Sengkarut Slot Satelit 123 BT Kemhan

15 Januari 2022 18:48 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung Jam Pidsus, Kejagung. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Jam Pidsus, Kejagung. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan dugaan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah terkait proyek satelit slot 123 derajat bujur timur, di Kementerian Pertahanan Tahun 2015. Indikasi korupsi pun tercium, membuat Kejaksaan Agung melakukan penyidikan.
ADVERTISEMENT
Satelit Keluar Orbit
Perkara ini berawal saat terjadi kekosongan dalam di slot orbit 123 derajat BT usai Satelit Garuda 1 keluar orbit pada 19 Januari 2015. Satelit Garuda 1 telah merampungkan tugasnya selama 15 tahun, sejak diluncurkan pada 12 Februari 2000.
Saat itu, Satelit Garuda dioperasikan oleh AceS, perusahaan internasional yang dimiliki bersama oleh PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), Lockheed Martin Global Telecommunication (LMGT), Phillippine Long Distance Company (PLDT) dan Jasmine Internasional Public Company Ltd. Satelit ini mengorbit di atas langit Sulawesi.
Setelah kekosongan terjadi, sejumlah upaya dilakukan agar orbit bekas satelit tersebut tak jatuh ke negara lain. Sebab, berdasarkan ketentuan dari International Communication Union, sebuah badan di bawah PBB yang bertanggung jawab di bidang telekomunikasi dunia, negara yang telah diberi hak pengelolaan satelit akan diberi waktu untuk mengisi kembali orbit dengan satelit lain dalam waktu 3 tahun.
ADVERTISEMENT
Kemhan kemudian mengajukan hak pengelolaan atas slot orbit satelit 123 derajat BT tersebut. Program yang dibawa Kemhan bernama Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Namun, Kemhan mengadakan kontrak sewa satelit floater (satelit sementara pengisi orbit) dengan Avanti Communications Ltd untuk mengisi Slot Orbit 123 derajat BT.
Akhirnya Avanti menempatkan Satelit Artemis pada orbit 123 derajat BT pada November 2016. Terkait pembangunan satelit Satkomhan, Kemhan menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat. Namun, diduga ada penyimpangan yang terjadi, sehingga negara mengalami kerugian.
Gedung Kementerian Pertahanan. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Dalam laman resminya, Kemhan sempat membeberkan urgensi dari mempertahankan slot orbit satelit 123 derajat BT ini. Berikut pernyataannya:
Perlu menjadi bahan pertimbangan bersama, dalam sistem pertahanan negara yang kuat diperlukan dukungan sistem komunikasi yang terintegrasi, kerahasiaan terjamin, mampu untuk menghubungkan satuan-satuan yang bergerak dengan mobilitas tinggi, mampu menjangkau tempat-tempat terpencil di darat, laut, dan udara di seluruh wilayah Indonesia serta sistem komunikasi pertahanan juga harus tahan terhadap cuaca ekstrem.
ADVERTISEMENT
Keberadaan Satelit L-Band di Slot Orbit 123 derajat BT dapat memenuhi kriteria kebutuhan tersebut karena memiliki kemampuan untuk menjangkau daerah-daerah dan pulau-pulau terpencil di Indonesia yang merupakan negara kepulauan, komunitas maritim, vessel monitoring system, komunikasi untuk monitoring bencana seperti search and rescue serta komunikasi pertahanan dan keamanan
Selain itu keberadaan satelit Indonesia di Slot Orbit 123° BT menjadi sangat penting dan vital bagi Pertahanan Negara Indonesia mengingat letaknya berada tepat di tengah-tengah wilayah yurisdiksi Indonesia atau kira-kira berada di atas Pulau Sulawesi.
Kejanggalan
Sejumlah kejanggalan dalam proyek Satkomhan tersebut terkuak. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Febrie Ardiansyah, mengatakan bahwa ada sejumlah perbuatan diduga melawan hukum yang terjadi dalam prosesnya.
ADVERTISEMENT
Salah satunya, kata Febrie, proyek ini tidak direncanakan dengan baik. Sebab, saat kontrak dengan sejumlah perusahaan tersebut, anggaran tak tersedia dalam DIPA Kemhan 2015. Kemhan tak punya anggaran penyewaan satelit tersebut.
Selain itu, Febrie menyebut penyewaan satelit Artemis dari Avanti pun sejatinya tidak diperlukan. Sebab, negara mempunyai waktu tenggang paling lama 3 tahun untuk mengisi slot tersebut. Tak harus diisi saat satelit tersebut keluar orbit.
"Seharusnya saat itu kita tidak perlu menyewa satelit tersebut karena di ketentuannya saat satelit yang lama tidak berfungsi masih ada waktu 3 tahun. Masih ada tenggang 3 tahun tetapi dilakukan penyewaan," papar Febri dalam konferensi pers di kantornya, Jumat (14/1).
Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
Pengadilan Arbitrase
Sejumlah kejanggalan itu terkuak. Kemhan digugat di pengadilan arbitrase. Salah satunya dilayangkan oleh Avanti, atas gugatan wanprestasi yang dilakukan oleh Kemhan. Kemhan disebut tak membayar nilai sewa sesuai dengan kontrak yang ditandatangani.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari laman resminya, Kemhan digugat karena tidak dapat memenuhi pembayaran sewa satelit sejak akhir tahun 2016 sampai dengan 2017 sesuai kontrak. Setelah berbagai upaya negosiasi dilakukan oleh Kemhan menemui kegagalan, maka Avanti secara resmi mengajukan gugatan.
Gugatan tersebut dilayangkan pada 10 Agustus 2017 melalui LCIA (London Courts of International Arbitration) dan mengeluarkan Satelit Artemis dari Slot Orbit 123 derajat BT pada Bulan November 2017.
Saat itu, Kemhan mengambil dua strategi dalam menghadapi gugatan dari Perusahaan Avanti Communication. Strategi pertama yakni non-litigasi, yakni penyelesaian melalui jalur perdamaian atau negosiasi. Cara negosiasi ini sempat diungkapkan Menhan saat itu, Ryamizard Ryacudu. Sementara strategi kedua yakni litigasi, berupa penyelesaian melalui jalur hukum.
Di sela proses hukum di pengadilan arbitrase, yakni pada 2018, Kemhan mengembalikan lagi hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT kepada Kominfo.
ADVERTISEMENT
Tender dilakukan, dan berdasarkan laman Asia Pacific Satellite Communications Council, dimenangkan oleh PT Dini Nusa Kusuma (DNK). Dalam laman tersebut, satelit DNK meluncur pada pertengahan 2022.
Terlepas dari pengelolaan slot satelit yang kembali ke tangan Kominfo, pada 9 Juli 2019, Pengadilan Arbitrase menjatuhkan putusan bahwa Negara harus membayar sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar. Alhasil, Negara pun mengeluarkan pembayaran dengan nilai Rp 515 miliar.
Ilustrasi satelit. Foto: PIRO4D via Pixabay
Kerugian Negara
Putusan pengadilan arbitrase yang mengharuskan negara membayar Rp 515 miliar dinilai oleh Kejagung sebagai bentuk kerugian negara.
Selain Avanti, masalah juga timbul dengan pihak Navayo. Mahfud menyebut Navayo yang juga telah menandatangani kontrak dengan Kemhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance. Namun barang tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017.
ADVERTISEMENT
Navayo kemudian mengajukan tagihan sebesar USD 16 juta kepada Kemhan. Pemerintah menolak untuk membayar sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura.
Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura tanggal 22 Mei 2021, Kemhan diwajibkan membayar USD 20.901.209 (sekitar Rp 298 miliar) kepada Navayo.
"Selain keharusan membayar kepada Navayo, Kemhan juga berpotensi ditagih pembayaran oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells, dan Telesat, sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi," ungkap Mahfud dalam konpers di kantornya.
Dengan demikian, total negara mengalami kerugian hingga Rp 800 miliar dan berpotensi bertambah.
"Satelit yang disewa tidak dapat berfungsi dan spesifikasi tidak sama. Indikasi kerugian negara yang kami ditemukan hasil diskusi dengan auditor diperkirakan uang sudah keluar sekitar Rp 500 miliar lebih, dan ada potensi karena kita sedang digugat arbitrase sebesar USD 20 juta," ungkap JAMPidsus Febrie Ardiansyah.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Jampidsus Kejagung, Febrie Adriansyah. Foto: Abyan Faisal/kumparan
Penyidikan di Kejagung
ADVERTISEMENT
Saat ini, perkara tersebut sudah masuk tahap penyidikan. Penyidik kini sedang mengumpulkan bukti untuk menjerat tersangka yang paling bertanggung jawab.
"Kan kalau kemarin masih penyelidikan, dan kami tingkatkan ke penyidikan. Insya Allah dalam satu dua hari kami akan tindak lanjuti ini dan memang dari hasil penyelidikan, cukup bukti untuk kami tingkatkan ke penyidikan," ucap Jaksa Agung ST Burhanuddin di kantor Kemenkopolhukam, Kamis (13/1).
JAMPidsus Febrie Adriansyah, menyebut penyidik sedang mencari bukti terkait kasus tersebut. Terdapat 11 orang yang diminta keterangannya. Termasuk pihak swasta, pelaksana, maupun pejabat pemerintahan di Kemhan.
“Kita telah menyelidiki terhadap kasus ini selama satu minggu. Kita sudah memeriksa beberapa pihak, baik dari pihak swasta atau rekanan pelaksana maupun dari beberapa orang di Kementerian Pertahanan. Jumlah yang kita periksa ada 11 orang,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Febrie mengatakan, Kejagung bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit terkait penyewaan satelit itu. Hal tersebut untuk menguatkan alat bukti yang dimiliki Kejagung terkait indikasi pidana dalam penyewaan tersebut.
Selain itu, pengusutan kasus ini juga atas koordinasi dengan Jaksa Agung Muda Pidana Militer (JAMPidmil) Anwar Saad. Sebab beberapa saksi yang diperiksa melibatkan TNI.
“Dan kenapa JAMPidmil hadir karena memang proyek ini ada di Kemenhan. Tentu ada saksi-saksi juga yang kita periksa dari rekan-rekan kita di TNI," kata dia.
Diketahui, pada saat gugatan arbitrase dari Avanti mencuat, Menteri Pertahanan (Menhan) yang sedang menjabat, Ryamizard Ryacudu. Lantas, apakah penyidik nantinya akan memeriksa mantan Menhan, Ryamizard Ryacudu? Mengingat, perkara terjadi ketika Ryamizard menjabat.
ADVERTISEMENT
“Dalam proses penyidikan tentu kita profesional, kita akan melihat terhadap pihak-pihak yang menguatkan pembuktian,” ucap Febrie Adriansyah saat ditanya kemungkinan pemeriksaan terhadap Ryamizard, Jumat (14/1).