Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Toko buku legendaris Gunung Agung akan menutup total seluruh gerainya pada akhir tahun 2023. Kabarnya, toko ditutup secara total karena perusahaan terus merugi. Sebelumnya, Books & Beyond juga menutup seluruh gerainya di Indonesia, bahkan sampai membuat diskon besar-besaran. Begitu juga toko buku lokal yang telah gulung tikar lainnya.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini memunculkan pertanyaan, apakah membaca buku masih diminati atau tidak di Indonesia. Namun, kenyataannya, kita masih melihat banyak toko buku online yang menjamur dan masifnya review buku atau akun-akun literasi di media sosial.
Bukti nyata lainnya, sebuah toko buku independen di Yogyakarta bernama Buku Akik mampu tetap bertahan dan berkembang. Awalnya, toko milik Tomi Wibisono ini justru dimulai dari online, bukan offline.
Tomi menilai, usaha toko buku dengan format minimarket sudah tak relevan lagi. Mereka harus mengedepankan 'browsing experience', di mana pembaca datang untuk mendapatkan pengalaman baru. Sentuhan personal pun memegang peranan penting.
Di Buku Akik, buku-buku yang mendapat tempat utama adalah buku-buku pilihan mereka sendiri, baik yang mereka sukai atau yang bagus tapi kurang populer, bukan buku-buku best seller.
ADVERTISEMENT
"Sebab kalau semua toko meng-highlight buku yang sama, menurutku itu juga gak baik untuk ekosistem perbukuan," ujarnya kepada kumparan.
Selain itu, membangun toko buku juga selaras energinya dengan membangun sebuah komunitas. Di Buku Akik, para pengunjung tak hanya bertemu penjual atau pembeli lain, namun dapat berinteraksi dengan para penulis buku yang mereka baca.
"Buku Akik juga jadi titik temu penulis dan pembaca, mayoritas yang berkunjung mengabadikan momen, dan kami berikan sentuhan personal soal estetika," ujarnya.
Tomi melihat kondisi toko-toko buku offline yang gulung tikar sebagai sebuah keprihatinan, di saat di luar sana banyak buku-buku bajakan yang marak dijual di toko-toko online.
"Yang cukup mengganggu toko buku tuh maraknya buku bajakan yang bisa jual dengan harga super murah, bisa ditelusuri aja angka terjual buku bajakan di marketplace, cukup fantastis," tandasnya.
ADVERTISEMENT
Gemar membaca tanpa kehadiran toko buku fisik, apakah bisa?
Tak sedikit pembaca di Indonesia yang merasa kehilangan dengan maraknya toko buku offline yang tutup saat ini, salah satunya Nazhifah Junia atau Zhifa, perantau di Jakarta asal Ambon. Sejak kecil, buku tak bisa lepas dari genggaman. Koleksi ratusan buku miliknya mayoritas dibeli di toko buku offline.
Sejak berkuliah di Yogyakarta hingga merantau di Jakarta, mengunjungi dan berbelanja ke toko buku offline menjadi terapi baginya. Ia bahkan sampai berteman dengan penjaga toko dan saling bertukar rekomendasi.
"Belanja dan baca buku online tidak bisa menggantikan buku fisik, sensasinya tidak nyata. Buku fisik bisa saya jadikan diary dan ada jejaknya," ungkap Zhifa.
Ia pun berharap, toko buku mampu bangkit kembali dengan menghadirkan inovasi-inovasi baru.
ADVERTISEMENT
"Atur mood toko, set bau toko yang khas, staf yang ramah dan mengerti buku juga penting, dan tambahkan coffee shop yang readers-friendly," imbuhnya.
Namun, penghobi buku lainnya, Diella, justru tak begitu terusik dengan hilangnya toko-toko buku offline. Sejak 2021, ia sudah beradaptasi dengan membaca buku online di Kindle. Menurutnya, buku yang dibeli secara online juga terbilang praktis untuk dibawa ke mana-mana dan harganya lebih terjangkau.
"Dari sebelum toko buku offline berguguran, sudah beli buku via online. Jadi no major issue. Namun sering pake kindle karena lebih praktis dan harganya lebih murah," ujar Diella.
Jadi, kamu tim tetap beli buku offline seperti Zhifa atau online seperti Diella, nih?