Seperti Apakah Surat Keterangan Sakit yang Sah?

24 Desember 2022 15:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi surat sakit. Foto: RollingCamera/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi surat sakit. Foto: RollingCamera/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembuatan surat keterangan sakit secara online hanya dalam 15 menit sedang menjadi buah bibir warganet di Twitter. Hal ini tak terlepas dari munculnya iklan tentang layanan tersebut di gerbong KRL Commuter Line.
ADVERTISEMENT
Iklan tersebut datang dari PT Cepat Sehat Indonesia yang mendirikan Klinik Cepat Sehat di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur.
Selain klinik kesehatan, pihaknya menjalankan layanan telemedicine bernama SehatCepat. Salah satu layanan yang mereka tawarkan adalah SuratSakit.com. Dalam situs tersebut, tertulis jaminan bahwa surat keterangan sakit bisa didapatkan dalam waktu belasan menit.
Pengguna layanan awalnya akan menyampaikan gejala atau keluhan mereka, serta mengisi kuesioner medis terkait. Setelahnya, pengguna akan menerima surat dari dokter dalam bentuk digital dengan format PDF dengan membayarkan Rp 75 ribu.
Contoh surat keterangan sakit yang disediakan situs hanya memuat nama dokter dan Surat Tanda Registrasi (STR), identitas pasien, anjuran istirahat, serta keterangan layanan Surat Sakit. Keabsahan surat keterangan elektronik ini lantas menimbulkan pertanyaan.
Ilustrasi tulisan tangan resep dokter. Foto: DW labs Incorporated/Shutterstock
Wakil Ketua Umum II Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Mahesa Paranadipa Maikel, akhirnya menjelaskan apa saja yang seharusnya termuat dalam surat keterangan sakit.
ADVERTISEMENT
Mahesa mengatakan, surat keterangan harus dikeluarkan dokter yang bekerja di fasilitas kesehatan. Faskes ini bisa merupakan rumah sakit, puskesmas, maupun klinik. Surat Izin Praktik (SIP) dokter yang masih aktif juga harus tertuang dalam surat, tidak hanya STR.
"Kop surat dari surat keterangan itu adalah kop surat faskes. Jadi kalau dokternya bekerja di rumah sakit, kop suratnya kop surat rumah sakit. Tapi yang bertandatangan dokter yang bersangkutan," terang Mahesa kepada kumparan, Sabtu (24/12).
"Nah, dokter yang bertanda tangan harus yang praktik di situ. Ditandai dengan nama dan Surat Izin Praktik (SIP) dokter yang masih aktif," lanjut dia.
CEO PT Cepat Sehat Indonesia, Eka S. Oktalianto, telah menanggapi kontroversi seputar layanan telemedicine tersebut.
Ilustrasi konsultasi dengan ahli. Foto: Thinkstock
Eka mengklarifikasi bahwa prosedur mereka sebenarnya tidak akan rampung hanya dalam hitungan menit. Dia mengakui bahwa iklan yang ada di gerbong kereta hanyalah gimmick marketing.
ADVERTISEMENT
Dokter sebenarnya dapat menyetujui, menolak, atau menghubungi pasien setelah asesmen medis. Durasi izin sakit yang diajukan pun bisa diperpendek sesuai dengan asesmen dokter tersebut.
"SuratSakit.com itu sebenarnya salah satu dari beberapa layanan kami. Ini sebenarnya part of telemedicine, ya. Seperti yang lagi viral sekarang bikin surat sakit tanpa proses itu nggak mungkin terjadi. Itu sebenarnya yang tertulis bikin surat sakit 15 menit ada asesmennya," ujar Eka.
Walau demikian, Mahesa menggarisbawahi, tidak semua penyakit bisa ditegakkan diagnosisnya secara online.
IDI lantas mengungkapkan kekhawatiran soal profesionalisme dalam penegakkan diagnosis dan terapi melalui telemedicine.
"Ada penyakit-penyakit yang wajib dilakukan pemeriksaan secara fisik. Misalnya, pasien-pasien dengan batuk saja. Batuk itu enggak bisa kalau hanya ngomong-ngomong doang, 'batuk kering atau batuk basah?' Enggak bisa," kata Mahesa.
ADVERTISEMENT
"Kita harus periksa baik itu melalui stetoskop atau kita curiga ada permasalahan di paru-paru kita terpaksa harus rontgen, baru bisa ditegakkan diagnosis, kemudian baru diberikan terapi," tambahnya.
Ilustrasi anak diperiksa oleh dokter. Foto: Thinkstock
Hanya ada sedikit jenis penyakit yang tidak memerlukan pemeriksaan secara langsung. Terlebih, banyak dokter tidak mendapatkan edukasi untuk menegakkan diagnosis melalui telemedicine.
Mahesa menegaskan, mereka tidak mendapatkannya saat menimba ilmu di fakultas kedokteran. Pun pemeriksaan secara online memiliki keterbatasan lain. Banyak penyedia layanan telemedicine hanya mengadakan konsultasi melalui pesan teks atau panggilan telepon.
Sehingga, dokter tidak dapat melihat kondisi pasien sesungguhnya sebelum mengeluarkan surat keterangan maupun resep elektronik.
"Jangan dia bilang demam. Gimana tuh taunya pasien beneran demam coba? Emang handphone-nya ada termometer? Misalnya pakai termometer misalnya, benar enggak itu termometer ditempel ke dia. Gimana kalau ditempel ke orang lain?" tanya Mahesa.
ADVERTISEMENT
"Terbatas sekali penyakit yang bisa ditegakkan melalui telemedicine kecuali ada lagi yang penyakit-penyakit yang kontrol. Jadi dia sudah berobat ke rumah sakit misalnya, terus selang tujuh hari dia kontrol. Kontrolnya itu cukup dengan telemedicine," lanjutnya.
Ilustrasi dokter diborgol. Foto: Shutter Stock
Segala keterbatasan ini berisiko mengantarkan konsekuensi hukum. Dokter yang memberikan resep elektronik dapat terancam pidana bila menimbulkan kerugian—baik kecacatan atau kematian—terhadap pasien. Ada pula ancaman terkait surat keterangan sakit.
Dokter yang mengeluarkan surat keterangan sakit tanpa melakukan pemeriksaan terhadap diri pasien secara langsung dapat menghadapi empat tahun penjara, serta sanksi bila melanggar Kode Etik Kedokteran. Begitu pun dengan pengguna surat keterangan palsu.
"Jangan sampai kita dengan alasan mempermudah pelayanan, akhirnya diagnosis yang ditegakkan pun enggak profesional. Akhirnya apa? Keselamatan pasien jadi terancam," ungkap Mahesa.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, peraturan terkait layanan telemedicine tersebut belum ada di Indonesia. Satu-satunya aturan terkait tertuang dalam Permenkes No. 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Ilustrasi telekonsultasi online dengan dokter. Foto: Shutter Stock
Pun dasar hukum ini bukan tentang layanan telemedicine dari dokter ke pasien, melainkan antar fasilitas kesehatan atau telekonsultasi.
Mahesa meyakini, RI harus merujuk kepada pelaksanaan telemedicine yang sudah bagus di beberapa negara. Dia menyinggung negara seperti Taiwan yang dapat mengirimkan perawat home care (layanan dari rumah) untuk memeriksa tensi hingga suhu seorang pasien.
Alhasil, data yang diterima dokter memang akurat. Sementara itu, India mendirikan bilik-bilik telemedicine yang menyediakan alat seperti tensi elektronik dan pengukur suhu elektronik.
Melalui panggilan video, dokter akan mengarahkan pasien untuk menggunakan alat-alat telemedicine dalam bilik tersebut. Datanya kemudian terkirim kepada dokter secara langsung.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah harusnya jangan cuma memfasilitasi telemedicine dalam layanan smartphone. Harusnya yang kayak begitu. Jadi didukung peralatan-peralatan yang mendukung telemedicine. Jangan cuma smartphone aja. Kalau smartphone bermasalah suaranya kan jadi beda atau misalnya kameranya cuma 2 megapixel," tegas Mahesa.
Ilustrasi obat-obatan dan vitamin. Foto: Shutter Stock
Mahesa secara aktif terlibat dalam pembahasan terkait di Kemenkes. Pihaknya tengah menyusun peraturan telekesehatan. Kebijakan ini diharapkan meliputi standardisasi penerbitan surat keterangan, penjaminan keselamatan pasien, serta perlindungan hukum.
Mahesa berharap dasar hukum tersebut dapat segera diterapkan sebelum Permenkes tidak berlaku lagi ketika status pandemi dicabut.
"Kalau bisa sih secepatnya karena bisa jadi nanti pandemi dicabut oleh presiden dalam waktu dekat melihat kasus yang makin menurun dan lain-lain," tutur dia.
"Teknologi ini kita enggak hambat. Mau enggak mau teknologi berkembang pesat banget, tapi jangan sampai merugikan pemberi layanan, dalam hal ini dokter, perawat, bidan, rumah sakit. Dan jangan sampai merugikan pasien terutama. Karena keselamatan pasien itu lebih utama dari yang lain," pungkasnya.
ADVERTISEMENT