
Lewat tengah malam, Selasa pukul 01.00 dini hari, pintu rumah Ketua RT 05 RW 02 Kampung Babakan Mande Desa Gunungsari, Ciranjang, Cianjur, diketuk. Saat Ketua RT Ajay Saepudin dan istrinya Dede Esih membuka pintu, mereka mendapati banyak polisi di depan rumah.
Tanpa tedeng aling-aling, polisi berkata bahwa dua warga Ajay terlibat dalam pembunuhan yang menewaskan tiga orang di Bantar Gebang, Bekasi. Foto disorongkan ke hadapan Ajay. Di situ, tampak wajah Solihin dan Wowon.
Ajay dan Dede membenarkan Solihin warga RT-nya, sedangkan Wowon warga RT tetangga di RT 01. Rumah Solihin dan Wowon hanya berjarak sekitar 50 meter.
Peristiwa selanjutnya berlangsung cepat. Polisi mengatakan akan menangkap Solihin dan Wowon. Ketua RT diminta ikut menyaksikan. Dari teras rumah Ajay, rumah Solihin bahkan terlihat, hanya terpisah satu rumah tetangga.
“Langsung ke sana sama suami saya ke rumahnya. Nah ya sudah, di sana [Solihin dan Wowon] ngaku, katanya benar ‘Saya yang racun’,” terang Dede Esih kepada kumparan, Rabu (25/1).
Solihin dan Wowon kemudian digelandang ke jalan utama Desa Gunungsari di dekat Masjid Jami At-Taqwa. Di situlah istri Solihin, Enok, menangis histeris ketika suaminya hendak diangkut mobil polisi.
Subuhnya, kampung nan permai di Kabupaten Cianjur itu sontak geger karena ada penangkapan. Ketua RT 01 dan RT 05 melapor ke Ketua RW 02, Dedi Setiadi, bahwa Wowon dan Solihin diringkus anggota Polda Metro Jaya.
Lebih geger lagi dua hari kemudian, Kamis (19/1), ketika polisi hendak menggeledah rumah Wowon dan Solihin. Sejak pukul 05.00 WIB subuh, polisi mencari Ketua RW 02, Ketua RT 01 dan 05, untuk mengajak menyaksikan penggeledahan.
Namun, karena ketiga Ketua RT dan RW itu tak ada di rumah, jadilah polisi menggeledah rumah Solihin dan Wowon disaksikan oleh istri-istri Ketua RT. Salah satunya Dede Esih yang diberi tahu bahwa ada mayat di rumah keduanya.
Warga kemudian membantu menggali lubang di atas kandang ayam yang berlokasi di bagian belakang rumah Solihin. Ditemukanlah dua mayat yang diduga mantan istri dan mertua Wowon, Wiwin dan Noneng.
“Enggak begitu [berbentuk jelas] banget sih. Namanya [mayat] sudah lama hampir 2 tahun,” terang Dede.
Pembuatan lubang itu, menurut Ketua RW 02 Dedi Setiadi, sempat diketahui warga dua tahun yang lalu. Sebab, bagian belakang rumah Solihin itu terlihat langsung dari jalan di samping rumahnya yang kerap dilalui warga. Saat itu, Solihin beralasan lubang itu dibuat untuk septic tank.
Sementara, di rumah Wowon, penggalian dilakukan di samping rumahnya dekat tempat sampah. Di situ ditemukan jenazah balita 2 tahun diduga Bayu, anak Wowon dari istrinya Ai Maemunah yang tewas diracun di Bekasi. Di kamar rumah itu juga ditemukan lubang sedalam dua meter di sebuah kamar yang tak terpakai.
Kepada istrinya di sana, Iis, Wowon sempat mengatakan lubang di kamar itu digali untuk cadangan jikamana suatu saat lubang septic tank utama penuh. Namun, setelah kasus ini terungkap, ternyata lubang itu diduga dipersiapkan untuk mengubur Iis.
“Iis itu juga kabarnya sudah disediakan lubang buat kematian [untuk dikubur di sana] tanggal 25 [Januari 2023] ini,” terang Dede.
Warga di sana tak pernah menyangka sedikit pun Wowon dan Solihin berbuat seperti disangkakan polisi kepadanya. Pasalnya, tak pernah ada catatan kelam tentang keduanya selama tinggal menjadi warga Kampung Babakan Mande itu.
Satu demi satu, fakta mencengangkan tentang Wowon dan Solihin pun terkuak. Mulai dari tragedi keracunan tetangga bernama Ujang Zaenal alias Ucok yang rupanya ulah Solihin; praktik penipuan bermodus penggandaan uang; deretan istri “rahasia” Wowon; hingga pembunuhan berantai mereka di berbagai tempat.
Warga kaget, aib sebesar itu tersembunyi dengan rapi di balik sosok Wowon dan Solihin yang berbaur dengan warga sekitar. Istri dan mertua Wowon, serta para kerabat di Kampung Babakan Mande bahkan tak tahu Wowon punya banyak istri di tempat lain.
“Enggak ada [yang mencurigakan] pokoknya sama sekali,” kata Dedi Setiadi.
Solihin yang Rajin ke Masjid
Tiadanya kecurigaan dari warga kepada Solihin, misalnya, bukan tanpa dasar. Di Kampung Babakan Mande, Solihin dikenal sebagai sosok yang saleh dan rajin pergi ke masjid. Apalagi orang tua dan Solihin sendiri asli orang kampung tersebut.
Ketua RT 02 RW 02 Agus Nursidik bercerita, Solihin adalah salah satu jemaah yang kerap datang paling awal ke masjid. Bahkan sebelum azan salat lima waktu berkumandang, ia kerap terlihat sudah ada di masjid.
“Kalau malam Jumat, kan kita di sini bikin pengajian rutinan bapak-bapak. Dia dari awal sampai akhir ada [pengajian], kalau ada di rumah,” terang Agus kepada kumparan, Rabu (25/1).
Aktivitas Solihin atau karib dikenal sebagai Ihin di masjid itu dibenarkan oleh tokoh agama setempat, Ustaz H. Sopian. Sopian yang juga jemaah Masjid At-Taqwa Kampung Babakan Mande itu mengatakan, istri Solihin pula kerap mengikuti pengajian rutinan hari Selasa di masjid tersebut.
Dari teman masa kecil Solihin, Sopian mendapat cerita bahwa Ihin adalah orang pendiam saat kecil. Temannya itu tak menyangka Ihin terlibat kasus pembunuhan, padahal ia adalah orang yang sempat mengajarinya mengaji.
Sehari-hari, Solihin dikenal sebagai penjual cokrim alias cincau eskrim di Bantargebang, Bekasi. Ia menghabiskan waktu di Bekasi pada Senin-Kamis, dan pulang sekira 1-2 pekan sekali pada Kamis malam ke Babakan Mande, lalu berangkat merantau lagi hari Minggunya.
Tak ada yang mengenal Ihin sebagai Duloh di Babakan Mande, termasuk profesinya sebagai dukun pengganda uang. Dede Esih menyebut awalnya Solihin berprofesi sebagai tukang rongsok, lalu berjualan pindang, dan terakhir berjualan cokrim. Ia juga mendengar sebagian warga pernah berobat dengannya.
“Sering di sini juga kalau ada yang sakit panas, atau minta tolong ke dia. Kadang dipijit sama dia, dijampi-jampi, dikasih air minum. Alhamdulillah kadang suka sembuh kalau ada yang cocok,” ujar Dede.
Sepekan sebelum ditangkap, Solihin juga masih menghadiri pengajian Kamis malam (12/1) dan juga salat Jumat (13/1) di Masjid At-Taqwa. Namun demikian, istrinya Enok, menurut Sopian, sudah absen pengajian Selasa malam dua bulan terakhir.
Kejadian aneh di Babakan Mande baru terjadi Jumat (14/1) petang ketika seorang pekerja di warung Ucok, Neneng, menemukan sebungkus kopi di pot tanaman di teras rumahnya. Ucok meminta agar kopi itu disimpan karena khawatir ada yang sudah membelinya.
“Pas Ucok habis salat Magrib, pulang ke rumah, manasin air, terus ada kopi, diseduh kopinya. Jam 11 malam Ucok sakit,” kata Sopian. Ia menyebut Ucok lalu diantar Neneng ke Rumah Sakit malam itu.
Menurut Dedi Setiadi, reaksi keracunan Ucok mirip dengan kejadian keracunan yang menewaskan keluarga di Bekasi, yakni mulut berbusa. Beruntung, Ucok membaik setelah dirawat di rumah sakit.
Malahan, justru Neneng yang mengantar Ucok ke RS-lah yang meninggal. Namun, kematian Neneng di usia 35 tahun pada Minggu (14/1) itu disebut tak ada sangkut paut dengan kasus ini, melainkan karena ada penyakit darah tinggi.
Saat meninggalnya Neneng, Dedi Setiadi menyebut Solihin turut mengantarkan jenazahnya hingga ke makam. Solihin juga ikut tahlilan mendoakan Neneng pada waktu Ashar, Senin (16/1), di Masjid At-Taqwa. Meski demikian, ia tampak melamun tak fokus.
“Saya tanya kenapa melamun? Enggak papa, katanya. Katanya mau pergi ke pesantren, ada anak di pesantren. Duduknya sendiri, dikasih kopi enggak diminum, dipegang aja. Mungkin sudah ada perasaan mau ditangkap malamnya,” ujar Sopian.
Wowon si Dalang Beristri Banyak
Sementara Solihin dikenal sebagai pribadi yang saleh, Wowon dikenal warga Kampung Babakan Mande selaku seorang dalang. Ia aktif di sebuah sanggar jaipong. Bahkan tahun lalu, Wowon menjadi dalang wayang dalam pagelaran yang dibuat untuk merayakan khitanan anaknya.
“Aktif di kesenian, dulu ngobrol bilang, pernah melatih silat di sekolah-sekolah,” kata Dedi Setiadi.
Mulanya, Wowon adalah seorang penjual pindang keliling dengan cara dipikul. Saat itu ekonomi Wowon tampak biasa di mata Dedi. Perubahan ekonomi Wowon mulai membaik setelah sekitar tahun 2020 ia mengeklaim berjualan buah dan punya kios di daerah Cibeber, Kabupaten Cianjur.
“Kata orang sih, Wowon sering beli motor, misalnya NMax-Aerox,” ujar Sopian. Ia mengaku hanya melihat Wowon menggunakan kendaraannya itu kala Wowon mengantar anaknya ke sekolah.
Teranyar, Wowon juga dikenal sebagai pekerja di pabrik beras. Meski kabar ini disebut simpang siur oleh Dedi, akan tetapi seorang kerabat yang masih belum mau diwawancara secara resmi mengonfirmasi kabar pekerjaan Wowon tersebut.
Dedi juga tak pernah mendengar Wowon terlibat penipuan penggandaan uang. Ia malah menyebut Wowon di kampung ini punya jiwa sosial yang bagus. Indikasi itu tampak ketika 2020, Kampung Babakan Mande, Desa Gunungsari, sedang mengecor jalan utama desa.
“Dia ngasih uang, ini Pak RW buat yang kerja. Uangnya dari dia, Pak RW yang nyuruh anak-anak beliin rokok-kopi gitu,” kata Dedi Setiadi.
Meski demikian, Wowon bukanlah warga asli Babakan Mande. Ketika mengobrol dengan Dedi, Wowon mengaku berasal dari Kampung Cikawati Desa Pakuhaji, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat.
Wowon baru pindah di Babakan Mande tahun 2005 ketika ia menikahi istrinya Iis. Dengan Iis, Wowon dikaruniai tiga orang anak. Iis tak mengetahui ia adalah istri keempat Wowon sebelum kasus pembunuhan berantai terungkap.
“Tahunya dia istri kedua. Dengan istri pertama [Wowon], tahunya Iis, sudah cerai,” ungkap Dedi Setiadi. Iis mengaku selama menikah dengan Wowon, ia tak mengetahui praktik perdukunan yang dilakukan suaminya.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, menyebut bahwa Wowon punya total 6 orang istri menurut data kependudukannya: 1) Wiwin, 2) Ende, 3) Heni, 4) Iis, 5) Halimah, dan 6) Ai Maemunah.
Wiwin dibunuh dengan cara dicekik dengan kain di rumah Solihin. Sebelumnya, Noneng, ibu Wiwin yang juga mertua Wowon, juga dibunuh dengan cara dan tempat yang sama lalu dimasukkan ke lubang.
“Sejak tahun berapa, kita masih selidiki. Noneng dan Wiwin ini menurut tersangka [dibunuh] tahun 2020,” terang Dirreskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Hengki Haryadi dalam jumpa pers, Kamis (19/1).
Menurut Kepala Desa Pakuhaji, Heni Wartini, Wiwin dan Noneng mengaku pamit ke keluarganya bekerja menjadi TKW di luar negeri pada Maret 2021. Namun, keluarga kehilangan kontak dengan keduanya setelah itu.
Heni membenarkan bahwa Wiwin, Noneng, dan Wowon merupakan warga asli Pakuhaji. Ia menampik Wowon berasal dari Mataram–sebagaimana pengakuan Wowon ke sejumlah pihak. Wowon menikah pertama kali dengan Wiwin tahun 1989.
“Lalu cerai, kurang lebih tahun 2000. Lalu Bu Noneng itu Ibu rumah tangga. Sempat jadi TKW tahun 1992, itu juga hanya sebentar,” kata Heni dikonfirmasi kumparan, Sabtu (28/1).
Wowon menurut Heni pindah ke Cianjur setelah cerai dengan Wiwin di tahun 2000-an. Ia lalu memperistri Ende dan Heni yang kabarnya juga sudah diceraikan. Barulah 2005, ia menikahi Iis.
Tak berhenti di situ, sekitar tahun 2013, ketika masih menikah dengan Iis, Wowon pergi ke Bandung menemui keluarga Halimah. Melalui Halimah, Wowon mengutarakan maksud untuk menikahi perempuan tersebut.
Namun keluarga Halimah tidak menyetujui lamaran itu lantaran usia keduanya terpaut jauh. Wowon dianggap sudah tua. Ia juga dianggap tak sopan saat melamar malah duduk di luar rumah saat Halimah menjelaskan maksud kedatangannya ke orang tuanya.
“Soalnya Wowon saya tanya kerja apa, jawabnya ngojek. Sudahlah jangan dulu [menikah],” ujar Misbah, adik Halimah, melalui sambungan telepon, Selasa (24/1).
Dengan keluarga Halimah itulah Wowon mengaku sebagai orang Mataram. Komunikasi Wowon juga menggunakan bahasa Indonesia.
Meski ditolak, seminggu kemudian, kabar Wowon sudah menikahi Halimah menyeruak. Dari situ, Halimah dan keluarganya putus kontak. Halimah dibawa Wowon ke Cianjur, tinggal di rumah Halimah di Cibalagung, Kecamatan Mande.
Keluarga baru mendengar kabar dari Halimah setelah seorang anaknya, Syarif, mengontak bahwa Halimah sakit dan dalam keadaan darurat pada 23 September 2016.
Menurut Misbah, perut Halimah membesar dan bengkak. Gumpalan darah juga mengalir keluar dari perutnya. Sementara matanya tampak melotot. Menurut Halimah, Wowon tak pernah ada selama dirinya menderita sakit.
Di tengah sakitnya itu, Halimah curhat kepada Misbah perihal uang hasil menjual rumah di Cibalagung senilai Rp 30 juta. Uang itu disebut dibawa oleh Wowon. “Katanya kalau dikasih [duit oleh Wowon] mah, mau ke dokter, mau dioperasi,” ujar Misbah dalam bahasa Sunda.
Halimah meninggal di rumah anaknya Syarif di Cianjur tepat di hari keluarga menjenguknya. Ia lalu dikuburkan secara layak tahun 2016 di TPU Kampung Saar Mutiara, RT 03/07, Desa Karangtanjung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Pindah-Pindah Kontrakan
Sebulan setelah meninggalnya Halimah, Wowon kemudian mempersunting Ai Maemunah. Ia merupakan putri Halimah dari eks suaminya bernama Ahal. Dengan kata lain, Wowon menikahi anak tirinya sendiri yang lahir dari rahim mantan istrinya.
Salah seorang anak Ai melapor kepada Misbah bahwa Ai Maemunah diiming-imingi harta agar mau menikah dengan Wowon.
“Kalau kamu nikah sama saya enggak bakalan susah. Mau rumah kayak bentuk gimana, saya banyak warisan di Mataram,” ujar Misbah menirukan iming-iming Wowon kepada Ai.
Ai memiliki tiga anak dari pernikahan sebelumnya dengan Didin, yakni Ridwan Abdul Muiz (20), M Riswandi (16), dan Salsa (13). Sementara, Wowon dan Ai dikaruniai dua orang anak yakni Neng Ayu Susilawati (5) dan Bayu (3).
Putra-putri Didin ikut tinggal bersama Wowon dan Ai. Sepengetahuan Didin, mereka semua tinggal di Bandung sesuai laporan ketiga anaknya kepadanya.
Padahal, faktanya Wowon-Ai dan ketiga anak sambungnya masih tinggal di seputar Cianjur. Salsa mengatakan bahwa sejak 2016-2022 mereka tinggal di Cibalagung, Kecamatan Mande.
“Di Cibalagung juga pindah-pindah kontrakan, 4-5 kali pindah. Di daerah situ juga, cuma beda kampungnya,” kata Salsa yang didampingi Didin ketika diwawancara kumparan, Kamis (26/1).
Terakhir, Wowon mengontrak rumah petak dua kamar sejak September 2022 di Kampung Cipeuyeum, Desa Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur. Kepada salah seorang tetangganya kontrakan di Cipeuyeum, keluarga Wowon mengaku pindahan dari kontrakan lamanya di Pasirloa, Desa Mekarwangi, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur.
Tetangga kontrakan di Cipeuyeum, Mega Mulyati, menyebut selama mengontrak di sana keluarga Wowon terbilang harmonis dan tak ada yang mencurigakan. Bahkan pada suatu malam, Mega pernah mendengar canda tawa dari ruangan utama kontrakan wowon.
“Kalau masalah uang enggak ada permasalahan, istrinya juga kan sebelum meninggal sudah dua bulan enggak dikasih uang. Suka curhat sama saya. Kadang pinjam uang Rp 20 ribu, malamnya sudah diganti,” kata Mega.
Mega sendiri pernah ditawari penggandaan uang oleh Wowon. Ia ditawari untuk bekerja sebagai TKW di Arab Saudi lalu menyetor duit ke seseorang yang disebut sebagai ‘Aki’ agar uangnya bertambah. Wowon memberi iming-iming, pulang jadi TKW Mega akan punya mobil dan rumah.
Di Cipeuyeum, Wowon menggunakan nama samaran Deden kepada warga sekitar. Anak-anak sambung Wowon pun dilarang membocorkan tempat tinggal mereka selama di Cianjur kepada Didin.
“Jadi kalau saya bilang ke keluarga saya yang di sini, saya tinggal di Cipeuyeum, saya [dibilang] bakalan celaka,” kata Salsa menirukan ancaman Wowon.
Selain di Cibalagung, Pasirloa, Cipeuyeum, Wowon juga diketahui pernah mengontrak di Kampung Babakan Curug, Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur medio April-Juli 2021.
Pengontrak rumah itu sejatinya Solihin. Namun ia turut serta membawa Wowon, Dede Solehudin (adik ipar Ai Maemunah), Rina, dan Farida. Dua nama perempuan terakhir mengaku kepada pemilik kontrakan sebagai anak Solihin.
Dede adalah salah satu tersangka kasus pembunuhan yang melibatkan Wowon. Ia juga merupakan adik ipar Didin. Pekerjaannya tukang traktor sawah dan pengrajin kursi. Didin tak menyangka Dede juga turut terlibat kasus ini.
“Infonya saya tanya keluarga, katanya habis dimarahin sama keluarganya itu. Dia diusir keluarga, mau ke mana katanya, ke sini ke si Wowon,” terang Didin.
Menurut pemilik kontrakan Solihin-Wowon di Kampung Babakan Curug, Dedi Somantri, Rina dan Farida adalah TKW yang lepas bekerja dari Arab Saudi. Mereka menunggu kepulangan suami masing-masing yang masih ada di Hong Kong.
Rupanya, mereka adalah korban Solihin-Wowon-Dede. Saat diinterogasi polisi Kamis (19/1) di rumah itu, Solihin menunjukkan makam Farida yang dikubur di ruangan bagian belakang rumah.
“Rencananya Solihin mau bunuh dua orang katanya, tapi yang satu berontak pergi kabur. Dibunuh secara apa? Dicekik,” ujar Dedi Somantri yang turut menyaksikan pengakuan Solihin di kontrakannya.
Pengembaraan Wowon-Solihin-Dede dan kedok yang ditutupi selama ini akhirnya terbongkar setelah awal Januari 2023 lalu Wowon mengajak keluarganya untuk pindah ke Bekasi.
Ai, Ridwan, Riswandi, Ayu berangkat ke Bekasi. Sementara Salsa ditinggal di Cipeuyeum karena enggan ikut dengan dalih takut mabuk perjalanan. Seluruh ponsel anggota keluarga itu dirampas Wowon karena disebut tak boleh pergi membawa HP.
Kepada anak-anaknya, Ai Maemunah bilang bahwa mereka hanya akan tinggal selama sepekan di Bekasi. Sementara Salsa ditinggal selama sepekan dengan uang saku Rp 300 ribu untuk makan.
Cerita Mega, Wowon bakal memindahkan keluarganya ke rumahnya di Bandung. Wowon mengaku punya rumah dan mobil di sana–meski ia mengontrak di rumah petak dua kamar seharga Rp 500 ribu per bulan selama ini. Namun mereka mesti ke Bekasi dan Surabaya terlebih dahulu.
“Kalau sudah dari Surabaya katanya pulang ke Bandung, ke rumahnya itu. Padahal, Salsa juga belum pernah lihat rumah itu, dia cerita,” ujar Mega.
Nahas tak bisa dihindari. Rupanya di Bantargebang, Bekasi, adalah tempat eksekusi keluarga Wowon. Wowon meminta tolong kepada Solihin alias Duloh dan Dede Solehudin untuk meracun keluarganya sendiri.