Sepanjang 2022, Ada 16 Kasus PMI di Malaysia Tidak Dibayar Gajinya

17 Februari 2022 18:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi WNI di Malaysia (19/3/2020). Foto: Antara/Aswaddy Hamid
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi WNI di Malaysia (19/3/2020). Foto: Antara/Aswaddy Hamid
ADVERTISEMENT
Kepalang tergoda iming-iming gaji menggiurkan, banyak WNI terbang ke Malaysia untuk bekerja di sektor domestik. Bermodal informasi minim, mereka lantas jatuh dalam lubang perbudakan modern.
ADVERTISEMENT
Tanpa pelatihan maupun kontrak kerja, Pekerja Migran Indonesia (PMI) menjadi kelompok rentan dieksploitasi majikan. Pekan lalu, KBRI Kuala Lumpur melaporkan kasus seorang pekerja migran yang tak digaji selama 7,5 tahun.
Ibu berusia 60 tahun itu dikurung bak tahanan. Ia tidak boleh meninggalkan rumah kecuali untuk membuang sampah. Pun komunikasinya dengan dunia luar diputus sang majikan.
Alih-alih mengupah ibu itu, majikan malah menyebutnya tak tahu diuntung. Sebab, asisten rumah tangga berinisial YT tersebut tidak memiliki dokumen legal. YT lantas tersudutkan dari berbagai sisi sebelum diselamatkan KBRI Kuala Lumpur.
Malaysia deportasi 92 Pekerja Migran Indonesia Foto: ANTARA FOTO/Agus Alfian
Kasus YT hanya ujung kecil dari puncak gunung es. Eksploitasi serupa kerap dialami PMI di Malaysia. Pada Januari hingga Februari 2022 saja, telah tercatat 16 kasus terkait gaji tak dibayar. Bila digabung, upah yang dirampas dari mereka mencapai miliaran.
ADVERTISEMENT
“Sebagai gambaran, selama tahun 2022 Januari hingga Februari di wilayah kerja KBRI Kuala Lumpur saja, tercatat ada 16 kasus terkait dengan gaji tidak dibayar dengan nilai yang dapat kita selamatkan 1,1 miliar rupiah,” tutur Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu RI, Judha Nugraha, dalam konferensi pers virtual pada Kamis (17/2).
Sedangkan pada 2021 lalu, KBRI Kuala Lumpur mendapati 206 kasus gaji tak dibayar di wilayah kerjanya. Dari ratusan kasus tersebut, upah yang tak terbayar berjumlah 7,37 miliar rupiah.
Pasalnya, KBRI Kuala Lumpur nyaris menerima laporan eksploitasi baru setiap harinya. Laporan-laporan tersebut datang dari sektor domestik.
Para pekerja migran dilimpahkan beban kerja berlebih dan bahkan mengalami kekerasan fisik. Agar mengurungkan niat melapor, para majikan melarang mereka berkomunikasi dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
Pun izin kerja mereka tidak diurus oleh majikan. Alhasil, PMI kesulitan meloloskan diri dari jeratan perbudakan.
“Ini modus klasik agar majikan lepas dari tanggung jawab karena penegakan hukum kepada majikan nakal sangat lemah. Itulah sebabnya banyak majikan lebih memilih memperkerjakan PMI undocumented,” tegas Dubes Indonesia di Kuala Lumpur, Hermono, dalam pernyataan yang dirilis KBRI Kuala Lumpur.
Sebanyak 502 orang Warga Negara Indonesia (WNI) dideportasi dengan menggunakan pesawat carter dari Bandar Udara Kuala Lumpur International Airport (KLIA) dan KLIA 2, Sabtu (7/11/2020). Foto: AGUS SETIAWAN/ANTARANEWS
Menilik fakta-fakta di lapangan, Hermono menyebut eksploitasi WNI di Malaysia sebagai “perbudakan modern.” Daripada insiden-insiden terisolasi, isu perbudakan modern itu merupakan masalah struktural. PMI membutuhkan perlindungan hukum yang dapat beradaptasi dengan situasi mereka.
Sebab, PMI tanpa dokumen dilanda kesialan ganda. Sudah tertipu informasi yang tak akurat, mereka juga rentan ditangkap otoritas Malaysia.
Judha menilai, praktik direct hiring dan konversi visa harus dihentikan. Praktik-praktik itu menyalahi UU 18 Tahun 2017. Sehingga, calon pekerja migran mudah terperosok ke dalam perdagangan orang dan kerja paksa.
ADVERTISEMENT
Indonesia dan Malaysia sebenarnya telah merundingkan sebuah Memorandum of Understanding (MoU) mengenai penempatan dan perlindungan pekerja migran di sektor domestik. Namun, sampai sekarang MoU belum diteken.
Jika rampung diterapkan, MoU tersebut memastikan pembatasan beban kerja dan upah yang wajar. Kontrak kerja dan akses kekonsuleran turut dijamin.