Setahun Jokowi-Ma'ruf, Isu Pemberantasan Korupsi Makin Tak Terdengar

22 Oktober 2020 19:14 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato yang telah direkam sebelumnya pada Sidang Majelis Umum ke-75 PBB secara virtual di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, Rabu (23/9/2020). Foto: Kemenlu/HO ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato yang telah direkam sebelumnya pada Sidang Majelis Umum ke-75 PBB secara virtual di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, Rabu (23/9/2020). Foto: Kemenlu/HO ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Indonesia Corruption Watch (ICW) memiliki sejumlah catatan di tahun pertama pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin. Catatan tersebut, terkait kinerja Jokowi di bidang penegakan hukum hingga proses legislasi di DPR.
ADVERTISEMENT
Catatan ICW dimulai dari kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf Amin, merupakan pemerintahan dengan setumpuk catatan buruk. Ada beberapa poin yang dijabarkan, berikut rinciannya:
Petugas menggunakan mobil pemadam menyemprotkan disinfektan di area komplek gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (9/8). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS

Kebijakan Legislasi

ICW menilai banyak produk hukum yang dihasilkan pemerintahan Jokowi yang menuai kontroversi. Selain UU KPK hasil revisi disahkan pada 17 September 2019, sedikitnya 4 produk hukum lain yang dinilai ICW bermasalah.
Keempat produk hukum tersebut adalah Perppu Nomor 1/2020 yang menjadi UU No 2 Tahun 2020 untuk Penanganan COVID-19, UU Minerba, UU Mahkamah Konstitusi, dan UU Cipta Kerja (Omnibus Law).
"Lima produk hukum tersebut dicurigai sarat akan kepentingan elite politik dan elite di sektor bisnis. Pembahasan dari seluruh produk hukum tersebut berjalan tertutup dan terburu-buru, nyaris tidak membuka ruang partisipasi warga," demikian keterangan tertulis ICW, Kamis (22/10).
ADVERTISEMENT
ICW menilai 4 UU yang dibuat saat pandemi COVID-19 itu sebagai bentuk konsolidasi elite politik-bisnis yang kian solid, dan secara bersamaan melemahkan agenda reformasi di berbagai sektor.
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Pertama, terkait revisi UU KPK dinilai mempermudah kalangan elite politik-bisnis untuk mencaplok proyek-proyek negara tanpa dapat disentuh secara hukum, atau menikmati kucuran dana negara secara legal.
Kedua, Perppu No 1/2020 yang dikeluarkan pada 31 Maret 2020 dan disahkan menjadi UU No 2/2020 pada Mei 2020 sangat menguntungkan kelompok pengusaha.
Ketiga, adanya revisi UU Minerba disahkan pada 13 Mei 2020. UU itu dinilai menjamin korporasi besar untuk dapat terus mengeruk sumber daya mineral dan batu bara.
Sebab, korporasi batu bara besar yang mulanya mesti bersaing dengan BUMN untuk mendapat izin pengerukan minerba, kini tak lagi diharuskan melewati tahapan tersebut.
ADVERTISEMENT
"Kesempatan negara untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri raib dan dilepaskan ke tangan sektor swasta," ujar ICW.
Suasana pengamanan di depan gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu, (26/6). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Keempat. revisi UU MK ikut disahkan pada 1 September 2020. Di UU baru ini, batasan usia hakim MK diperpanjang. Revisi UU MK juga dinilai sarat akan nuansa konflik kepentingan.
Aturan batas waktu usia hakim MK yang lebih panjang membuat konfigurasi hakim MK tidak berubah. Hal itu dinilai menguntungkan pemerintah, terutama dalam pengambilan keputusan terkait gugatan-gugatan atas produk UU yang dianggap bermasalah oleh banyak kalangan.
Kelima, UU Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober 2020. UU ini dinilai miliki setumpuk masalah, mulai dari muatan pasal yang menguntungkan pengusaha, proses formil yang cacat prosedur, dugaan konflik kepentingan, ancaman terhadap desentralisasi, masalah asimetris informasi.
ADVERTISEMENT
"Secara vulgar publik dipertontonkan kecurangan yang dilakukan oleh pengambil kebijakan," kata ICW.
"Lima produk hukum di atas menunjukkan bahwa skenario elite politik-bisnis untuk semakin menguasai sumber daya publik melalui instrumen legislasi nyaris berjalan sempurna," sambungnya.
Presiden Joko Widodo. Foto: Feline Lim/REUTERS

Penegakan Hukum Lemah dan Dipolitisasi

Selain legislasi, penegakan hukum di 1 tahun Jokowi pun dinilai banyak masalah. Kebijakan yang diambil oleh Jokowi selama kurun waktu satu tahun terakhir dinilai hanya berfokus pada investasi dan mengabaikan penegakan hukum.
ICW mengatakan, berdasarkan UU Kepolisian dan UU Kejaksaan, Jokowi ditempatkan sebagai atasan dalam struktural dua penegak hukum itu. Menyusul KPK dengan UU barunya yang dinilai telah dikooptasi sehingga masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
"Maka dari itu, penilaian atas komitmen eksekutif menjadi relevan saat mengukur keberpihakan penegakan hukum khususnya terhadap pemberantasan korupsi," kata ICW.
ADVERTISEMENT
ICW menilai, pemberantasan korupsi di setahun Jokowi mengalami kemunduran. Salah satunya saat KPK punya UU baru dan dipimpin Firli Bahuri yang dinilai bermasalah.
"Firli dijatuhi sanksi etik karena menggunakan moda transportasi mewah berupa helikopter," kata ICW.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri usai memberikan keterangan pers terkait korupsi proyek fiktif di PT Waskita Karya (Persero) Tbk di gedung KPK, Jakarta, Kamis (23/7). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
ICW dan Transparency International Indonesia (TII) mencatat, setidaknya ada tiga problematika di kelembagaan KPK saat ini, mulai dari pengelolaan internal kelembagaan, penindakan, maupun pencegahan. Hal ini dinilai tak lepas dari peran pimpinan KPK yang dipilih oleh Jokowi dan DPR.
Selain itu, ICW juga menyoroti terkait penanganan hukum kasus Djoko Tjandra. Kasus ini dinilai menunjukkan performa buruk polisi dan kejaksaan.
"Kasus ini menyeruak ke tengah publik pada pertengahan tahun, yang mana ditemukan adanya dugaan persekongkolan para penegak hukum, baik dari Kepolisian maupun Kejaksaan Agung," kata ICW.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari juga dikritik oleh ICW. Karena diduga keras ada perlindungan dari Kejaksaan Agung terhadap Pinangki.
Alokasi anggaran yang diberikan ke institusi penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, KPK) untuk penindakan kasus korupsi sebesar Rp 381,6 miliar pun menjadi sorotan. Sebab, kinerja ketiga lembaga itu dinilai tak optimal.
"Nyatanya besarnya anggaran untuk penyidikan tidak menjadikan institusi penegak hukum bertindak secara optimal. Sepanjang semester I 2020 institusi penegak hukum hanya mampu menangani 169 kasus dari target kasus sebanyak total 2.225 kasus," ujarnya.
Ilustrasi KPK tamat. Foto: Indra Fauzi/kumparan

Semangat Antikorupsi Musnah

ICW menyebut ada enam kebijakan kontroversial yang dikeluarkan oleh pemerintah yang buat semangat antikorupsi musnah. Pertama, program kartu prakerja sebagai bagian dari skema jaring pengaman sosial (JPS) pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
"Program prakerja ini dijadikan 'jawaban' dari permasalahan banyaknya perusahaan atau pemberi kerja yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)," kata ICW.
"Menariknya, program ini sebetulnya tidak bersifat darurat, karena selain merupakan salah satu tawaran program saat masa kampanye pemilu presiden-wapres," sambungnya.
Polemik masuknya ruangguru dalam program ini di mana CEO-nya, Adamas Belva yang tercatat sempat menjadi stafsus milenial Jokowi, ikut disorot. ICW menilai ada banyak konflik kepentingan di program ini.
Kedua, rangkap jabatan ASN sebagai komisaris BUMN. Ombudsman mengeluarkan temuan bahwa sejak 2017-2020 tercatat 397 ASN yang terindikasi rangkap jabatan sebagai Komisaris di 142 instansi BUMN atau anak perusahaan BUMN.
"Terdapat setidaknya 91 komisaris yang punya potensi konflik kepentingan, jika dilihat dari rekam jejak karier dan pendidikannya," kata ICW.
Belva Devara, CEO Ruangguru.com. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Ketiga, konflik kepentingan stafsus milenial Presiden. ICW menyorot posisi Adamas Belva (pemilik Ruangguru) dan Andi Taufan Garuda (CEO Amartha). Belva dinilai miliki konflik kepentingan dengan masuk ke program kartu prakerja.
ADVERTISEMENT
Sementara Andi Taufan Garuda diketahui mengirimkan surat resmi kepada camat-camat di daerah, yang berisi imbauan untuk bekerja sama mendukung para relawan Amartha.
"Meskipun terdapat dorongan kuat dari publik agar Presiden Joko Widodo memberhentikan keduanya dari jabatannya, namun kenyataannya hal tersebut tidak pernah dilakukan," kata ICW.
Keempat, naiknya iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi. Pemerintah dinilai mengabaikan alasan MA yang sebelumnya membatalkan kenaikan iuran, yaitu permasalahan pengelolaan BPJS Kesehatan tidak layak dibebankan kepada warga.
"Kendati putusan MA dibatalkan, alasan tersebut sejatinya masih relevan. Menaikkan iuran di tengah pandemi juga bukan merupakan keputusan yang etis karena banyak warga yang tengah menghadapi kesulitan," sebut ICW.
Kelima, dicalonkannya anak dan menantu Joko Widodo menjadi calon kepala daerah. Diketahui, Gibran Rakabuming mencalonkan diri sebagai calon Wali Kota Solo. Sementara, Bobby Nasution, maju dalam kontestasi pilkada Medan sebagai calon Wali Kota.
Gibran dan Bagyo Wahyono saat sosialisasi masker di Pasar Gede, Solo. Foto: Dok. Istimewa
Lingkaran dekat Presiden juga melakukan langkah serupa, seperti anak dari Wakil Presiden Ma’aruf Amin, Siti Nur Azizah Ma’aruf, yang akan maju dalam kontestasi Pilkada Tangerang Selatan.
ADVERTISEMENT
Anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Hanindhito Himawan Pramana ikut mencalonkan diri dalam Pilkada Kediri.
"Pembiaran dan atau bahkan dorongan agar sanak keluarga mencalonkan diri dalam kontestasi pilkada adalah salah satu bukti bahwa representasi formal telah semakin membusuk," ujar ICW.
Keenam, dipaksakannya pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi. ICW menyebut di tengah jumlah kasus positif COVID-19, pemerintah justru bersikukuh untuk terus menggelar pilkada.
Padahal, kata ICW, pelaksanaan di tengah pandemi akan memperparah penularan virus.
"Politik uang juga akan semakin marak karena pandemi COVID-19 telah menciptakan makin banyaknya warga yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tentu mereka ini adalah calon pemilih yang akan sangat mudah masuk dalam jebakan politik uang," ucapnya.
Atribut yang di bawa saat aktivis dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menggelar aksi di depan gedung KPK. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Berikut kesimpulan ICW atas sejumlah catatan 1 tahun Jokowi-Ma'ruf Amin itu:
ADVERTISEMENT
Catatan di atas menjelaskan secara terang benderang bahwa arah kebijakan politik hukum pemerintah Joko Widodo – Ma'ruf Amin semakin menjauh dari isu pemberantasan korupsi dan keberpihakannya terhadap kepentingan masyarakat kecil.
Sekaligus ini membuktikan bahwa visi dan misi yang digunakan untuk menggaet suara publik saat kontestasi Pemilu hanya terhenti pada secarik kertas. Bahkan, dalam banyak momentum Presiden Joko Widodo malah mengabaikan suara penolakan publik atas berbagai kebijakan maupun dalam konteks penyusunan legislasi.
Presiden dan Wakil Presiden telah gagal menjadi contoh pejabat publik yang berintegritas tinggi karena membiarkan atau bahkan merestui anak-saudaranya maju dalam kontestasi politik saat mereka dalam posisi berkuasa. Pada akhirnya, pada tahun pertama ini Jokowi jelas terlihat semakin memfasilitasi kepentingan oligarki ketimbang mengakomodir suara publik.
ADVERTISEMENT
Konsolidasi demokrasi yang diharapkan kian terbangun melalui gerakan reformasi justru berujung pada konsolidasi oligarki.