Setara Institute: Revisi Kilat UU Pilkada Cacat, Ditafsir Sesuai Selera Vetokrat

22 Agustus 2024 5:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
SETARA Institute mengkritik Badan Legislatif (Baleg) DPR RI yang menyepakati revisi UU Pilkada dan dinilai mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pengajuan calon gubernur, bupati, wali kota.
ADVERTISEMENT
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani, mengatakan keputusan Baleg DPR sebagai bentuk cara para elite memveto aspirasi publik dan kepemimpinan interpretasi konstitusi.
"Vetokrasi dalam konteks revisi UU Pilkada berbentuk kesepakatan elite yang memveto aspirasi publik dan kepemimpinan interpretasi konstitusi, yang sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan 60/PUU-XXII/2024 berupaya menyelamatkan demokrasi dari hegemoni dan tirani mayoritas," kata Ismail lewat keterangannya, Kamis (22/8).
Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebut keputusan tersebut juga cacat secara materiil dan formil. Sebab, rumusan yang diambil dalam penafsiran sesuai selera kepentingan, termasuk dalam penentuan batas usia pencalonan.
"Bukan hanya membangkangi putusan MK, revisi 7 jam atas UU Pilkada mengandung cacat materiil dan formil, karena rumusan syarat pencalonan ditafsir sesuai selera para vetokrat untuk kepentingan menguasai semua jalur dan saluran kandidat Pilkada," jelasnya.
Mendagri Tito Karnavian menerima berkas pandangan mini Fraksi Partai Gerindra dalam rapat pengambilan keputusan pembahasan RUU Pilkada di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
"Penetapan syarat bervariasi yang telah ditetapkan MK, ditafsir oleh DPR sebagai tidak berlaku bagi partai yang memperoleh kursi di DPRD. Akal-akalan tafsir juga diberlakukan terkait tafsir konstitusional genapnya usia 30 tahun bagi seorang calon gubernur/wakil gubernur, yang dihitung sejak pencalonan," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Putusan MK Final dan Mengikat
Baleg DPR, lanjut Ismail, tak punya kewenangan dalam menganulir keputusan MK karena berkekuatan hukum tetap dan mengingat. Sikap Baleg DPR adalah bentuk pelanggaran hukum.
"Putusan MK seharusnya berlaku apa adanya ketika sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, final, mengikat dan self executing. Kedudukan berlakunya Putusan MK adalah selayaknya berlakunya UU. Bentuk ketidakpatuhan DPR terhadap Putusan MK tersebut juga merupakan suatu pelanggaran hukum, yang selain menabrak tatanan konstitusional juga telah merobohkan prinsip checks and balances," katanya.
Ismail menilai, keputusan yang serba kilat itu bukti bahwa tak ada kepemimpinan dalam konstitusi. Padahal tak ada badan lain yang paling berwenang dalam menafsirkan keputusan MK.
"Peragaan kehidupan demokrasi yang semakin rapuh, revisi kilat UU Pilkada untuk kepentingan elit dan pembangkangan putusan Mahkamah Konstitusi telah menjadi bukti tidak adanya kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi (constitutional leadership) meski Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sikap Baleg DPR itu, kata Ismail, akan merusak sistem ketatanegaraan dan membuatnya semakin rapuh.
"Tanpa kepemimpinan konstitusi, sistem ketatanegaraan Indonesia akan semakin rapuh dan semakin menjauh dari mandat republik, karena rakyat dan aspirasi rakyat bukan lagi menjadi setrum perumusan legislasi dan kebijakan publik," tandasnya.