Semangat Anak Bantar Gebang Belajar di Sekolah Alam

3 Mei 2017 19:03 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sekolah alam di Bantar Gebang. (Foto: Iqra Ardini/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sekolah alam di Bantar Gebang. (Foto: Iqra Ardini/kumparan)
Suasana Sekolah Alam Tunas Mulia masih sepi, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. "Anak-anaknya masih kerja," kata seorang bapak yang sedang berkebun di dekat halaman sekolah itu.
ADVERTISEMENT
Memasuki halaman sekolah, sebuah saung nampak dipenuhi guru-guru Sekolah Alam Tunas Mulia yang sedang rapat. Gurunya sudah ada, tapi muridnya belum juga hadir.
"Ada yang masih mulung, ada juga yang masih di sekolah formal," kata Nadam Dwi Subekti, pendiri Sekolah Alam Tunas Mulia ketika ditemui di sekolahnya di Bantar Gebang, Bekasi, Rabu (3/5). Sekitar 200 murid bersekolah di sini.
Murid-murid sekolah dasar dan menengah pertama, kata Nadam, biasanya mulai belajar pukul 13.00-16.00 WIB tiap Senin, Rabu, dan Jumat. Sementara murid PAUD belajar tiap Selasa, Kamis, dan Sabtu mulai pukul 08.00-10.00 WIB.
Siswa sekolah alam di Bantar Gebang. (Foto: Iqra Ardini/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Siswa sekolah alam di Bantar Gebang. (Foto: Iqra Ardini/kumparan)
Sekitar pukul 12.00 WIB, murid-murid Sekolah Alam Tunas Mulia mulai berdatangan. Mereka tidak mengenakan seragam dan sepatu, melainkan baju bebas namun sopan dan sendal.
ADVERTISEMENT
Mereka langsung menyerbu lapangan bola, perpustakaan, dan mushola yang ada di belakang sekolah yang menjadi tempat favorit para murid sebelum mulai belajar.
"Sekolah kami nggak pakai seragam dan sepatu itu memang konsepnya. Sekolah itu kan mempermudah ya biar anak mau sekolah nggak usah mikir lagi nggak punya seragam atau sepatu," jelas Nadam.
Telat pukul 13.00 WIB, para murid mulai dipanggil masuk ke ruang kelas. Sekolah alam tersebut memiliki tiga buah saung dan tiga bangunan serupa rumah panggung bercat kuning. Kayu yang memagari sisi saung di cat merah, kuning, dan hijau, sementara tiang-tiangnya bercat biru. Kelimanya difungsikan sebagi ruang kelas murid-murid Sekolah Alam Tunas Mulia.
"Saya awalnya memang mau bikin sekolah khusus untuk anak pemulung. Cuman yang kira-kira anak-anak ini betah dan cocok ya dengan konsep sekolah alam," kata Nadam. Menurutnya, sekolah alam lebih bebas dan dapat mengembangkan kreatifitas anak.
ADVERTISEMENT
"Saya adopsi konsep sekolah alamnya pada media pembelajaran dan tempat belajarnya. Namun untuk kurikulumnya masih campuran sama sekolah formal," jelas Nadam.
Sekolah alam di Bantar Gebang. (Foto: Iqra Ardini/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sekolah alam di Bantar Gebang. (Foto: Iqra Ardini/kumparan)
Porsi belajar di dalam dan di luar ruangan pun ditetapkan sehari dalam satu pekan. "Kapannya tergantung masing-masing guru. Pembelajaran di luar itu seperti berternak, berkebun, atau main game di luar," kata Nadam.
Meskipun mengadakan kegiatan di luar kelas, pria lulusan peternakan Unsoed ini mengklaim sekolah alamnya tidak mahal seperti sekolah alam lain. Pasalnya, orangtua murid-murid yang bersekolah di sana mayoritas berprofesi sebagai pemulung, buruh, dan supir.
"Kami tidak pernah bebani biaya sekolah, seragam, alat tulis, maupun buku. Disini gratis. Buku, tas, alat tulis semua anak ada bagiannya. Semua ini dari donatur," ujar Nadam sambil tersenyum.
ADVERTISEMENT
Dibantu oleh 10 pengajar yang sebagian merupakan anggota majelis taklim di wilayah tempat tinggalnya dan sebagian lagi guru sekolah formal, Nadam menjalanlan sekolah alam gratis ini sejak 2006.
"Di awal memang ada beberapa kendala ya karena kesadaran mereka akan pendidikan masih rendah. Sekarang mereka sudah sadar ya walau kadang nggak berjalan mulus juga karena anaknya lebih suka mulung," ujar Nadam sambil tertawa.
Oleh karenanya, Nadam mengaku tidak ingin memakasakan muridnya belajar. "Jangan anak dipaksa untuk mengerti apa yang kita ajarkan, tapi buat mereka sendiri yang merasa butuh mencari ilmu, walaupun tahapannya lambat," kata dia.
Menurutnya, sekolah itu perlu dibuat sesimpel mungkin. Ia berprinsip untuk membuat murid-muridnya pintar dengan apa yang ada di alam, bukannya dengan fasilitas berlebihan.
ADVERTISEMENT
Karena proses pembelajaran yang simpel dan nyaman bagi anak, murid-murid sekolah alam yang sudah dipindahkan ke sekolah formal pun tetap mau datang ke tempat Nadam seusai sekolah. Sebaliknya, ada juga anak yang sudah bersekolah formal ingin masuk ke sekolah alam.
"Jadi mereka pagi di sekolah formal, siangnya masih ke sini," ujar Nadam.
Ke depannya, Nadam tetap berharap Sekolah Alam Tunas Mulia dapat terus memberikan pengajaran yang menyenangkan dan tidak membebani.
"Apalagi setelah ada program beasiswa yang kami berikan ke murid berprestasi sejak 2010, diharapkan murid makin antusias belajar," ujar Nadam.
Program beasiswa ini akan mencarikan beasiawa atau membiayai sekolah SMA atau kuliah bagi murid yang dianggap bersemangat belajar tinggi. "Sudah ada 1 yang lulus, 4 lagi masih kuliah," tutupnya.
ADVERTISEMENT
Sampah di belakang sekolah alam Bantar Gebang. (Foto: Iqra Ardini/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sampah di belakang sekolah alam Bantar Gebang. (Foto: Iqra Ardini/kumparan)