Serba-serbi Hasil Ijtima Ulama MUI: Jabatan Presiden 2 Periode; Pinjol Haram

12 November 2021 9:01 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penutupan Ijtima Ulama VII MUI Pusat. Foto: MUI
zoom-in-whitePerbesar
Penutupan Ijtima Ulama VII MUI Pusat. Foto: MUI
ADVERTISEMENT
Musyawarah antara seluruh komisi fatwa MUI se-Indonesia atau Ijtima Ulama menyepakati 12 poin persoalan mengenai keumatan dan kebangsaan dalam perspektif keamanan.
ADVERTISEMENT
Salah satu poin yang dibahas adalah mengenai kriteria penodaan terhadap agama.
“Harus ada peraturan perundangan-undangan yang kuat dan tegas untuk menciptakan kerukunan umat beragama dan memberi sanksi tegas bagi pelaku atau organisasi yang melakukan penodaan atau penistaan agama yang dapat menimbulkan konflik antar dan intern umat beragama,” Kata Ketua MUI komisi fatwa Asrorun Niam Soleh melalui pernyataan tertulis Kamis (11/11).
Menurut Niam, tindakan yang merendahkan agama atau elemen agama harus ditindak tegas untuk menciptakan kerukunan bagi umat beragama.
“Negara harus bertindak tegas dan adil atas segala bentuk tindak pelanggaran yang mengganggu keharmonisan dan kerukunan beragama,” lanjutnya.
Berikut poin lain hasil Ijtima Ulama MUI;
Jabatan Presiden 2 Periode, Bebas Dinasti Politik
ADVERTISEMENT
Ijtima Ulama MUI sudah selesai. Ratusan ulama yang ahli dalam ilmu Islam berkumpul membahas sejumlah persoalan. Salah satunya soal panduan dalam pemilu.
Menurut Ketua Ijtima Ulama yang juga Ketua MUI Asrorun Niam dalam keterangannya, para ulama membahas sejumlah panduan dalam Pemilu dan Pemilukada untuk kemaslahatan umat.
"Pembatasan masa jabatan kepemimpinan maksimum dua kali sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku wajib untuk diikuti guna mewujudkan kemaslahatan serta mencegah mafsadah," kata Asrorun Niam dalam keterangannya, Kamis (11/11).
Selain itu juga dibahas pemilu yang harus bebas suap, money politics, dan bebas dinasti politik.
Ilustrasi buku nikah. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Akad Nikah Online Tidak Sah, kecuali Terpenuhi 3 Hal
Setelah melalui sejumlah pertimbangan, MUI akhirnya menetapkan pernikahan online tidak sah. Ketua MUI bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh mengatakan, pernikahan online tidak memenuhi syarat sah ijab kabul.
ADVERTISEMENT
"Akad nikah secara online hukumnya tidak sah, jika tidak memenuhi salah satu syarat sah ijab kabul akad pernikahan, yakni dilaksanakan secara ittihadu al majlis (berada dalam satu majelis), dengan lafadz yang sharih (jelas), dan ittishal (bersambung antara ijab dan kabul secara langsung)," kata Niam dalam keterangannya, Kamis (11/11).
Berikut ketentuan hukum soal pernikahan online hasil ijtima ulama VII MUI:
PERNIKAHAN ONLINE
Ketentuan Hukum
1. Akad nikah secara online hukumnya tidak sah, jika tidak memenuhi salah satu syarat sah ijab kabul akad pernikahan, yakni dilaksanakan secara ittihadu al majlis (berada dalam satu majelis), dengan lafadz yang sharih (jelas), dan ittishal (bersambung antara ijab dan kabul secara langsung).
2. Dalam hal calon mempelai pria dan wali tidak bisa berada dalam satu tempat secara fisik, maka ijab kabul dalam pernikahan dapat dilakukan dengan cara tawkil (mewakilkan).
ADVERTISEMENT
3. Dalam hal para pihak tidak bisa hadir dan atau tidak mau mewakilkan (tawkil), pelaksanaan akad nikah secara online dapat dilakukan dengan syarat adanya ittihadul majelis, lafadz yang sharih dan ittishal, yang ditandai dengan :
a. Wali nikah, calon pengantin pria, dan dua orang saksi dipastikan terhubung melalui jejaring virtual meliputi suara dan gambar (audio visual).
b. Dalam waktu yang sama (real time)
c. Adanya jaminan kepastian tentang benarnya keberadaan para pihak.
4. Pernikahan online yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 (tiga) hukumnya tidak sah.
5. Nikah sebagaimana pada angka nomor 3 (tiga) harus dicatatkan pada pejabat pembuat akta nikah (KUA).
MUI Terbitkan Fatwa Uang Kripto Bitcoin Cs Haram di Indonesia
ADVERTISEMENT
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan ketentuan hukum terkait penggunaan uang kripto di Indonesia. Dalam keputusannya, Majelis Ulama Indonesia menegaskan penggunaan uang kripto haram.
Ketua MUI bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, mengatakan jual beli uang kripto haram dilakukan di Indonesia karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 tahun 2015.
"Penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram, karena mengandung gharar, dharar dan bertentangan dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia nomor 17 tahun 2015," ujar Niam dalam keterangannya, Kamis (11/11).
Asrorun Ni'am Sholeh, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa pada penutupan Ijtima Ulama Ke-7 MUI, Kamis (11/11/2021). Foto: YouTube/MUI
Ijtima Ulama MUI Terkait Permendikbud 30
Ijtima Ulama MUI mengeluarkan pernyataan terkait Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
ADVERTISEMENT
Dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (11/11), Ijtima Ulama MUI mengapresiasi niat baik Mendikbudristek untuk pencegahan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Namun hal tersebut menurut mereka menimbulkan kontroversi.
Alasannya karena prosedur pembentukan Permendikbud 30 ini tak sesuai dengan ketentuan UU, yakni UU Nomor 12 Tahun 2011, sebagaimana diubah UU Nomor 15 Tahun 2019, yang disebut bertentangan dengan Pancasila, syariat, UUD 1945, dan nilai-nilai budaya Indonesia.
Berikut 4 poin pernyataan Ijtima Ulama MUI terkait peraturan tentang penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi;
1. MUI mengapresiasi niat baik dari Mendikbudristek untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi. Namun demikian, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi telah menimbulkan kontroversi, karena prosedur pembentukan peraturan dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah UU Nomor 15 Tahun 2019 dan materi muatannya bertentangan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
2. Ketentuan-ketentuan yang didasarkan pada frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, bertentangan dengan nilai syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
3. Ketentuan-ketentuan yang dikecualikan dari frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi terkait dengan korban anak, disabilitas, situasi yang mengancam korban, di bawah pengaruh obat-obatan, harus diterapkan pemberatan hukuman.
4. Meminta kepada Pemerintah agar mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi/merevisi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, dengan mematuhi prosedur pembentukan peraturan sebagaimana ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 yang telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019, dan materi muatannya wajib sejalan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Ilustrasi masjid. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Ketentuan Penggunaan Speaker Masjid
ADVERTISEMENT
Ketua MUI Komisi Fatwa Asrorun Niam Soleh, menjelaskan ketentuan lengkap mengenai pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan mushola.
“Menggunakan pengeras suara untuk aktivitas ibadah yang memiliki dimensi syiar, sehingga membutuhkan media untuk penyiaran, termasuk azan,” kata Niam dalam keterangannya, Kamis (11/11).
Sebelumnya, secara teknis Kementerian Agama telah mengeluarkan aturan penggunaan pengeras suara dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor KEP/D/101/1978.
Namun menurut Niam, dalam penggunaan speaker masjid dan musala secara teknis perlu diatur kembali.
“Agar lebih kontekstual, perlu disegarkan kembali seiring dengan dinamika masyarakat,” lanjutnya.
Ke depannya, Niam meminta adanya pengadaan sosialisasi kepada pengurus masjid dan musala serta masyarakat umum tentang pedoman penggunaan pengeras suara agar tidak mengganggu ketertiban umum.
ADVERTISEMENT
Niam juga meminta pemerintah untuk memfasilitasi infrastruktur masjid dan musala untuk memudahkan pengurus untuk menyebarkan informasi.
Masalah mengenai pengeras suara di masjid/musala kembali muncul belakangan ini. Misalnya, keluhan seorang public figure yang merasa terganggu ketika pengeras suara masjid digunakan untuk membangunkan sahur dengan cara berteriak.
Penggunaan ini dianggap tidak tepat karena dapat mengganggu ketertiban umum.
Ilustrasi pinjaman online. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
MUI Keluarkan Fatwa Pinjol
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa soal pinjaman online atau pinjol. Dalam keputusan hasil Ijtima Ulama ke-7 Komisi Fatwa MUI yang resmi ditutup Kamis (11/10), diputuskan pinjol yang mengandung unsur riba haram.
Dalam keputusannya, MUI juga menyoroti ancaman yang kerap dilakukan pihak pinjol saat menagih utang kepada nasabahnya. Majelis menegaskan hal tersebut haram dilakukan.
ADVERTISEMENT
"Memberikan ancaman fisik atau membuka rahasia (aib) seseorang yang tidak mampu membayar utang adalah haram," kata Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, Kamis (11/11).
Suasana penutupan Ijtima Ulama Ke-7 Komisi Fatwa MUI di Jakarta, Kamis (11/11/2021). Foto: YouTube/MUI
Fatwa MUI soal Zakat Saham
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, menjelaskan saham termasuk harta benda yang wajib dizakati apabila memenuhi ketentuan umum, salah satunya yaitu pemilik saham orang Islam.
“Saham termasuk harta benda yang wajib dizakati dengan ketentuan; a) pemilik saham orang Islam,” kata Asrorun Niam melalui pesan tertulis, Kamis (11/11).
Selain itu, ketentuan umum berikutnya adalah dimiliki dengan kepemilikan yang sempurna, telah mencapai nishab, ketentuan umum lainnya adalah telah mencapai masa hawalan al-haul (setahun).
“Persyaratan mencapai haul tidak diberlakukan untuk pemegang saham perusahaan di bidang pertanian, peternakan, dan harta karun (rikaz),” terang Asrorun Niam.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Asrorun Niam mengungkapkan mengenai kriteria saham syariah di Indonesia. Pertama, jenis saham biasa atau al-ashum al-'adiyah/Common Shares) dan bukan dalam jenis saham preferen(al-ashum al-mumtazah/Preferred Shares).
Kedua, kegiatan usaha Perusahaan tidak bertentangan dengan prinsip Syariah. Ketiga, total utang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih dari 45 persen.
“Empat, total pendapatan tidak halal dibandingkan dengan total pendapatan usaha dan pendapatan lain-lain tidak lebih dari 10 persen, dan kelima, pemegang saham yang menerapkan prinsip syariah harus memiliki mekanisme pembersihan kekayaan (cleansing) dari unsur-unsur yang tidak sesuai dengan prinsip syariah,” ungkap Asrorun Niam.
Pihak yang Mengeluarkan Zakat Saham dan Batasan Haul
a) Pemegang saham adalah pihak yang wajib mengeluarkan zakat saham yang dimilikinya;
ADVERTISEMENT
b) Pemegang saham boleh mewakilkan kepada perusahaan untuk mengeluarkan zakat saham atas namanya;
c) Perusahaan yang telah mengeluarkan zakat, kewajiban zakat atas para pemegang saham telah gugur;
d) Penentuan haul zakat saham mengacu kepada perhitungan kalender hijriah.

Cara Mengeluarkan Zakat Saham

Zakat saham dikeluarkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Jika saham yang dimiliki itu dimaksudkan untuk diperjualbelikan (trading/mutajarah), ketentuan zakatnya mengikuti aturan zakat perdagangan, baik nishab maupun kadarnya yang penghitungannya sesuai nilai pasar saham saat haul;
b) Jika saham yang dimiliki dimaksudkan untuk investasi jangka panjang, cara mengeluarkannya sebagai berikut:
1) Saham perusahaan industri, jasa dan ekstraktif, zakatnya mengikuti zakat al-mustaghallat, dengan ketentuan:
-Nishab dan kadarnya mengikuti ketentuan zakat emas;
ADVERTISEMENT
- Penghitungannya dari keuntungan bersih saham.
2) Jika sahamnya adalah saham perusahaan pertanian, ketentuannya mengacu kepada zakat pertanian;
3) Jika sahamnya adalah saham perusahaan perdagangan, zakatnya mengikuti ketentuan zakat perdagangan (urudh al-tijarah).
Ilustrasi minuman beralkohol. Foto: Couleur/Pixabay
Ijtima Ulama MUI soal Minuman Beralkohol: Haram, Banyak Ruginya
Hasil Ijtima Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan haram hukumnya untuk memproduksi, mengedarkan, memperdagangkan, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, menjual dan mengkonsumsi segala sesuatu minuman dan makanan yang mengandung alkohol beralkohol.
Hal ini tertuang dalam Fatwa MUI No. 11 Tahun 2009 dan Fatwa MUI No. 10 Tahun 2018 tentang produk makanan dan Minuman yang mengandung alkohol/etanol.
“Berlandaskan ajaran agama, bahwa semua agama melarang minuman dan beralkohol. Islam dalam Al-Qur’an surat al-maidah ayat 90, dan hadis-hadis Nabi, serta kaidah ushuliyah, serta fatwa MUI, menegaskan bahwa khamar, alkohol, minuman dan makanan beralkohol adalah haram,” kata Ketua MUI Komisi Fatwa, Asrorun Ni'am Soleh, dalam keterangannya, Kamis (11/11).
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan, pernyataan ini kembali dijelaskan dalam Ijtima Ulama mengenai persoalan keumatan dan kebangsaan dalam perspektif keagamaan, terkait dengan RUU Larangan Minuman Beralkohol yang masuk dalam Prolegnas DPR 2021.
Selain karena aturan mengenai minuman beralkohol sudah diatur dengan jelas di Al-quran, pihaknya turut menimbang dari segi kesehatan yang berdampak buruk pada kesehatan.
“Konsumsi minuman beralkohol merusak kesehatan baik fisik maupun mental. Alkohol mengancam organ tubuh seperti hati, jantung, pankreas, saluran cerna, sampai susunan saraf pusat. Bahkan berbagai kasus terus terjadi jatuhnya korban jiwa akibat mengkonsumsi minuman beralkohol,” jelas Ni'am.
Ni'am juga meminta agar melibatkan MUI dalam penyusunan RUU Larangan Minuman Beralkohol, yang dianggap telah sejalan dengan Fatwa MUI No. 11 Tahun 2009 tentang Hukum Alkohol dan Fatwa MUI No. 10 Tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Wajib Distribusi Lahan untuk Kemaslahatan Masyarakat
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa mengenai distribusi lahan untuk pemerataan kemaslahatan. Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, menjelaskan bahwa Pemerintah wajib menjamin distribusi tanah untuk menjamin kebutuhan dasar masyarakat dan mewujudkan kemaslahatan yang berkeadilan.
“Pemerintah wajib menjamin setiap warga memperoleh akses terhadap tanah untuk kebutuhan pokoknya, dan Pemerintah haram membiarkan ketidakadilan dalam distribusi tanah,” kata Asrorun Niam melalui pesan tertulis, Kamis (11/11).
“Pemerintah dapat mendistribusikan lahan untuk merealisasikan kemanfaatan dengan memberikan hak pengelolaan lahan selama jangka waktu tertentu,” sambungnya.
Menurut Asroru Niam, Pemerintah juga wajib mempertimbangkan kemampuan pengelola dan rasa keadilan masyarakat dalam hal kebijakan pemberian hak pengelolaan lahan.
Orang atau badan hukum yang telah diberikan hak pengelolaan lahan atau aset pertanahan, kata Asrorun, harus mendayagunakan untuk kepentingan kemaslahatan dan berkeadilan, dan tidak boleh menelantarkannya.
ADVERTISEMENT
“Apabila terjadi penelantaran maka pemerintah wajib menarik kembali dan memberikan kepada yang membutuhkan,” tegas Asrorun.
“Pemerintah dapat mengambil hak kepemilikan tanah untuk merealisasikan kemaslahatan umum,” lanjutnya.
Dalam hal pemerintah membutuhkan lahan masyarakat untuk kemaslahatan umum, kata Asrorun, harus ada kompensasi yang layak dan memikirkan terpenuhinya hak-hak masyarakat tersebut secara berkelanjutan.
“Kemaslahatan umum dalam pembebasan lahan masyarakat tersebut harus bersifat konkret, jangka panjang, dan menyeluruh serta tidak hanya diperuntukkan bagi golongan tertentu yang menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial” jelas Asrorun.
Pentupan Ijtima Ulama VII MUI Pusat. Foto: MUI
Pandangan Ijtima Ulama MUI soal Jihad dan Khilafah dalam Konteks NKRI
Kata jihad dan khilafah menjadi polemik dalam berbagai situasi, termasuk dalam kondisi menghadapi kasus terorisme. Untuk meluruskan penggunaan 2 kata itu, ijtima ulama VII MUI turut memutuskan soal bagaimana jihad dan khilafah dan konteks NKRI.
ADVERTISEMENT
“MUI juga menolak pandangan yang memaknai jihad dengan semata-mata perang, dan khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan,” kata Ketua MUI bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh, dalam keterangan tertulis Kamis (11/11).
Sementara, untuk jihad juga masih banyak yang harus diluruskan. Sebab secara harfiah jihad merupakan salah satu inti ajaran dalam Islam guna meninggikan kalimat Allah.
“Dalam situasi damai, implementasi makna jihad dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan dengan cara upaya yang bersungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah (li i’laai kalimatillah) dengan melakukan berbagai aktivitas kebaikan,” jelasnya.
“Sedangkan dalam situasi perang, jihad bermakna kewajiban muslim untuk mengangkat senjata guna mempertahankan kedaulatan negara,” lanjutnya.
Ilustrasi pemungutan suara di TPS Foto: Anggi Dwiky/kumparan
Ijtima Ulama MUI Buka Opsi Pilkada Tak Dipilih Langsung
ADVERTISEMENT
Hasil Ijtima Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut menerbitkan panduan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada. Salah satunya ikut menyoroti tentang pemilihan kepala daerah saat ini yang lebih besar mafsadat (akibat buruk) ketimbang maslahatnya.
"Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang berlaku saat ini dinilai lebih besar mafsadatnya daripada maslahatnya, antara lain: menajamnya konflik horizontal di tengah masyarakat, menyebabkan disharmoni, mengancam integrasi nasional, dan merusak moral akibat maraknya praktik politik uang," jelas Ketua Ijtima Ulama yang juga Ketua MUI Asrorun Ni'am dalam keterangannya, Kamis (11/11).
Menurutnya, pemilu dapat dilaksanakan dengan ketentuan luberjurdil (langsung, bebas, jujur, adil, dan rahasia), didasarkan atas keimanan, ketakwaan kepada Allah SWT, kejujuran, amanah, kompetensi, dan integritas.
"Bebas dari suap (risywah), politik uang (money politic), kecurangan (khida’), korupsi (ghulul), oligarki, dinasti politik, dan hal-hal yang terlarang secara syar’i," tutur Ni'am.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya pilihan-pilihan tersebut, pihaknya meyakini memilih seorang pemimpin termasuk kepala daerah dapat dilakukan tidak hanya dipilih langsung.
"Proses pemilihan dan pengangkatan kepala daerah dapat dilakukan dengan beberapa alternatif metode yang disepakati bersama sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah," ungkap Ni'am.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, dalam masalah mu'amalah, termasuk di dalamnya soal politik, Islam senantiasa memberikan keleluasaan berdasarkan kesepakatan demi mewujudkan kemasalahatan, serta menghindari kerusakan atau bahaya.
Namun, hal tersebut berlaku sepanjang kesepakatan tersebut tidak mengharamkan yang halal, atau menghalalkan yang haram.
Ni'am turut menuturkan pemilu dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama, sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
ADVERTISEMENT
"Memilih pemimpin (nashbu al-imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, keterlibatan umat Islam dalam Pemilu hukumnya wajib," tutup dia.