Sehari Bersama Pengamen Badut: Mandi Keringat demi Rp 50 Ribu untuk Anak-Istri

28 November 2021 11:26 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Iwan, seorang pengamen badut di Tangerang. Foto: Nadine K. Azura/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Iwan, seorang pengamen badut di Tangerang. Foto: Nadine K. Azura/kumparan
ADVERTISEMENT
Pagi itu Iwan sudah siap bekerja dengan kostum boneka badut pesta ulang tahun berwarna merah mudah cerah. Hanya saja, bukan ballroom mewah atau restoran cepat saji yang jadi tempatnya mencari nafkah.
ADVERTISEMENT
Di tengah kawasan ‘paling elite’ se-Kabupaten Tangerang, Iwan melihat sebuah peluang besar. Ada proyek perbaikan jalan yang membuat antrean kendaraan mengular dari pagi sampai malam. Padatnya jalanan kota adalah ladang emas baginya, ketika mereka-- yang duduk manis di mobil ber-AC-- mengumpat lantaran nyaris tak bergerak.
Awalnya ia berkeliling dari kampung ke kampung. Namun lama kelamaan ia merasa lelah. Lebih baik berada di pinggir jalan walau uang yang didapat tak jauh beda, namun kakinya tak harus melangkah selelah itu.
Sudah hampir 3 bulan Iwan mengelilingi titik kemacetan di kawasan ini. Semakin padat, semakin baik. Artinya perhatian pengguna jalan akan tertuju padanya, dan celengan yang ia bawa itu punya kesempatan penuh lebih cepat.
Iwan, seorang pengamen badut di Tangerang. Foto: Nadine K. Azura/kumparan
"Orang pingin lancar, dia pingin macet," celetuk pengemudi ojek online yang lewat di sampingnya.
ADVERTISEMENT
Setiap harinya, Iwan harus mengeluarkan Rp 50 ribu untuk menyewa kostum itu. Belum lagi biaya ongkos naik angkot pulang-pergi dari Cipondoh ke Kelapa Dua sebesar Rp 20 ribu.
Ia bekerja sendiri tanpa punya kelompok sesama badut. Namun ia kenal beberapa teman yang juga menyewa di tempat yang sama. Hanya saja mereka berpencar ke titik macet atau perkampungan sekitar situ.
Di bawah teriknya matahari dan kepulan asap kendaraan, sesekali dia menyesap air mineral dalam kemasan gelas di balik topeng besarnya. Sudah 2 jam lebih ia berdiri dan berjoget di pinggir jalanan yang berdebu itu dan uang yang ia dapatkan tak sampai Rp 20 ribu.
"Dulu saya punya radio kecil. Rusak. Servisnya Rp 30 ribu. Mahal," kata Iwan.
Iwan, seorang pengamen badut di Tangerang. Foto: Nadine K. Azura/kumparan
Musik dari radio itu katanya cukup membantunya menarik perhatian pengguna jalan. Paling sering, sih, anak-anak, yang terkesima melihat karakter ‘LOL’ sebesar itu. Syukur-syukur mereka memberi sejumlah uang. Kini jogetan Iwan hanya ditemani bisingnya klakson orang-orang kurang sabar.
ADVERTISEMENT
Waktu sudah lewat tengah hari, ia lalu memutuskan untuk istirahat. Iwan pergi ke sebuah warkop di dekat dia mencari nafkah. Hanya segelas kopi panas dan sepotong kue pancong yang jadi santapan siangnya yang ditutup dengan dua batang rokok.
“Nggak [makan]. Ngopi aja,” katanya sambil tersenyum tipis.
Dalam sehari, ia bekerja sejak pukul 10.00 pagi hingga 20.00 malam. Uang yang ia dapatkan berkisar Rp 100 ribu hingga Rp 130 ribu. Kalau sedang kurang beruntung, ia bisa hanya membawa pulang Rp 25 ribu saja. Alhasil biaya sewa kostum harus ia bayar besoknya, itu juga kalau mendapat uang banyak dari para pengendara.
Menjadi badut tentu bukan pilihan hidupnya. Berbagai jenis pekerjaan sudah pernah ia lalui. Paling sering dirinya menjadi sopir. Mulai dari menjadi sopir pribadi, sopir angkot, sampai sopir proyek pun sudah pernah dijalani.
ADVERTISEMENT
Sebelum pandemi melanda, Iwan menjadi pedagang aksesoris dan mainan di kawasan Pasar Senen. Hidupnya jauh lebih baik kala itu, dia pun tinggal tidak jauh dari Pasar Senen, tempatnya mencari nafkah.
Iwan, seorang pengamen badut di Tangerang. Foto: Nadine K. Azura/kumparan
Namun pandemi telah menghantamnya habis-habisan. Seluruh modal yang ia gunakan untuk berjualan aksesoris dan mainan di kawasan Pasar Senen habis tak tersisa. Sementara ada seorang istri dan dua anak yang tetap harus ia nafkahi.
Usai istirahat yang disebutnya ‘makan siang’, Iwan bergegas kembali ke jalanan. Matahari sedang terik-teriknya tapi ia tak boleh membuang waktunya dengan hanya duduk santai.
Tak lama berselang, datang dua orang yang membagikan makanan. Ia dapat 2 bungkus nasi sekaligus. Rupanya Iwan memang menunggu hal itu. Tiap hari Jumat, banyak orang yang bersedekah membagikan makanan dan ia kerap menerimanya. Seporsi nasi bungkus menjadi sedikit penghibur, paling tidak bisa menghemat ongkos sekali makan di warung yang menghabiskan separuh dari pendapatannya dalam 2 jam terakhir.
ADVERTISEMENT
Iwan lalu kembali ke warkop tersebut, sekadar menumpang untuk memakan nasi yang ia dapat dari seorang dermawan. Kata Iwan, dari semua warung yang ada di kawasan tersebut, hanya warkop si Teteh yang menerimanya. Orang seringkali meremehkannya saat datang ke warung makan menggunakan kostum badut sampai tak segan untuk mengusirnya.
Iwan, seorang pengamen badut di Tangerang. Foto: Nadine K. Azura/kumparan
Iwan menikmati makan siang yang sebenarnya. Satu bungkus nasi dia nikmati dengan lahap, satu bungkus lainnya dia berikan pada seorang pengendara ojek online yang ada di warkop itu. “Daripada basi,” katanya.
Sebelum makan, perlahan ia membuka satu per satu bagian kostumnya. Sarung tangan, atasan, dan juga sepatu. Berada di dalam kostum itu membuat sekujur tubuhnya --dari ujung rambut sampai kaki-- benar-benar basah. Iwan seperti baru saja nyebur ke dalam kolam renang yang bukan berisi air menyegarkan, namun keringat.
ADVERTISEMENT
Usai menghabiskan makan siangnya, Iwan kembali beraksi lagi. Udara sedang panas-panasnya namun mulai terlihat sedikit mendung. Kalau pun hujan, Iwan tetap memilih untuk bekerja. “Kalau kita diem aja, orang mana mau ngasih uang,” ujarnya.
Iwan, seorang pengamen badut di Tangerang. Foto: Nadine K. Azura/kumparan
Jalanan masih saja ramai, tapi orang yang memberikan uang kepada Iwan jarang sekali, bisa dihitung dengan jari. Satu jam berjoget di jalanan, pendapatannya hanya sekitar Rp 10 ribu.
Hujan perlahan mulai membasahi jalanan. Azan tanda masuknya waktu salat ashar, sekitar pukul 3 sore, sudah berkumandang. Iwan kembali menghitung tumpukan recehan yang ada di celengannya. “Rp 50 ribu belum sampai,” katanya. Masih ada waktu sampai malam agar bisa membawa pulang uang untuk istri dan kedua anaknya. Kalau hanya dapat Rp 50 ribu, itu hanya cukup untuk biaya sewa kostum.
ADVERTISEMENT
Sembari meneduh di bawah pohon, ia bercerita tentang masa-masa ketika memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahirannya di Sumatera Selatan pada 2015 silam. Merantaulah Iwan berserta istri ke Jakarta dengan harapan “mencari suasana baru.”
Istri dan anak-anaknya cukup mengerti kondisinya saat ini. Akan tetapi, saudaranya di kampung halaman tak mengetahui beratnya hidupnya saat ini. “Pokoknya mereka cuma boleh tahu yang bahagia-bahagia saja tentang kami di sini,” tegas Iwan.
Iwan, seorang pengamen badut di Tangerang. Foto: Nadine K. Azura/kumparan
Emosi laki-laki berusia 30 tahun ini pecah ketika bercerita tentang anak-anaknya. Si sulung yang masih kelas 1 SD itu selalu menunggunya pulang untuk bisa bermain bersama. Anaknya sempat memintanya berhenti menjadi badut lantaran tak tahan lagi dengan caci makian teman-teman yang memanggilnya “anak badut”.
ADVERTISEMENT
Bagi anak kelas 1 SD, tentu bully-an itu begitu berat. Ayah mana yang sanggup menerima kenyataan anaknya di-bully karena pekerjaannya. Namun, hidup tetap harus berjalan, yang penting istri dan kedua anaknya tidak sampai kelaparan.
Anak bungsunya baru berusia satu tahun. Sebenarnya ia dan istri hanya ingin punya satu anak saja. Namun apa boleh buat, ternyata Tuhan memberi kepercayaan kepada mereka seorang anak perempuan yang ia sebut menjadi pelipur lara ketika pulang bekerja.
Iwan mungkin bukan satu-satunya orang yang kehilangan kesempatan bekerja di saat dunia sedang tak menentu. Uang yang ia dapat setelah bekerja menjadi badut di jalanan seharian penuh sebenarnya nyaris tak cukup untuk menghidupi keluarganya. Namun Iwan juga seperti orang lainnya yang masih punya impian bisa hidup lebih layak.
Iwan, seorang pengamen badut di Tangerang. Foto: Nadine K. Azura/kumparan
Pikir orang, menjadi badut pasti menyenangkan karena bisa buat banyak orang terhibur. Tertawa haha-hihi, berjoget sana-sini, pasti menyenangkan, bukan? Sayangnya mereka tak bisa lihat, di balik berat dan panasnya kostum itu, ada keringat dan air mata yang mengucur deras.
ADVERTISEMENT
Ia berharap agar pandemi ini bisa segera berakhir. Kembali mengumpulkan modal untuk dapat berjualan seperti dulu. Mendapatkan hidup yang lebih baik, seperti yang pernah dirasakannya sebelum pandemi.
Keinginan Iwan saat ini tidak muluk-muluk. Ia hanya ingin punya smartphone baru untuk anak sulungnya. Putra pertamanya itu kesulitan belajar di rumah lantaran tak punya ponsel yang mumpuni. Yang ada hanya ponsel butut yang harus selalu tercolok listrik agar tetap bisa dipakai.
Smartphone yang dulu dipunyai Iwan, telah digadaikan untuk menutup kebutuhan hidup. Kini, Iwan tak sanggup untuk menebusnya. Dia hanya ingin anaknya bisa mengikuti sekolah online dengan tenang dan nyaman.
"Yang penting bisa buat anak sekolah,” kata Iwan yang dari balik topengnya terlihat sesekali mengusap mata berairnya.
ADVERTISEMENT