Sepanjang Tahun 2018, 11 Gajah Mati di Aceh

1 Januari 2019 20:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
BKSDA Temukan Gajah Liar Mati Tanpa Gading di Bener Meriah. (Foto: Dok. BKSDA Aceh)
zoom-in-whitePerbesar
BKSDA Temukan Gajah Liar Mati Tanpa Gading di Bener Meriah. (Foto: Dok. BKSDA Aceh)
ADVERTISEMENT
Hutan Aceh menjadi salah satu rumah yang masih tersisa bagi gajah di Pulau Sumatera. Populasi hewan bertubuh besar itu di Aceh cukup signifikan dibanding dengan daerah lain. Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menyebut ada lebih dari tiga juta hektare luas hutan di Aceh.
ADVERTISEMENT
Sebanyak 500 ekor gajah hidup di Aceh. Persebaran hewan bertubuh besar itu hampir di semua kabupaten/kota di Aceh kecuali di wilayah kepulauan seperti Sabang dan Simeulue.
Sayangnya, keberadaan gajah-gajah itu justru dianggap seperti hama oleh warga. Bahkan tak sedikit dari warga yang memanfaatkan gajah sebagai barang dagangan dengan mengambil gadingnya. Mereka memburu gajah untuk kepentingan ekonomi.
Sepanjang tahun 2018, ada sebanyak 11 ekor gajah ditemukan mati. Dari angka itu, hanya satu kasus kematian gajah yang berhasil diungkap pembunuhnya. Dia adalah pembunuh Bunta, gajah jantan jinak di Conservation Response Unit (CRU) Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur, Aceh pada Juni 2018.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, memvonis Amiruddin dan Alidin empat tahun penjara dan denda masing-masing Rp100 juta. Dua orang itulah yang membunuh Bunta demi mendapatkan gadingnya untuk dijual.
Gajah mati tanpa gading (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gajah mati tanpa gading (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
Sedangkan untuk 10 kasus kematian gajah lainnya, tak pernah terungkap siapa pembunuhnya, meski ada sebagian gajah yang mati karena sakit. Dari 11 gajah yang mati sepanjang tahun 2018, tiga di antaranya gajah jinak milik BKSDA Aceh. Sisanya adalah gajah liar.
ADVERTISEMENT
Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo mengatakan persebaran gajah mati paling banyak ditemukan di wilayah Aceh Timur dengan jumlah mencapai 4 ekor. Kemudian di Aceh Besar dengan jumlah 3 ekor, Pidie 1 ekor, Pidie Jaya 1 ekor, dan Bener Meriah sebanyak 2 ekor.
“Tiga gajah jinak penyebab kematiannya ada yang diracun, keracunan, dan karena sakit. Sementara untuk gajah liar karena racun, kesetrum, kena jerat, kelelahan saat digiring masyarakat, dan yang terakhir masih dalam lidik,” kata Sapto, saat dihubungi kumparan, Selasa (1/1).
Sapto tak menampik dari 11 gajah yang mati itu hanya satu yang berhasil diusut kasus kematiannya. Sedangkan selebihnya, tak ada kejelasan. Khususnya untuk gajah yang mati akibat diracun.
“Kalau soal pengungkapan kasus adalah ranahnya penyidik (Polisi) karena itu kewenangan otoritas mereka. BKSDA tidak dalam posisi untuk mengungkap sebuah kasus,” kata Sapto.
ADVERTISEMENT
Kapolda Aceh Inspektur Jenderal Rio S. Djambak mengatakan institusinya akan ikut membantu menyelidiki serta mengungkap kasus-kasus kematian gajah yang terjadi di Aceh. Pihaknya akan memburu pelaku pencurian gading gajah yang akhri-akhir ini terjadi di daerahnya.
“Kejahatan terhadap satwa merupakan suatu tidak pidana kami akan menyelidikinya. Dibantu oleh tim Ditreskrimsus polisi akan mengungkap kasus siapa yang mengambil gading gajah tersebut,” ujarnya singkat.
Gajah mati tanpa gading. (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gajah mati tanpa gading. (Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan)
Konflik Satwa Meningkat
Konflik gajah dan manusia setiap tahunnya meningkat. Data BKSDA sejak tahun 2016 mencatat ada 46 kasus. Kebanyakan konflik dimulai saat gajah masuk kebun sawit masyarakat dan perusahaan serta lahan pertanian. Di tahun 2017, konflik kembali meningkat menjadi 103 kasus. Sementara di 2018 tercatat hanya ada 71 kasus.
ADVERTISEMENT
Sapto mengatakan penyebab meningkatnya konflik antara gajah dan manusia salah satunya adalah keterbatasan lahan. Gajah-gajah itu mulai tidak betah di lahan konservasi dan memasuki area warga serta perkebunan milik korporasi. Menurut Sapto, penyebab lainnya adalah soal keterbatasan makanan. Lahan warga sering ditanami tanaman yang disukai gajah.
Penyebaran habitat gajah, kata Sapto, 85 persen berada di luar kawasan konservasi. Sapto mengaku tidak memiliki kewenangan mengawasi keberadaan gajah itu jika berada di luar lahan konservasi. Sehingga, ujar Sapto, untuk mengatasi konflik antara gajah dan manusia perlu keterlibatan semua pihak khususnya pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, swasta dan masyarakat.
Sapto mengatakan poin terpenting untuk mengurangi angka konflik satwa (gajah) dan manusia adalah menyusun masterplan penanggulangan konflik. Salah satunya pembuatan batas antara lahan kosong dan permukiman warga.
ADVERTISEMENT
“Di situ harus terintegrasi ada upaya-upaya yang menyeluruh. Misalnya ditetapkan kawasan perlindungan gajah. Di sana dibuatlah pembatas baik parit atau pagar listrik yang ramah terhadap satwa," ujar Sapto. "Selain itu menanam tanaman yang bisa menghalangi gajah untuk masuk ke wilayah masyarakat.”
Sapto juga mengimbau kepada warga yang tinggal berdampingan dengan habitat gajah untuk tidak asal menanam jenis tumbuhan yang menjadi makanan gajah. Musababnya, salah satu penyebab gajah masuk ke dalam lahan warga adalah mencari makanan.
“Kami sudah melakukan patroli merespons setiap konflik yang terjadi. Akar masalahnya di tata ruang. Makanya kata kuncinya tata ruang kalau mau melakukan penanganan konflik secara lebih komplit,” ujar dia.