Sejarah Klitih: Rivalitas Antar-Geng Sekolah hingga Melukai Siapa Saja

9 April 2022 10:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Geger klitih di Yogyakarta Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Geger klitih di Yogyakarta Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Kematian seorang remaja bernama Dafa Adzin Albasith (17) yang tewas disabet gir pada Minggu (3/4/2022), menghebohkan warga Yogyakarta. Pasalnya, peristiwa itu disebut sebagai klitih, meski belakangan polisi menyebut itu sebagai tawuran.
ADVERTISEMENT
Fenomena klitih muncul dan tenggelam di masyarakat Yogyakarta. Kehebohan klitih merebak saat ada korban jiwa dari peristiwa ini.
kumparan bertanya terkait fenomena klitih kepada Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Julianto Ibrahim.
"Geng-geng sekolah yang muncul tahun 1995. Mereka punya musuh masing-masing, misalnya SMA 6 dengan SMA 9. Kemudian mereka membuat istilah-istilah aktivitas mereka. Contohnya klitih, itu artinya konvoi memutari kota, biasanya dua barisan (motor), tujuannya untuk mencari musuh sekolahnya. Jadi itu awal istilah klitih," kata Ibrahim Kamis (7/4) via sambungan zoom.
Masyarakat Jogja jadi awam dengan istilah klitih, karena saat para pelajar sekaligus anggota geng sekolah ini saat ditanya hendak ke mana? Mereka menjawab 'mau ngelitih.'
"Motor yang dijejer dua, sendiri atau diboncengi. Kemudian, mereka berkonvoi keliling kota untuk mencari musuhnya. Nah itulah yang masyarakat tahu sebagai klitih" ujarnya.
ADVERTISEMENT
Fenomena awal kemunculan klitih terjadi dari 1995 sampai dengan 2005.
Pada 2004, muncul sistem ujian nasional bagi pelajar sekolah. Saat itu, ketatnya ujian memaksa para pelajar dan juga sekolah mengadakan pembelajaran tambahan.
Kesibukan menghadapi ujian nasional berdampak pada geng sekolah yang semakin redup aktivitasnya. Mereka tak punya lagi waktu untuk ngelitih, atau justru musuh dari geng sekolah lain yang sudah tidak ada.
Aktivitas klitih antar geng sekolah semakin meredup, meski keberadaan geng sekolah tetap ada. Hingga pada 2010, muncul fenomena klitih seperti yang kita kenal sekarang, tidak punya musuh tetap, siapa saja yang ditemui di jalanan, dibacok.
"Mulai tahun 2010, fenomena klitih berubah, yakni jadi aktivitas kekerasan yang dilakukan tanpa tujuan tertentu. Akhirnya mereka yang awalnya mau ngelitih cari musuh, tetapi nggak ketemu musuh karena fenomena sekolah yang harus les dan lain-lain. Akhirnya sasarannya ke orang-orang yang tidak bersalah," kata pengajar Departemen Sejarah UGM ini.
ADVERTISEMENT
Sejak 2010, terjadi pergeseran geng klitih. Para pelajar yang biasanya tergabung di geng sekolah, mulai menghilangkan identitas sekolahnya. Para pelajar pelaku klitih membentuk geng yang anggotanya bisa berasal dari sekolah atau latar belakang lainnya.
"Geng sekolah memang kita bilang 'tiarap' (redup). Tetapi kemudian bentuk-bentuk kekerasan itu diadaptasi oleh kelompok-kelompok tertentu (bukan geng sekolah) yang muncul kembali. Nah, karena masyarakat itu sudah mengenal pertempuran (antar geng sekolah) dengan nama klitih, maka (kegiatan lainnya yang serupa) tetap disebut klitih," katanya.
Klitih diketahui dijadikan sebagai ajang tes bagi anggota baru yang hendak masuk ke suatu geng.
"Kadang klitih itu sebagai test case anggota baru. Orang yang mau masuk ke dalam kelompok itu, sering kali mereka diminta dulu 'kamu berani gak ngelitih?' kemudian kalau berani, jadi anggotanya," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Julianto berpendapat bahwa peristiwa yang menewaskan anak seorang Anggota DPRD Kebumen Minggu (3/4) lalu, bukanlah klitih.
"Yang kasus terakhir itu sebenarnya kalau dalam kategori klitih itu dipertanyakan. Itu sebenarnya lebih ke tawuran, tetapi karena masyarakat memahami klitih ya sudah. Masyarakat sekarang itu kan pemahamannya klitih itu berubah menjadi 'orang yang ke luar kemudian mendapatkan kekerasan, atau orang yang melakukan kekerasan hanya untuk melukai saja," katanya.
Menurut Julianto, keluarga berperan penting dalam penanganan klitih. Kemudian penegakan hukum terhadap pelaku klitih juga harus dilakukan, jangan karena masih di bawah umur, sehingga dibebaskan.
"Bagaimana keluarga memberi penanganan dan pemahaman agar tidak muncul kekerasan. Kemudian di pihak sekolah. Sekarang ini (sekolah) sudah menutup mata, karena dianggap bukan tawuran antar sekolah. Padahal akarnya, bibitnya itu dari sekolah, sekolah harus membina. Saya kira harus segera diberi tindakan (hukum) yang semestinya, tidak boleh terhalang umur pelaku," ujarnya.
ADVERTISEMENT