SETARA Institute Kritik Putusan Majelis Etik Polri soal Richard Eliezer

23 Februari 2023 16:26 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Richard Eliezer menghadiri sidang etik. Foto: Polri
zoom-in-whitePerbesar
Richard Eliezer menghadiri sidang etik. Foto: Polri
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, mengkritik keputusan Majelis Etik Polri soal Bharada Eliezer. Polri dinilai menyerah pada arus utama publik.
ADVERTISEMENT
Dalam sidang etik pada Rabu (22/2) kemarin, Richard Eliezer diberi sanksi demosi selama satu tahun dan tetap menjadi anggota Polri.
Halili menyampaikan, apa yang diterima Eliezer sangat ringan apabila dibandingkan dengan polisi lain yang terseret kasus Ferdy Sambo. Padahal mereka juga hanya kena prank.
"Putusan Majelis Etik Polri atas Bharada Eliezer yang memutus demosi 1 tahun dan tetap mempertahankan status Eliezer sebagai anggota Polri, tampak sekali mengikuti arus utama publik yang menganggap Eliezer layak mendapat keringanan hukuman, termasuk tetap menjadi anggota Polri," jelas Halili dalam keterangan tertulis, Kamis (23/2).
Halili menyoroti alasan meringankan Eliezer dalam putusan etik itu karena posisinya sebagai justice collaborator (JC) dan tidak pernah dihukum.
"Di luar konteks fakta persidangan, sesungguhnya opini publik telah menjadi pengadil utama dalam kasus ini, khususnya terkait Eliezer," beber Halili.
ADVERTISEMENT
Menurut Halili, hadiah meringankan yang datang bertubi-tubi bagi Eliezer berbanding terbalik dengan putusan-putusan etik sebelumnya yang menimpa belasan anggota Polri, khususnya dari Polda Metro Jaya, korban 'prank' Ferdy Sambo.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan (kedua kanan) memberikan keterangan kepada media terkait hasil sidang kode etik Bharada Richard Eliezer atau Bharada E di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (22/2/2023). Foto: Muhammad Adimaja/Antara Foto
"Posisi sejumlah anggota di wilayah hukum Polda Metro Jaya jelas memungkinkan menjadi korban 'prank' karena peristiwa terjadi di Jakarta," ujar Halili.
"Sidang etik sebelumnya memutus pelanggaran sejumlah anggota yang bahkan tidak terlibat tindak pidana sama sekali, tetapi dihukum demosi lebih berat dari Eliezer. Kondisi ini kemungkinan dipengaruhi oleh euforia penindakan tegas Polri pada awal-awal proses hukum Ferdy Sambo dkk," tambah Halili.
Kata Halili, dengan terbuka dan terangnya peristiwa pembunuhan Yosua Hutabarat melalui persidangan yang sudah tuntas, sesungguhnya Polri telah memiliki pengetahuan utuh atas konstruksi peristiwa dan aktor-aktor yang terlibat.
ADVERTISEMENT
"Dengan demikian, mereka yang betul-betul korban ketidaktahuan, layak pula dipulihkan hak-haknya, termasuk mencari terobosan baru, meninjau putusan Majelis Etik yang telanjur sudah diketok," tuturnya.
Halili menyampaikan, turbulensi disiplin anggota Polri akibat peristiwa tersebut dan berbagai respons dan penanganan yang dilakukan oleh Polri memang telah berhasil memulihkan kepercayaan publik pada Polri.
"Tetapi menjaga moralitas dan soliditas anggota yang telanjur menjadi 'korban' penindakan disiplin dan etik juga penting menjadi agenda Polri, sehingga tuntas melalui ujian presisi yang menjadi mantra bersama Korps Bhayangkara," tutup dia.