Seksolog Unud soal FWB: Fenomena Lama Ganti Istilah, Dulu Ada TTM dan HTS

24 September 2022 17:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi seks. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seks. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Fenomena friends with benefits atau FWB menjadi perhatian publik usai pengakuan pasangan mesum yang melakukan hubungan seksual di mobil yang sedang melaju di sekitar jalan raya kawasan Desa Tampak Siring, Gianyar, Bali, pada Kamis (1/9). Pasangan itu mengaku menjalin hubungan sebagai FWB.
ADVERTISEMENT
Pasangan itu adalah laki-laki berinisial MMD (28) berasal dari Denpasar, Bali, dan perempuan berinisial DNL (26) berasal dari Depok, Jawa Barat. Mereka merekam sendiri aksinya dan membagikan itu di Twitter pribadi.
Polisi menangkap pasangan mesum menggunakan pakaian adat Bali di mobil yang sedang melaju, Kamis (22/9). Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Peneliti dari California Polytechnic State University, Jasna Jovanovic & Jean Calterone Williams menulis jurnal mengenai FWB. Mereka mendefinisikan FWB sebagai hubungan secara seksual tanpa adanya perasaan atau ikatan secara romantis.
Ketua Asosiasi Seksiologi Indonesia (ASI) Denpasar sekaligus pengajar seksiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Unud) I Made Oka Negara menyebut praktik serupa FWB telah berlangsung sejak lama di Indonesia.
"Istilah friends with benefits baru. Tapi apa yang dilakukan orang-orang yang menjalankan tren ini sudah ada sejak dulu. Sebelumnya ada istilah teman tapi mesra atau TTM, kadang dibilang teman tapi mesum. Ada juga hubungan tanpa status atau HTS. Ada perubahan persepsi dan pelaku. Dari zaman dulu sudah ada," ujar Oka saat berbincang dengan kumparan, Sabtu (24/9).
ADVERTISEMENT
Bagi Oka, praktik FWB menjadi semacam tren yang digandrungi oleh anak muda. Istilah FWB sering dipakai dan terang-terangan diumbar ke publik sebagai suatu keikutsertaan akan arus tren masa kini.
"Media yang mengkondisikan FWB. Saya temukan juga anak muda SMP menyebut FWB tapi cuma pelukan. FWB ini sangat populer dan dianggap senang-senang. Orang malas pacaran tapi hanya dekat-dekat yang akhirnya disebut FWB," katanya.
Ilustrasi berhubungan seks. Foto: Shutterstock
Praktik friends with benefits juga tak selalu berakhir dengan hubungan seksual penetrasi. Oka menjelaskan bahwa sebagian orang mengaku menjalankan FWB dengan hanya berpelukan, ciuman, melakukan intimasi atau hanya sekadar pemanasan seksual atau foreplay.
Oka menyebut stimulus atau faktor yang mendukung terjadinya aktivitas seksual kini semakin banyak dan tak terbatas. Hal ini menyebabkan pengetahuan seseorang akan aktivitas seksual menjadi gampang didapatkan, dan bahkan dipraktikkan.
ADVERTISEMENT
"Sekarang variasi pemuda melakukan hubungan seksual itu lebih banyak. Karena ada stimulus (seks) lebih besar. Kalau zaman dulu untuk dapat stimulus itu stensilan Valentino, atau siapa yang punya majalah porno, atau dapat video porno, ditonton ramai-ramai. Sekarang di Twitter aja nggak perlu ramai-ramai. Artinya stimulus seksual itu lebih besar," katanya.
Melakukan Stimulasi pada Bagian Belakang Telinga. Foto: Shutterstock
Sikap manusia perkotaan yang semakin individual juga turut menyuburkan praktik FWB ini. Ketika masyarakat menjadi tak acuh dengan kehidupan orang lain, menyebabkan praktik FWB atau sejenisnya dilakukan tanpa rasa was-was.
"Masyarakat itu tidak ambil pusing dengan perilaku anak muda, cuek, itu risiko kota besar. Orang tua, guru, masih enggan memberikan edukasi seksual yang benar. Artinya si anak tanpa edukasi yang benar dilepas begitu saja. Kemudian mendapat stimulus. Sekarang tergantung dari lingkungan temannya, ada peer pressure untuk mengajak melakukan (seks) itu, atau temannya justru melarang," katanya.
ADVERTISEMENT
Oka mengasumsikan berdasarkan berbagai penelitian yang dibacanya, sekitar 10 hingga 30 persen remaja dan pemuda di Indonesia telah melakukan hubungan seksual pranikah. Termasuk praktik FWB yang masuk di dalam persentase itu.
"Angkanya dua dekade lalu sangat sedikit, di bawah 5 persen mungkin. Tetapi berbagai riset angka mereka yang melakukan seks sebelum menikah, angkanya nggak pernah keluar dari 10 sampai 30 persen. Itu berubah, dibandingkan dua dekade lalu, angkanya tidak setinggi itu," dijelaskannya.
Praktik hubungan seksual sebelum menikah ini disebut sangat berisiko. Apalagi praktik FWB yang bisa dijalani dengan lebih dari satu orang.
"Risiko paling basic adalah infeksi menular seksual (IMS). Risiko dari FWB ini sama dengan risiko orang yang melakukan hubungan seksual tidak aman. Bayangin dengan satu pasangan yang nggak jelas, tanpa proteksi kondom aja, sudah bisa infeksi dengan berbagai macam jenis mulai dari sifilis, gonore, klamidia, herpes sampai HIV. Belum lagi kehamilan tidak diinginkan, baik itu risiko aborsi, psikososial karena ketahuan hamil," ujar Oka.
Ilustrasi berhubungan seks. Foto: Getty Images
Oka menyarankan agar edukasi seks bisa diajarkan sedini mungkin kepada anak. Termasuk penggunaan gawai dan internet secara bertanggung jawab untuk menghindari praktik aktivitas seksual seperti FWB hingga penyakit menular seksual.
ADVERTISEMENT
"Ada ABCDE. A, abstinance artinya tidak berhubungan seksual sebelum nikah. B, be faithful, setia sama pasangan. C, yang sudah sering making love harus pakai condom. Yang D, don't inject jangan pakai jarum suntuk sembarangan. Terakhir E, yaitu education," ujar Oka.