Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Semangat Para Pengungsi Gunung Agung di Tengah Kebun Bunga Gumitir
6 Januari 2018 21:03 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
ADVERTISEMENT
Jumat, 22 September 2017 Gunung Agung bergejolak. Aktivitasnya mencapai ke level tertinggi yang berupa penetapan status Awas dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Dampaknya, masyarakat yang hidup di sekitar wilayah gunung tertinggi di Pulau Bali itu mau tak mau harus diungsikan.
ADVERTISEMENT
Memang, status Gunung Agung sempat turun ke level yang lebih rendah, aktivitas vulkaniknya masih terus berfluktuasi. Puncaknya, pada Sabtu (25/11), Gunung Agung menyemburkan abu vulkanik dan dentuman yang terdengar hingga radius 12 kilometer.
Setidaknya ada lebih dari 20 desa yang terkena dampak erupsi Gunung Agung. Salah satunya adalah Desa Sebudi, Selat, Karangasem, Bali yang berlokasi enam kilometer dari bibir kawah Gunung Agung. Warga Desa Sebudi pun diungsikan ke tempat yang lebih aman yakni Kabupaten Klungkung.
Berada di pengungsian bukan jadi alasan untuk menunggu tanpa kejelasan. Selama empat bulan berada di pengungsian, mereka tetap mampu menghasilkan sesuatu yang produktif. Salah satunya dengan cara menanam dan memanen bunga gumitir. Bunga yang memiliki warna oranye ini laku dijual dengan harga Rp 20.000 per keranjang.
ADVERTISEMENT
"Mereka kita edukasi agar tetap bisa bekerja. Ada yang bisa menganyam silakan menganyam, ada yang bisa pertukangan silakan, dan ada juga yang perkebunan seperti gumitir ini," tutur Arsana, Sekretaris Pasebaya Gunung Agung.
Pasebaya atau Pasemetonan Jagabaya, adalah sebuah komunitas masyarakat bentukan 28 Desa yang terkena dampak erupsi Gunung Agung.
Arsana mengatakan, tujuan Pasebaya melakukan edukasi agar masyarakat bisa mandiri dan tidak hanya mengandalkan bantuan dari luar.
"Anggaplah pengungsian itu seperti rumah sendiri dulu, jadi pekerjaan awal harus dikerjakan kembali di sini seperti bertani atau bertukang. Jangan hanya mengandalkan bantuan atau menadahkan tangan," papar Arsana.
Hebatnya, modal awal bertani di tanah pengungsian itu semua berasal dari warga sendiri atau swadaya. Mereka lalu mencari tanah untuk disewa yang kemudian dijadikan lahan untuk menanam bunga gumitir.
ADVERTISEMENT
"Mungkin ada kendala di modal. Tapi akhirnya bisa dengan modal swadaya dari masyarakat. Mereka menyewa lahan dan bagi hasil dengan pemilik lahan," kata Arsana.
Bunga-bunga tersebut menurut Arsana dijual di pasar-pasar tradisional. Ia mengungkapkan bahwa permintaan masyarakat terhadap bunga termasuk bunga gumitir cukup tinggi sehingga pekerjaan menanam cukup membantu masyarakat.
"Bungangya dijual di pasar Klungkung, di pasar-pasar tradisional juga. Pembelinya ada banya karena di pasar sini kan adatnya banyak memerlukan bunga jadi tidak ada yang tidak beli bunga," pungkas Arsana.