Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Sejarah Masuknya Warga Tionghoa ke Desa Baturiti Bali
16 Februari 2018 14:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Bali yang terkenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura selain menyimpan keindahan alam yang luar biasa juga banyak menyimpan cerita menarik. Salah satunya soal masuknya warga Tionghoa ke Bali khususnya ke Desa Baturiti.
ADVERTISEMENT
Desa Baturiti terletak di Penebel, Kabupaten Tabanan atau sekitar 47 Km dari Kota Denpasar. Di desa itu banyak terdapat warga Tionghoa yang tinggal.
Pada Hari Raya Imlek kali ini, kumparan (kumparan.com), Jumat (16/2), berkesempatan untuk mengunjungi Desa Baturiti. Saat masuk ke Desa Baturiti, banyak sekali penjor-penjor atau janur yang identik dengan budaya Hindu terpasang di depan rumah warga.
Biasanya, penjor dipasang saat Hari Raya Galungan, namun saat Imlek seperti sekarang ini, penjor kembali dipasang. Penjor ini dipasang sejak Kamis (15/2) hingga 15 hari ke depan atau sampai Cap Go Meh.
Mirip seperti penjor umat Hindu yang dipasang dari Hari Raya Galungan hingga Hari Raya Kuningan. Bedanya, penjor umat Hindu terbuat dari batang bambu, sedangkan penjor di desa ini dibuat dari batang tebu.
Menurut kepercayaan warga Tionghoa tebu memiliki arti mendalam yaitu ketika dewa sedang dikejar-kejar, pohon tebulah yang menyelamatkannya. Penjor dari tebu dihiasi dengan janur dan bunga gemitir yang diyakini sebagai simbol keberuntungan.
ADVERTISEMENT
Menurut salah satu warga Tionghoa bernama Putu Suardita (52), penjor akan dicabut saat purnama tiba. Saat purnama tiba itulah puncak Cap Go Meh.
"Penjor tebu sudah dipasang dari kemarin, 15 hari lagi penjornya akan dicabut pas Cap Go Meh. Di hari purnama, Cap Go Meh puncak dan penutup perayaan imlek," kata Putu Suardita.
“Ya bisa dikatakan Imlek ini seperti Galungannya orang Tionghoa di Bali. Sembahyangnya dua kali dari kemarin. Disesuaikan dengan tradisi Bali juga, jadi tetap menggunakan canang (perlengkapan sembahyang umat Hindu),” lanjut dia.
Tak hanya itu saja, pria yang berprofesi sebagai petani serta pedagang bunga ini juga menjelaskan, barongsai sebenarnya mirip dengan ngelawang. Ngelawang adalah ritual tolak bala yang dilakukan oleh umat Hindu saat Hari Raya Galungan dan Hari Raya Kuningan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya di Desa Baturiti sudah jarang ditemukan permainan barongsai saat Imlek. Padahal di Denpasar atau di Kuta tiap Imlek selalu ada barongsai.
“Kalau dulu sekali ada tapi sekarang sudah tidak. Tidak ada perkumpulan keseniannya. Kalaupun ada, untuk acara tertentu, dan kebanyakan penarinya justru dari Denpasar,” ucap Putu Suardita.
Di Desa Baturiti ada 200 KK yang keturunan etnis Tionghoa-Bali. Namun kebanyakan warga keturunan Tionghoa yang ada di Desa Baturiti merantau ke kota lain di Bali.
“Di sini ada sekitar 200 KK, tapi kebanyakan di Denpasar. Baru pulang lagi seperti sekarang. Tadi pagi ada juga yang datang untuk sembahyang,” cerita Murja, penunggu Vihara Dhamma Dana.
Berdasarkan catatan di Vihara Dhamma Dana, munculnya etnis Tionghoa di Baturiti, berasal dari kedatangan tujuh sesepuh dari Tiongkok yang tidak diketahui secara jelas waktu kedatangannya. Kemudian pada 28 April 1931, didirikanlah perkumpulan bernama Tiong Hwa Hwe Joe Batoeriti atau perkumpulan Cing Bing yang menghimpun orang-orang Tionghoa di Baturiti.
ADVERTISEMENT
Perkumpulan etnis Tionghoa di Baturiti sendiri berkali-kali berganti nama. Setelah Cing Bing, tahun 1980 berganti nama menjadi Perkumpulan Suka Duka Kerta Yadnya Baturiti. Setelah Kemerdekaan Indonesia, perkembangan warga Tionghoa Baturiti semakin beradaptasi dengan masyarakat lainnya.
Kemudian pada tahun 1991, yakni periode ketiga, perkumpulan Suka Duka Kerta Yadnya Baturiti berubah nama mejadi Yayasan Kertha Yadnya dan Mahacetya Dharmadana. Pada tahun 2011 yayasan memutuskan memugar Mahacetya yang kini telah menjadi Vihara Dhammadana yang diresmikan pada tahun 2013 yang lalu.
Akulturasi dan Toleransi
Akulturasi antara etnis Tionghoa dan masyarakat Hindu Bali tak hanya tampak dari tradisi yang diusung. Begitu juga dengan penamaan orang-orang Tionghoa di Baturiti yang selain memiliki nama nasional juga menggunakan nama Bali seperti Putu, Made, Nyoman, Ketut di depan namanya.
ADVERTISEMENT
Bentuk lainnya yang sangat jelas tampak adalah dari area rumah masyarakat di Desa Baturiti tersebut. Tak hanya memiliki konco, tempat untuk berdoa pada para dewa, ada juga yang memiliki bangunan sanggah layaknya masyarakat Hindu.
Made Julio Saputra, putra dari Suardita menyampaikan kalau saat ini, Ia dan keluarganya menganut berbagai macam agama yaitu Hindu, Kong Hucu dan Buddha.
“Di sini ada sanggah surya dan sanggah penunggun karang. Kalau di KTP Hindu, tapi kalau sehari-hari Hindu dan Konghucu juga, ada tiga,” kata Julio.
Hal tersebut sudah turun temurun dari leluhur dan rata-rata keluarga Tionghoa di daerah tersebut memang menjalankan tradisi dari masyarakat Hindu dan Tionghoa. Selain akulturasi, Ia juga mengungkapkan bahwa toleransi antar agama di sini cukup kuat.
ADVERTISEMENT
Tak hanya Hindu, Buddha, Konghucu, ada juga masyarakat Muslim dan Nasrani yang kelimanya tinggal berdampingan. Tak jarang jika ada masyarakat dengan agama lain mengadakan acara, masyarakat yang menganut kepercayaan berbeda ikut terlibat.
“Ya kalau Galungan kita juga ikut, tapi bantennya tidak sampai selengkap masyarakat Hindu umumnya. Kami lebih sedikit. Selain itu memang ada lima agama berdampingan di sini, dan ikatannya sangat baik,” tutur Suardita.