipun masih kayak begini," ujar dia.
Aisyah berkisah, semenjak tuntutan sang suami, Wahyudi, tidak terpenuhi di pengadilan tahun 2004 atas kasus baku tembak di Tanjung Priok pada 1984 yang lalu, kehidupan Aisyah semakin memprihatinkan.
ADVERTISEMENT
"Suami saya stres berat, mungkin dia langsung terguncang," ujar perempuan yang guru TK tersebut.
Semenjak kasus itu, suaminya pergi menghilang entah ke mana. Memang, dalam kurun waktu 1-2 bulan Wahyudi sering kembali ke rumah. Namun, kepulangannya tersebut hanya sebentar. "Kadang dia cuma makan saja. Terus pergi lagi. Enggak bisa diajak komunikasi. Dulu sih, awal-awal ngilang saya cariin. Tapi lama-lama capek. Ya sudahlah biarin aja," jelasnya.
Semenjak saat itu, Aisyah harus bekerja keras untuk bisa menghidupi keenam anaknya. Segala macam upaya telah ia lakukan, dari mulai menjadi guru TK, hingga menjadi driver ojek online. "Saya pagi sampai siang ngajar. Habis itu istirahat sejam, terus langsung lanjut narik," tukas perempuan lulusan S1 Sosiologi tersebut.
ADVERTISEMENT
Meski sudah banting tulang seharian demi keluarga, pada kenyataannya, kehidupan yang dijalani Aisyah masih serba berkekurangan. Apalagi, dia harus menanggung biaya sekolah ke-6 anaknya yang tidak sedikit. "Anak saya yang pertama dan kedua kuliah, yang ketiga kerja, yang keempat mau sekolah di Pare, yang kelima mau masuk pesantren. Nah yang keenam, sudah kelas 6 SD," paparnya.
Tanggungan biaya sekolah yang demikian besarnya, membuat Aisyah tidak bisa merenovasi rumahnya yang hampir roboh itu. Kondisi ruangan di dalam rumah begitu sempit dan penuh perabotan ala kadarnya. Sedangkan pada dinding-dinding rumahnya, Aisyah hanya memasang kayu triplek sebagai pengganti tembok.
Kedatangan tim kumparan bukan tanpa sebab. Melalui kitabisa.com, kumparan berhasil mengumpulkan donasi sebanyak Rp 1.042.304 dari 12 donatur. Aisyah mengatakan, ia amat berterima kasih atas bantuan yang sudah diberikan. Uang itu, kata dia, akan digunakan untuk biaya sekolah anak-anaknya. "Alhamdulillah ini bisa saya gunakan buat anak yang mau sekolah di Kampung Inggris, Pare," ucapnya sembari sedikit berkaca-kaca.
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya saya malu dapat bantuan begini. Kan tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Tapi saya yakin ini Insyaallah bermanfaat sekali. Sekali lagi terima kasih banyak," tutur Aisyah.