Selain Konflik Ukraina, Ini 6 Peristiwa yang Dilabeli Genosida oleh AS

13 April 2022 20:28 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemakaman korban genosida di Srebenica Foto: REUTERS/Dado Ruvic
zoom-in-whitePerbesar
Pemakaman korban genosida di Srebenica Foto: REUTERS/Dado Ruvic
ADVERTISEMENT
Presiden Amerika Serikat Joe Biden baru-baru ini menuduh Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai pelaku genosida atas serangan militer yang dilakukan Rusia ke Ukraina.
ADVERTISEMENT
“Ya, saya menyebutnya karena semakin jelas bahwa Putin hanya mencoba menghapus gagasan untuk bisa menjadi orang Ukraina dan buktinya semakin banyak,” kata Biden kepada wartawan, pada Selasa (13/4/2022), dikutip dari Reuters.
“Kami akan membiarkan para pengacara memutuskan secara internasional apakah itu memenuhi syarat (genosida) atau tidak, tetapi tampaknya seperti itu bagi saya,” tambahnya.
Presiden AS Joe Biden memberikan pidato peringatan kerusuhan pendukung Trump di US Capitol, Washington, DC. Foto: Greg Nash/Pool via REUTERS
Genosida, yang dianggap sebagai pelanggaran internasional paling serius, pertama kali digunakan untuk menggambarkan Holocaust yang dilakukan oleh rezim Nazi. Istilah genosida diakui pada 1948 sebagai kejahatan di bawah hukum internasional dalam Konvensi PBB.
Menurut Konvensi PBB, yang termasuk ke dalam kategori genosida antara lain pembunuhan, merusak tubuh atau mental yang serius, menimbulkan kondisi dan tindakan yang mematikan untuk mencegah kelahiran secara massal.
ADVERTISEMENT
Di bawah hukum internasional, genosida adalah niat untuk menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau agama.
Sejak berakhirnya Perang Dingin, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat secara resmi telah menggunakan istilah genosida sebanyak 7 kali. Lantas, di mana saja genosida itu terjadi?

1. Perang Bosnia (1995)

Korban genosida Srebrenica, Ramiz Nukic, berdoa di Srebrenica-Potocari Memorial Center, Bosnia. Foto: Dado Ruvic/Reuters
Perang Bosnia merupakan contoh aksi genosida dan istilah “pembersihan etnis” pertama kalinya muncul di sejarah modern. Konflik ini terjadi di Juli 1995 dan berlangsung selama 2 hari di sekitar wilayah kota Srebrenica, Bosnia.
Perang Bosnia dimulai ketika negara komunis Yugoslavia terpecah akibat kematian pemimpin Yugoslavia Josip Broz Tito pada 1980.
Situasi ini memicu terjadinya aksi separatisme dan keinginan Serbia untuk melakukan nasionalisme etnis demi mewujudkan “Serbia Raya”.
ADVERTISEMENT
Setelah menguasai wilayah Srebrenica, tentara Serbia membantai lebih dari 8.000 warga sipil muslim yang pada umumnya terdiri dari pria dan anak laki-laki serta pengusiran massal 25.000–30.000 penduduk Bosnia lainnya.
Sejumlah wanita berduka di dekat peti mati korban Genosida Srebrenica, di Potocari, dekat Srebrenica, Bosnia dan Herzegovina. Foto: Dado Ruvic/REUTERS
Istilah “pembersihan etnis” pertama kali digunakan oleh mantan Presiden Serbia, Slobodan Milošević. Sebagai pemimpin Pasukan Serbia dalam Perang Bosnia, Milošević menargetkan serangan pembunuhan massal ini terhadap kaum Muslim, Kroasia, Kosovo, dan Albania.
Dalam memperingati 20 tahun semenjak peristiwa genosida di Bosnia, mantan Presiden AS Barack Obama menyampaikan belasungkawanya lewat sebuah pernyataan pers dari Gedung Putih, pada Jumat (10/7/2015).
“Pada 11 Juli, kami bergabung dengan orang-orang dari semua agama dan kebangsaan dalam memperingati genosida Srebrenica,” dikutip dari situs resmi Kedutaan AS untuk Bosnia dan Herzegovina di Sarajevo.
ADVERTISEMENT
“Kami berduka atas kehilangan lebih dari 8.000 korbannya, dan kami menghormati ingatan mereka yang baru saja dimakamkan, dan semua yang masih hilang,” kata Obama dalam pernyataan resmi tersebut.

2. Genosida Rwanda (1994)

Keluarga korban genosida 1994 yang baru ditemukan menghadiri prosesi pemakaman di Nyanza Genocide Memorial, pinggiran ibukota Kigali, Rwanda. Foto: AFP/YASUYOSHI CHIBA
Genosida Rwanda yang juga dikenal sebagai genosida terhadap suku Tutsi terjadi selama 100 hari di pertengahan 1994. Dalam 100 hari, tidak kurang dari 800.000 orang suku minoritas Tutsi dibantai oleh tentara bersenjata. Banyak sejarawan berpendapat bahwa genosida terhadap Tutsi telah direncanakan selama beberapa tahun.
Peristiwa ini bermula ketika Presiden Rwanda pada saat itu, Juvenal Habyarimana menjadi korban penembakan saat ia sedang berada di dalam sebuah pesawat terbang oleh militan penentangnya. Ia terbunuh pada 6 April 1994 dan situasi ini mengakibatkan kekosongan kekuasaan di Rwanda.
Sejumlah relawan mengumpulkan sisa-sisa tulang korban genosida Rwanda yang ditemukan dari lubang-lubang tersembunyi. Foto: AFP/YASUYOSHI CHIBA
Penembakan Habyarimana disinyalir dilakukan sebagai bentuk protes penduduk terhadap rencananya untuk mempersatukan etnis di Rwanda dan membagikan kekuasaan kepada etnis-etnis itu, namun ditentang oleh kelompok militan yang ingin mempertahankan sistem pemerintahan satu suku.
ADVERTISEMENT
Pembunuhan massal dimulai pada hari berikutnya ketika tentara, polisi, dan milisi mengeksekusi para pemimpin penting militer dan politik Tutsi dan Hutu moderat, situasi ini juga terjadi di saat bersamaan dengan terjadinya Perang Saudara Rwanda.
Genosida Rwanda sayangnya tidak mendapatkan perhatian besar dari dunia internasional, salah satu penyebab paling dominan adalah karena Rwanda dinilai tidak memiliki nilai kepentingan strategis di mata internasional, termasuk di mata AS.
Diberitakan The Guardian, pemerintah AS tidak ingin mengulangi kegagalan yang sama ketika mengintervensi konflik di Somalia yang mengakibatkan pasukan AS juga tersedot ke dalam pertempuran.
AS menganggap tidak memiliki kepentingan di Rwanda, sebuah negara kecil di Afrika tengah tanpa mineral atau nilai strategis.
ADVERTISEMENT
Pada kunjungannya ke ibu kota Rwanda, Kigali, di 1998, mantan Presiden AS Bill Clinton akhirnya meminta maaf karena tidak bertindak cukup cepat atau segera menyebut kejahatan tersebut sebagai genosida.
“Ini mungkin tampak aneh bagi Anda di sini, terutama banyak dari Anda yang kehilangan anggota keluarga Anda. Tapi di seluruh dunia ada orang-orang seperti saya yang duduk di kantor, hari demi hari, yang tidak sepenuhnya langsung mendalami dan memahami kondisi Anda diliputi oleh teror yang tak terbayangkan ini,” kata Clinton, pada Rabu (31/3/2004), dikutip dari The Guardian.

3. Serangan ISIS terhadap Kaum Yazidi di Irak (1994 - Sekarang)

Pertempuran melawan ISIS di Baghouz, Suriah Foto: Reuters/Rodi Said
Serangan ISIS terhadap Kaum Yazidi telah berlangsung sejak 2014 hingga saat ini di daerah Irak Utara dan Suriah terhadap kelompok minoritas Yazidi. Ribuan pria Yazidi dibantai, ribuan wanita dan gadis Yazidi diperjualbelikan untuk menjadi budak seks.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), sebanyak lebih dari 5.000 orang Yazidi telah terbunuh dan 5.000-7.000 wanita Yazidi diculik.
Pada tahun 2014, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mencatat sebanyak 9.347 warga sipil telah dibunuh oleh ISIS di Irak dan jumlah itu meningkat di tahun 2016 menjadi 18.802 kematian.
Peristiwa ini terjadi setelah penarikan tentara bersenjata Kurdi (Peshmerga) dari Pemerintah Daerah Kurdistan yang mengakibatkan kaum minoritas Yazidi ditinggal tanpa pertahanan dan pengamanan.
ISIS memaksa orang-orang yang tinggal di wilayah tersebut untuk hidup sesuai dengan interpretasi Islam dan hukum syariah.
Penduduk Suriah melarikan diri dari wilayah ISIS Foto: Mezopotamya Agency, via AP
Pada Agustus 2014, dilaporkan lebih dari 300 kepala keluarga Yazidi diancam dan dipaksa untuk memilih antara berpindah agama ke Islam atau “nyawa akan melayang”.
ADVERTISEMENT
Mereka mengancam akan membunuh, menyiksa, dan memutilasi apabila kelompok-kelompok ini menolak untuk masuk Islam dan apabila menolak berjanji untuk setia kepada ISIS.
Ahmed Ameen Koro korban penculikan ISIS. Foto: AP
Yazidi sendiri merupakan kelompok minoritas yang memiliki kepercayaan pada malaikat merak. Kepercayaan ini ditentang oleh ISIS yang menganggap malaikat merak merupakan simbol Lucifer (raja iblis) dan menuding Yazidi sebagai penyembah setan.
Mantan Presiden AS Barack Obama mengecam tindakan yang dilakukan oleh ISIS terhadap warga Irak dan Suriah.
Dalam sebuah pernyataan pers Gedung Putih, ia menegaskan bahwa ISIS adalah kelompok teroris yang tidak melambangkan ajaran agama manapun dan ISIS adalah pelaku ancaman genosida terhadap penganut agama minoritas.
“ISIS bukan Islam, tidak ada agama yang membenarkan pembunuhan orang tak bersalah. ISIS adalah organisasi teroris, sesederhana itu. Dan tidak ada visi lain selain pembantaian semua orang yang menghalangi jalannya,” ujar Obama, pada Minggu (10/9/2014), dikutip dari halaman resmi kearsipan Gedung Putih.
ADVERTISEMENT
“Mereka membunuh anak-anak. Mereka memperbudak, memperkosa, dan memaksa wanita menikah. Mereka mengancam minoritas agama dengan genosida,” lanjut dia.

4. Genosida terhadap Kaum Rohingya oleh Myanmar (2016 - 2017; 2017 - Sekarang)

Sejumlah pengungsi Rohingya duduk di atas kapal angkatan laut untuk pindah ke pulau Bhasan Char di Chattogram, Bangladesh, Selasa (29/12). Foto: Mohammad Ponir Hossain/REUTERS
Genosida terhadap kaum Rohingya berlangsung selama dua periode, yakni di Oktober 2016 hingga Januari 2017 dan yang masih terjadi hingga saat ini sejak Agustus 2017.
Doctors Without Borders mengabarkan pada Desember 2017 sedikitnya 10.000 orang Rohingya telah terbunuh oleh tentara Myanmar dan warga mayoritas di negara itu.
Tentara Myanmar juga telah menghancurkan sedikitnya 392 desa Rohingya di negara bagian Rakhine serta melakukan kekerasan seksual terhadap wanita dan anak-anak perempuan Muslim Rohingya.
Akibatnya, sebanyak 740.000 kaum Rohingnya mengungsi ke negara tetangganya, Bangladesh, menurut laporan PBB pada September 2018.
Pengungsi Rohingya kelelahan saat melarikan diri. Foto: REUTERS / Hannah McKay
Kaum Rohingya dirampas haknya untuk bergerak bebas dan mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya. Mereka secara resmi telah ditolak kewarganegaraannya sejak 1982 ketika undang-undang kewarganegaraan Burma diberlakukan.
ADVERTISEMENT
Muslim Rohingya mewakili persentase Muslim terbesar di Myanmar. Kebanyakan warga Rohingya tinggal di negara bagian Rakhine. Tetapi pemerintah Myanmar, negara yang mayoritas beragama Buddha, menyangkal kewarganegaraan Rohingya dan bahkan mengeluarkan mereka dari sensus 2014 serta menolak untuk mengakui mereka sebagai bagian dari Myanmar.
Semenjak itu, kaum Rohingya kerap mengalami tindakan rasisme oleh pemerintah dan umat Buddha yang fobia terhadap Islam di Myanmar.
AS pun mengecam aksi yang dilakukan oleh tentara militer Myanmar terhadap kaum Rohingnya. Hal ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, pada Senin (21/3/2022).
“Saya telah menetapkan bahwa anggota militer Burma (Myanmar) melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap Rohingya,” ujar Blinken dalam sebuah pidato di Museum Peringatan Holocaust AS di Washington, AS, dikutip dari Al Jazeera.
ADVERTISEMENT
“Penting juga untuk diketahui bahwa selama beberapa dekade, militer Burma telah melakukan pembunuhan, pemerkosaan, dan kekejaman lainnya terhadap anggota kelompok etnis dan agama minoritas lainnya,” lanjut Blinken.
Pada akhir 2016, PBB dan berbagai lembaga keamanan dan hak asasi manusia internasional telah mengecam Myanmar atas aksi genosida dan pembersihan etnis.

5. Genosida Kaum Muslim Uighur oleh China (2014 - Sekarang)

Warga Uighur di Xinjiang, China. Foto: AFP/Johannes Eisele
Aksi genosida yang masih terjadi hingga saat ini ada di wilayah perbatasan Rusia-China, Xinjiang, yang dihuni oleh kaum minoritas Muslim Uighur (Daerah Otonomi Uighur Xinjiang).
Sejak kamp rahasia dibangun pada 2017, China di bawah pemerintahan Presiden Xi Jinping telah menerapkan kebijakan yang mengasingkan sebanyak lebih dari 1 juta kaum muslim yang didominasi oleh kaum Uighur termasuk orang Kazakh, Kyrgyzstan dan etnis Muslim lainnya di kamp-kamp rahasia yang terletak di seluruh wilayah tersebut secara paksa dan tanpa prosedur hukum.
ADVERTISEMENT
Kamp-kamp rahasia ini telah dikritik oleh banyak negara atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penganiayaan, pemerkosaan, kontrasepsi dan aborsi paksa, kerja paksa, serta larangan bagi kaum Uighur untuk beribadah.
Kamp penjara Uighur di Dabancheng, Xinjiang. Foto: Reuters/ Thomas Peter
AS merupakan salah satu negara di dunia yang mengkritik kebijakan China untuk mengasingkan kaum minoritas ke kamp khusus Xinjiang.
“Saya percaya genosida (terhadap kaum Uighur) ini sedang berlangsung dan bahwa kita menyaksikan upaya sistematis untuk menghancurkan Uighur oleh negara-partai China,” kata mantan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dalam sebuah pernyataan pers, pada Selasa (19/1/2021), dikutip dari The New York Times.
“Pejabat China terlibat dalam asimilasi paksa dan akhirnya mengakibatkan penghapusan kelompok minoritas etnis dan agama yang rentan,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Semenjak kebijakan tersebut diberlakukan, para ahli memperkirakan sekitar 16.000 masjid telah dirusak dan ratusan ribu anak telah dipisahkan secara paksa dari orang tua mereka untuk ditempatkan di asrama khusus yang telah disiapkan oleh pemerintah China.
Anak-anak Uighur Foto: Reuters/Thomas Peter
Pemerintah setempat dilaporkan menahan ratusan ribu orang Uighur bersama anggota kelompok etnis minoritas lainnya di China di kamp khusus ini guna mencegah aksi ekstremisme dan terorisme serta mempromosikan integrasi sosial.
Ini menjadi penahanan skala terbesar terhadap etnis dan agama minoritas sejak Holocaust terjadi pada masa Perang Dunia II.
Pemerintah China membantah telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang. Reaksi dari dunia internasional pun bervariasi.
Beberapa negara anggota PBB ada yang mengeluarkan pernyataan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengutuk kebijakan China atas aksi genosida, sementara sebaliknya ada negara yang mendukung kebijakan tersebut.
ADVERTISEMENT

6. Genosida Darfur (2003 - Sekarang)

Sisa-sisa desa yang ditinggalkan Chero Kasi terbakar kurang dari satu jam setelah milisi Janjaweed membakarnya dalam kekerasan yang melanda wilayah Darfur 7 September 2004. Foto: Scott Nelson/Getty Images
Genosida Darfur merupakan konflik rasial yang menyebabkan pembunuhan terhadap etnis Darfuri di Darfur, Sudan Barat sejak 2003 dan masih berlangsung hingga kini.
Konflik ini dinyatakan sebagai genosida oleh mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Colin Powell pada tanggal 9 September 2004, sekaligus menjadi anggota pertama dari administrasi AS menerapkan label “genosida” pada konflik yang sedang berlangsung.
“Bukti membawa kita pada kesimpulan bahwa genosida telah terjadi dan mungkin masih akan tetap terjadi di Darfur,” kata Powell, pada Kamis (9/9/2004), dilansir dari CNN.
“Sudan adalah pihak yang menandatangani Konvensi Genosida dan berkewajiban di bawah Konvensi untuk mencegah dan menghukum tindakan genosida, namun tampaknya Sudan telah gagal melakukannya,” tambah Powell.
ADVERTISEMENT
Konflik di Darfur telah berkembang dari beberapa peristiwa terpisah selama bertahun-tahun. Faktor utama yang memicunya adalah perang saudara antara pemerintah nasional Khartoum dan 2 kelompok pemberontak di Darfur, yakni Gerakan Keadilan dan Persamaan serta Tentara Pembebasan Sudan yang mengakibatkan kekerasan massal terhadap warga sipil di Darfur.
Selain itu, faktor lain yang memicu konflik adalah perang saudara antar umat Kristen, penganut kepercayaan animisme (kepercayaan purba terhadap makhluk halus dan roh), dan pemerintah yang didominasi Arab semenjak kemerdekaan Sudan dari Inggris pada tahun 1956.
Pejuang pemberontak Sudan dari Justice and Equality Movement (JEM) menyaksikan desa yang ditinggalkan Chero Kasi terbakar kurang dari satu jam setelah milisi Janjaweed membakarnya dalam kekerasan yang melanda wilayah Darfur 7 September 2004. Foto: Scott Nelson/Getty Images
Konflik ini berlangsung selama 11 tahun dan mengakibatkan lebih dari 1 juta orang telantar dan melarikan diri ke daerah Sudan dan Chad.
Pada tahun 2013, PBB mencatat sekitar 300.000 orang telah terbunuh akibat konflik ini dan di 2015 diperkirakan jumlah kematian meningkat hingga 400.000 jiwa.
ADVERTISEMENT
Kekerasan berlanjut hingga 2016 di mana pemerintah diduga menggunakan senjata kimia terhadap penduduk lokal di Darfur. Hal ini menyebabkan lebih dari 3 juta jiwa terdampak konflik dan menjadi pengungsi.