Sejarawan soal Pattimura-Ahmad Lussy: Kalau Ribut soal Agama Kita Tak Akan Maju

6 Juli 2022 11:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kapitan Pattimura alias Thomas Matulessy. Foto: David Esser/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Kapitan Pattimura alias Thomas Matulessy. Foto: David Esser/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sejarawan dan dosen Universitas Indonesia Abdurrakhman menanggapi ramai soal Kapitan Pattimura atau Thomas Matulessy di media sosial. Baginya, seharusnya masyarakat tak berdebat soal agama Pattimura melainkan perjuangannya.
ADVERTISEMENT
“Kalau kita negeri ini masih meributkan ini muslim dan non-Muslim kita tidak akan majulah. Kita menginginkan mementingkan pada masa itu adalah mereka berjuang bagaimana mengusir penjajah,” ujar pria yang akrab disapa Mas Maman ini kepada kumparan pada Rabu (6/7).
Matulessy dan Ahmad Lussy menurut sejumlah orang di media sosial orang yang sama. Nah, ada yang menganggap Ahmad Lussy itu Pattimura dan beragama islam.
Menurut Maman, memang nama ‘Matulessy’ yang ada pada nama Kapitan Pattimura merupakan nama marga yang mayoritasnya adalah muslim. Namun apakah Pattimura yang kita kenal selama ini adalah Muslim atau tidak belum ada cukup bukti sejarahnya.
"Sampai saat ini data memang masih mengatakan namanya Thomas Matulessy. Ada yang menyebutkan bukan berarti Thomas itu nasrani begitu ya. Tapi sebagian besar Matulessy itu muslim. Jadi perlu penelitian lebih jauhlah kalau terkait dengan nama ini kan masalah ahli bahasa yang perlu menerjemahkan terkait dengan istilah dari bahasa bahasa daerah lokal situ ya,” jelas Maman.
ADVERTISEMENT
Maman juga menyebut bahwa sumber yang dipakai oleh Ustaz Adi Hidayat dalam ceramahnya yang viral kembali itu adalah buku Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara.
Buku Api Sejarah yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara sendiri menuai perdebatan. Dikutip dari LIPI.go.id perdebatan yang pertama mengenai sumber yang dipakai dan kedua tentang perspektif yang digunakan. Dalam buku ini Ahmad Mansur terkesan mencoba menggambarkan seorang tokoh yang dipilihnya secara lebih islami.
Maman menegaskan bahwa satu buku saja tidak bisa menjadikan hal ini sebagai sejarah yang valid. Diperlukan sumber pembanding.
Maman juga menegaskan bahwa sifat subjektivitas dalam sudut pandang sejarah harus dijauhkan agar dapat melihat permasalahan secara lebih objektif.
“Jadi tidak bisa baru katanya ada dalam sebuah buku saja kita nggak bisa mengatakan dia seperti itu. Walaupun umpamanya saya seorang muslim aktivis. Kita harus letakkan itu di luar tidak jadi bagian dari itu. Jadi duduk di luar bagaimana kita bisa bersikap melihat begitu ya bukan menjadi bagian untuk menghindari subjektivitas. Sehingga kita bisa lebih objektif,” pungkas Maman.
ADVERTISEMENT
Sumber Belanda
Daripada berpolemik, mari kita sama-sama mengupas tuntas sejarah Pattimura dari sumber-sumber laporan sezaman hingga monograf.
Sebab, menulis sejarah bukan hanya soal bagaimana mengutip sumber dari mana saja. Namun, kedudukan sumber juga ada tingkatannya.
Laporan sezaman menempati urutan tertinggi. Ia adalah sumber pertama, tapi tetap harus ada proses intrinsik lainnya, yakni kritik. Baik secara fisik maupun isi laporan.
Banyak sekali buku yang membahas soal siapa Thomas Matulessy. Di Perpustakaan Nasional misalnya, ada puluhan monograf yang ditulis sejumlah penulis.
"Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah ia yang bernama Antoni Mattulessy merupakan anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini merupakan putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan," demikian M Sapija menulis sosok Pattimura dalam sebuah biografi, dikutip Selasa (5/7).
ADVERTISEMENT
kumparan berupaya mengupas ini juga dari salah satu laporan yang ditulis tahun 1857 oleh J.B.J Van Dorren. Pattimura meninggal pada 1817.
Disebutkan Van Dorren, Pattimura adalah sebuah gelar yang berarti patih muda. Thomas Matulessy tak pernah menginginkan gelar itu, hanyalah penduduk yang memberikannya.
Hal ini yang kemudian dianggap menjadi awal adanya kelompok muslim yang mengatakan bahwa Pattimura adalah seorang tokoh muslim.
Padahal menurut Van Dorren, ada seorang lainnya yang ikut berjuang bersama Thomas Matulessy, dia adalah Patti Muda Gaga Bavanu.
Keduanya bersama Anthony Rhebok memimpin pertempuran awal di Teluk Saparua di awal abad 19. Namun, di tengah perjalanan, Gaga Bavanu yang diduga kuat utusan Sultan Ternate 'tak cocok’ dengan Matulessy yang memang seorang Kristen fanatik, akhirnya muncul pemberontakan.
ADVERTISEMENT
Padahal dalam awal pertempuran di Teluk Saparua, Gaga Bavanu disebut Van Dorren sebagai wakil atau orang kepercayaan Thomas Matulessy.
Disebutkan juga, nama Gaga Bavanu memang tidak banyak tercantum di monograf-monograf sejarah.
Oleh karena Patti Muda Gaga Bavanu tak banyak dikenal, akhirnya yang berkembang di Ambon bahwa Thomas Matulessy berasal dari kalangan Islam.
Terutama sesuai dengan pandangan apa yang dikatakan penduduk muslim Kulur di Saparua (kampung Thomas Matulessy) bahwa Pattimura yang kita kenal wajahnya di pecahan Rp 1.000 lama adalah orang Ternate.