Lipsus, "Siapa si Setan Gundul?"

Setan Gundul dan Koalisi Oleng Prabowo

13 Mei 2019 12:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lipsus "Siapa si Setan Gundul?". Foto: Herun Ricky/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus "Siapa si Setan Gundul?". Foto: Herun Ricky/kumparan
Cuitan politikus senior Partai Demokrat, Andi Arief, lagi-lagi bikin geger. Jika sebelumnya ia sempat menyebut Prabowo sebagai Jenderal Kardus, kali ini Andi menuding adanya kelompok yang menyesatkan Prabowo yang ia juluki sebagai Setan Gundul.
Setan Gundul ini, tulis Andi, adalah kelompok nonpartai yang dominan dan tidak rasional. Kelompok inilah yang memasok info sesat Prabowo menang 62 persen dan membuat mantan Danjen Kopassus itu berulang kali deklarasi dan sujud syukur.
“Jika Pak Prabowo lebih memilih mensubordinasikan koalisi dengan kelompok setan gundul, Partai Demokrat akan memilih jalan sendiri yang tidak khianati rakyat,” cuit Andi selanjutnya.
Politikus senior lainnya dari Partai Demokrat, Benny K. Harman, bahkan menyebut Setan Gundul sebagai monster demokrasi yang jadi benalu dan perlahan melahap tuannya sendiri.
Pernyataan salah satu orang dekat Susilo Bambang Yudhoyono ini pun tentu mengundang tanya dan pergunjingan. Siapa kelompok nonpartai, dominan, tidak rasional, dan menyuplai info Prabowo menang 62 persen yang dijuluki Setan Gundul itu?
Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto bersama Cawapres Sandiaga Uno mengangkat tangan saat mendeklarasikan kemenangannya. Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Dalam tubuh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, memang bukan hanya diisi oleh orang Gerindra, PKS, Demokrat, PAN, dan Berkarya saja. Beberapa petinggi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, Alumni 212, dan FPI pun duduk manis baik sebagai Wakil Ketua BPN, Wakil Ketua Dewan Penasihat, atau Dewan Pengarah BPN.
Tiga kelompok nonpartai ini sedari awal mendukung Prabowo melalui serangkaian ijtima ulama yang mereka gelar dan aksi-aksi turun ke jalan. Ijtima terakhir bahkan berupaya mendelegitimasi KPU dengan meminta proses penghitungan suara dihentikan karena banyak kecurangan dan meminta pasangan calon Jokowi-Ma’ruf Amin didiskualifikasi.
Prabowo, kata salah seorang sumber kumparan di lingkungan BPN, kerap lebih mendengarkan kelompok tersebut ketimbang partai koalisi.
“Kami merasa tidak nyaman, seakan-akan kami termajinalkan, dinomorduakan,” ucapnya. Menurut dia, koalisi seharusnya berupa ikhtiar politik yang melibatkan partai politik bukan yang lain. Sebab, partai politik jelas memiliki mekanisme pertanggungjawaban tersendiri.
Ia menyayangkan sikap Prabowo yang memberi ruang terlalu besar untuk kelompok nonpartai yang ada di tengah-tengah BPN Prabowo-Sandi. “Peran daripada mereka-mereka itu, yang mengklaim bahwa mereka merepresentasikan umat, tapi kan ternyata juga enggak (representatif),” imbuhnya.
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto bersama pendukungnya melakukan takbir di Rumah Kertanegara. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Senada dengan pernyataan di atas, Ketua Divisi Hukum dan Advokasi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahean, mengamini adanya dominasi kelompok nonparpol di tubuh BPN Prabowo-Sandi.
“Koalisi ini kan koalisi partai politik, harusnya yang dominan di situ adalah partai politik. Tapi ternyata lebih dominan kelompok politik Islam. Yang orasi juga kita lihat lebih banyak dari kelompok mereka, bukan dari parpol,” ucap Ferdinand kepada kumparan, Jumat (26/4).
Kerap ditugaskan partai untuk berada di BPN Prabowo-Sandi, Ferdinand menyatakan bahwa kondisi tersebut membuat Demokrat merasa janggal. Apalagi narasi politik identitas yang dimainkan kelompok tersebut tak sesuai dengan karakter Demokrat dan juga Gerindra yang dikenal nasionalis.
“Memang selalu menjadi pertanyaan, mengapa partai koalisi tidak menjadi motor koalisi, termasuk ketika kampanye akbar di GBK. Pada saat itu Alumni 212 yang berperan, bukan partai koalisi,” imbuhnya.
Dominasi tersebut, menurut Ketua GNPF Ulama Yusuf Martak, adalah hal yang wajar. Sebab, menurut Yusuf, kelompoknya ikut berkontribusi menggaet pemilih untuk pasangan calon 02 dalam pemilu.
“Jadi sebenarnya kita nggak boleh saling menyalahkan, saling menuduh. Karena perwakilan ulama ini, perwakilan umat ini punya kepentingan menyelamatkan permasalahan yang terjadi. Jadi sah-sah saja,” ucapnya kepada kumparan, Jumat (10/5).
Terkait cuitan setan gundul, Yusuf mewanti-wanti Andi Arief untuk hati-hati dengan ucapanya, terlebih bila yang dimaksud setan gundul adalah kelompok ulama. Ia mengingatkan Andi untuk tidak asal-asalan menuding.
“Kalau ada indikasi nuduh-nuduh ulama, ulama itu adalah pewaris nabi yang harus dihormati. Tapi, saya rasa Andi Arief nggak ngomong seperti itu,” ujar Yusuf
Calon Presiden Nomor 02, Prabowo Subianto, menyapa peserta Reuni 212 di Monumen Nasional, Jakarta, Minggu (2/12/2018). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Ciri lain dari Setan Gundul yang disebut Andi adalah tidak rasional dan memasok info kemenangan dengan 62 persen. Angka yang, bagi Ferdinand, tidak mungkin diperoleh Prabowo-Sandi.
Alasannya adalah, “Prabowo itu kalah di Jawa Tengah, Jogja, dan Jawa Timur. Kalau kalah di provinsi terbesar, tidak mungkin menang di angka 62 persen.”
Menurut sumber kumparan di BPN, kelompok ulama, purnawirawan jenderal, dan sejumlah tokoh senior berada di dekat Prabowo sesaat sebelum deklarasi kemenangan pertama maupun kedua di hari itu, Rabu (17/4).
Deklarasi pertama terjadi berdasar data exit poll dan quick count internal BPN yang dikomandoi Wakil Ketua Umum Gerindra, Sugiono. Meski data masuk baru di kisaran 40 persen, Prabowo lantang bersuara dan menyerukan untuk tidak mempercayai hasil hitung cepat lembaga survei manapun.
Hal tersebut sesuai dengan hasil rapat Yusuf Martak, Amien Rais, Salim Segaf, Maher Algadri, dan Rizal Ramli di salah satu sudut ruang tengah rumah Prabowo sesaat sebelum deklarasi. Mereka sepakat untuk tak mempercayai hasil hitung cepat lembaga survei, dan membuat Gerakan Bhinneka Tunggal Ika sebagai people power.
Deklarasi juga disokong barisan purnawirawan jenderal yang berada di sekitar Prabowo. Sumber kumparan menyebut Prabowo memang lebih mendengarkan kelompok purnawirawan jenderal dan ulama ketimbang partai koalisi.
“Jenderal-jenderal dan para ulama, mereka siap. Gerakan (people power) tentu tetap memperhatikan UUD dan Pancasila,” kata Maher Algadri, sahabat Prabowo yang juga anggota Direktorat Konsolidasi BPN Prabowo-Sandi.
Sejumlah purnawirawan jenderal di lingkaran Prabowo seperti Direktur Eksekutif BPN Brigjen (Purn) Musa Bangun dan Wakil Ketua Dewan Penasihat BPN Laksamana (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno menolak permintaan wawancara yang diajukan kumparan. Tedjo mengaku sedang sakit, sementara Musa Bangun tak mau berkomentar.
“Mohon maaf, SOP (standar operasional prosedur) BPN, yang beri keterangan kepada pers hanya Juru Bicara BPN,” ujar Musa kepada kumparan lewat pesan WhatsApp, Kamis (9/5).
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto melakukan sujud syukur di Rumah Kertanegara. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Sementara pada deklarasi kedua, Prabowo datang dengan info berbeda yang katanya didasarkan pada hasil real count 320 ribu TPS di seluruh Indonesia.
Deklarasi ini juga mengagetkan anggota partai koalisi. Mereka terkejut melihat Prabowo beranjak keluar dari rumah membawa secarik kertas dan mendeklarasikan kemenangan 62 persen tanpa berdiskusi dengan mereka.
Alhasil sejumlah petinggi partai politik seperti Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Sekjennya Eddy Soeparno, serta Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan, angkat kaki dari Jl. Kertanegara 4.
Pada momen deklarasi kedua ini pula, menurut Ferdinand, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan kader partai tidak ikut dalam deklarasi itu.
“Bagi Partai Demokrat klaim (menang 62 persen) itu memang agak meragukan, maka keluarlah perintah Pak SBY untuk menarik kadernya dari deklarasi itu,” kata Ferdinand.
Sesaat sebelum deklarasi Prabowo yang kedua kali di Kertanegara, Jakarta Selatan, Ferdinand sempat menolak adanya deklarasi kembali dan mempertanyakan sumber serta keabsahan data tersebut.
Ferdinand Hutahaean. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
“Saya salah satu yang keberatan dengan deklarasi menang 62 persen itu. Karena apa? Bagi saya datanya belum akurat,” kata Ferdinand ketika dihubungi kumparan. Terlebih tiga jam sebelumnya Prabowo sudah sempat menyatakan menang dengan suara sebesar 55,4 persen berdasar exit poll atau 52,2 persen berdasar quick count internal.
“Namun kawan-kawan kami, terutama dari kelompok ulama dan kawan-kawan PKS sangat ingin mengklaim kemenangan. Maka pada malam itu terjadilah deklarasi menang 62 persen. Saya tidak turut serta dalam deklarasi itu,” papar Ferdinand.
Apa Mau Demokrat? Foto: Basith Subastian/kumparan
Yusuf Martak membantah pihaknya mendesak Prabowo mendeklarasikan kemenangan. Ulama, kata Yusuf, hanya dijadikan motor penggerak koalisi. Toh, keputusan deklarasi adalah keinginan Prabowo sendiri.
“Lho, deklarasi itu keinginan Pak Prabowo sendiri. Apakah dia membicarakan ke partai koalisi atau nggak tanya saja ke Pak Prabowo,” jelasnya. Angka kemenangan 62 persen itu, menurut Yusuf, diperoleh dari penghitungan tim internal BPN.
Klaim itu dibenarkan juru bicara BPN Prabowo-Sandi, Vasco Ruseimy. Vasco mengatakan tidak ada setan gundul di Kertanegara karena asal-usul data 62 persen dapat dipertanggungjawabkan.
Ia menjelaskan bahwa angka 62 persen berasal dari data yang dipasok relawan dan saksi melalui pesan singkat. Data lewat pesan singkat itu kemudian diolah oleh sistem komputerisasi yang berada di bawah komando Direktur Satgas BPN, Toto Budi Utomo.
“Sms-nya bukan sms begitu saja, ada aplikasinya. Sms itu nanti terakumulasi dan diolah lewat sistem. Yang mengolah datanya tim IT di tim sukses BPN, dikomandani langsung oleh Direktur Satgas,” jelas Vasco melalui sambungan telepon, Minggu (12/5).
Capres nomor urut 02 Prabowo saat mendeklarasikan kemenangan pada konferensi pers di Kertanegara, Jakarta Selatan, Kamis (18/4). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Sementara klaim menang 62 persen suara itu masih terus diperdebatkan, cuitan Andi Arief menuai emosi kawan-kawan Gerindra.
Juru bicara BPN, Andre Rosiade, menilai seharusnya setiap usulan atau kritik dikomunikasikan di forum internal koalisi, bukan dilempar begitu saja ke publik. “Temen-temen Partai Demokrat yang punya saran, usulan atau masukan silakan disampaikan di forum internal. Supaya tidak digoreng oleh pihak lain,” ujar Andre saat dihubungi kumparan.
Wakil Ketua Umum Gerindra, Arief Poyuono, bahkan dengan berang meminta Demokrat untuk keluar dari koalisi. “Demokrat sebaiknya keluar saja dari Koalisi Adil Makmur, mau mundur dari koalisi saja pakai mencla-mencle segala, monggo keluar saja deh," kata Arief.
Lagipula, kata Arief, Demokrat tidak berkontribusi apapun dalam memenangkan Prabowo-Sandi. “Wong (Demokrat) enggak ada pengaruhnya menghasilkan suara Prabowo-Sandi kok selama ini, malah menurunkan suara loh,” imbuhnya.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten