Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Serba Salah Indonesia Bersikap Soal Uighur
9 Januari 2019 19:41 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
ADVERTISEMENT
Kabar penderitaan Uighur di China menuai kecaman dari masyarakat di seluruh dunia. Respons keras berdatangan dari negara-negara besar di Barat. Namun negara-negara mayoritas Muslim dianggap "lembek", termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya Indonesia, negara-negara mayoritas Muslim lainnya juga terlihat berhati-hati berkomentar. Malaysia, Pakistan, bahkan Arab Saudi hampir tidak terdengar suaranya. Pemerintah Pakistan bahkan mengatakan, media asing mencoba mencari sensasi dalam menyebarkan informasi palsu soal Uighur.
Padahal, sampai serak umat Islam negara-negara tersebut menyuarakan kecaman atas laporan adanya 1 juta warga Uighur yang dipenjara di kamp konsentrasi China, didoktrin komunis, dan dipaksa menanggalkan ajaran agama. Di Indonesia sendiri, aksi protes digelar di depan Kedutaan Besar China di Jakarta.
Seruan agar Indonesia bersikap tegas terhadap China bermunculan, salah satunya dari Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon Desember lalu yang mengatakan politik luar negeri Indonesia lemah untuk masalah Uighur.
Serba Salah
Menurut Ahli Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia Shofwan Al Banna posisi Indonesia dalam masalah Uighur diibaratkan seperti "between rock and a hard place" alias serba salah, dilematis.
ADVERTISEMENT
"Kita terjebak di antara -kalau dalam istilahnya- rock and hard place. Jadi merespons salah, tidak merespons juga salah," kata Shofwan kepada kumparan.
"Tekanan domestik tinggi. Tapi di sisi lain Indonesia juga berhati-hati, karena bagaimanapun yang dihadapi ini China," lanjut Shofwan.
China bukan negara sembarangan saat ini. Menurut Shofwan, semua negara akan berpikir panjang jika mau berhadapan dengan China.
Negeri Tirai Bambu telah keluar kocek banyak untuk menanamkan investasi infrastruktur di berbagai negara. Menurut laporan lembaga think tank American Enterprise Institute, investasi dan kontrak China di Timur Tengah dan Afrika Utara dari 2005 hingga 2018 mencapai USD 144,8 miliar.
Investasi China di Malaysia dan Indonesia, menurut data tersebut, mencapai USD 121,6 miliar di periode yang sama. Bantuan dana ini sangat diperlukan Indonesia yang tengah mendorong agenda pembangunan infrastruktur.
ADVERTISEMENT
"Dari semua negara maju yang memiliki kapasitas keuangan untuk menyediakan dana untuk mendorong agenda-agenda ini, salah satu yang paling available adalah China," kata Shofwan.
Dalam hal ini, dilema lantas muncul. Pemerintah Indonesia harus menjawab desakan publik soal Uighur yang telah menjadi kepentingan nasional.
"Dalam kasus Uighur ini kepentingan nasional dikontestasikan. Apakah Indonesia akan mendorong atau mengkritik China untuk menyenangkan publik domestik? Atau tidak mengkritik China, dengan risiko membuat Beijing tidak suka dan agenda kepentingan nasional, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan infrastruktur, jadi terhenti karena persoalan itu?" ujar Shofwan.
Tindakan Terukur
Namun, menurut dosen dan peneliti China di Universitas Indonesia, Ardhitya E. Yeremia Lalisang, tingginya tekanan domestik tak bisa serta merta dijadikan dasar dalam bersikap.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan oleh Indonesia saat ini adalah “tindakan yang terukur”. Pemerintah Indonesia telah menugaskan perwakilan mereka di China untuk memeriksa langsung kondisi Uighur di Xinjiang.
Menurut Yeremia tindakan ini dilakukan karena isu Uighur masih samar, berbeda dengan penindasan terhadap Rohingya di Myanmar atau warga Palestina oleh Israel yang sudah terang benderang faktanya.
Menurut amatan Yeremia, diskursus perihal masyarakat Uighur saat ini masih dalam tahap uji kebenaran fakta. Tertanggal 5 Desember 2018, salah satu perwakilan PBB baru meminta akses kepada pemerintah China untuk mencari kebenaran fakta di Xinjiang.
"Ini semua masih dalam tataran pembicaraan, benar atau tidak. Dengan demikian, ketiadaan level kedalaman info ini yang pada akhirnya logis jika Indonesia menahan diri dulu sampai menemukan segala yang utuh tentang apa yang terjadi," kata Yeremia kepada kumparan.
Sikap Indonesia ini, kata Yeremia, juga diharapkan dilakukan negara lain terhadap isu-isu yang mendera Indonesia. Contohnya tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang setiap tahun diangkat negara-negara Melanesia di PBB.
ADVERTISEMENT
Menurut Yeremia, Indonesia punya posisi yang lebih kuat dibanding negara-negara Melanesia terkait isu Papua. Sama halnya dengan posisi China dengan negara-negara lain dalam isu Uighur.
"Karena dasar kita kuat dan dasar dari negara lain itu lemah. Kenapa? Karena mereka enggak punya akses apa yang terjadi di Papua secara langsung," ujar Yeremia.
Jadi Mediator
Jika memang Indonesia tidak bisa mengkritik, pun tidak bisa diam menanggapi masalah Uighur, Shofwan menyebut ada baiknya negara ini jadi mediator saja.
“Indonesia dan melalui ormas-ormas besar malah bisa jadi mediator. Istilahnya begini, constructive engagement kita menyampaikan concern: ada hal-hal yang kurang baik terjadi di sana, yang membuat citra China menjadi kurang baik,” kata Shofwan
Dengan cara tersebut, kesan Indonesia akan menjadi baik karena terbilang peduli dengan China. Cara ini juga merupakan kritik elegan yang turut menjadi titik tengah dari kehendak masyarakat.
Selain itu, pemerintah diharapkan terus meningkatkan hubungan antarwarga Indonesia dan China. Menurut Yeremia, hubungan ini masih sangat lemah sehingga selalu menjadi bola panas.
ADVERTISEMENT
"Yang selalu jadi isu dalam sejarah perkembangan hubungan Indonesia-Tiongkok adalah bagaimana elemen orang-orang Tionghoa di Indonesia mewarnai hubungan. Bagaimana persepsi mengenai relasi antara China sebagai negara dengan orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia. Itu yang selalu mewarnai," kata Yeremia.
"Developing people to people relation, apalagi komunitas Islam dan China itu belum sama sekali terbangun menurut saya. Itu masih bayi banget," lanjut dia.