Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Segmen Megathrust Selat Sunda Mampu Picu Gempa 8,7 M, Patut Diwaspadai
15 Januari 2022 14:50 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Daryono mengatakan, ada potensi ancaman yang lebih besar dan harus diwaspadai. Yakni, segmen megathrust Selat Sunda yang bisa memicu gempa hingga 8,7 magnitudo.
"Gempa Ujung Kulon kemarin sebenarnya bukan ancaman sesungguhnya karena segmen megathrust Selat Sunda mampu memicu gempa dengan magnitudo tertarget mencapai 8,7 dan ini dapat terjadi sewaktu-waktu, inilah ancaman yang sesungguhnya," jelasnya dalam keterangan resminya, Sabtu (15/1).
Megathrust adalah zona jalur lempeng bersubduksi secara panjang namun relatif dangkal. Zona ini terbentuk ketika lempeng samudra bergerak ke bawah menunjam lempeng benua dan menimbulkan gempa bumi.
Di selatan Jawa setidaknya ada tiga zona megathrust, yakni Segmen Jawa Timur, Segmen Jawa Tengah-Jawa Barat, dan Segmen Banten-Selat Sunda.
ADVERTISEMENT
Daryono mengatakan, gempa besar karena segmen megathrust Selat Sunda bisa terjadi sewaktu-waktu, karena wilayah ini belum pernah diguncang gempa sangat besar dan diapit 2 lokasi gempa besar di Pangandaran dan Bengkulu.
"Kapan saja dapat terjadi karena Selat Sunda ini merupakan salah satu zona seismic gap di Indonesia yang selama ratusan tahun belum terjadi gempa besar sehingga patut diwaspadai karena berada di antara 2 lokasi gempa besar yang merusak dan memicu tsunami yaitu Gempa Pangandaran magnitudo 7,7 (2006) dan Gempa Bengkulu magnitudo 8,5 (2007)," paparnya.
Berdasarkan catatan sejarah gempa dan tsunami, menurut Daryono, wilayah Selat Sunda beberapa kali terjadi tsunami, baik karena aktivitas kegempaan maupun gunung berapi.
"Tsunami Selat Sunda pada tahun 1722, 1852, dan 1958 disebabkan oleh gempa. Tsunami tahun 416, 1883, 1928, 2018 berkaitan dengan erupsi Gunung Krakatau. Sedangkan tsunami tahun 1851, 1883, dan 1889 dipicu aktivitas longsoran," rincinya.
ADVERTISEMENT
Upaya Mitigasi yang Konkret
Meski demikian, Daryono memastikan hingga saat ini belum ada teknologi yang bisa memprediksi kapan terjadinya gempa dan tsunami. Hal terpenting yang harus dipersiapkan, kata dia, adalah proses mitigasi yang harus dipahami masyarakat.
"Namun dalam ketidakpastian kapan terjadinya itu kita masih dapat menyiapkan upaya mitigasi konkret seperti membangun bangunan tahan gempa, memodelkan bahaya gempa dan tsunami," terangnya.
"Kemudian menjadikan model ini sebagai acuan mitigasi, seperti perencanaan wilayah berbasis risiko gempa dan tsunami, menyiapkan jalur evakuasi, memasang rambu evakuasi, membangun tempat evakuasi, berlatih evakuasi/drill secara berkala, termasuk edukasi evakuasi mandiri di samping itu BMKG juga akan terus meningkatkan performa peringatan dini tsunami lebih cepat dan akurat," pungkasnya.