SETARA Institute: Revisi UU TNI Putar Balik Reformasi Militer RI

17 Juli 2024 19:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi TNI Foto: hanffburhan/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi TNI Foto: hanffburhan/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
SETARA Institute mengkritik wacana revisi UU Nomor 4 Tahun 2004, tentang TNI. Mereka menilai, wacana tersebut bisa mengembalikan peran Dwifungsi TNI yang berwenang di sektor militer di sipil. Ini adalah ancaman bagi demokrasi.
ADVERTISEMENT
Ikhsan Yosarie, peneliti sektor keamanan dan HAM SETARA Institute memaparkan, ada tambahan revisi di pasal-pasal krusial yang membuka pintu bagi prajurit TNI atau duduk di jabatan sipil.
"Pasal 39 melalui penghapusan larangan berbisnis bagi prajurit TNI dan Pasal 47 yang membuka ruang perluasan bagi prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pensiun dini. Usulan perubahan pada dua pasal ini berpotensi memutarbalikkan arah reformasi militer dan cita-cita amanat reformasi yang selama ini terus dirawat," kata Ikhsan lewat keterangan tertulis, Rabu (17/7).
Bagi SETARA, usulan perubahan pasal tersebut justru kontradiktif dan tidak relevan. Karena, TNI kini menghadapi spektrum ancaman yang begitu berbeda daripada sebelumnya.
Peneliti HAM dan keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie diskusi SETARA Institute dengan tema "Jalan Sunyi Reformasi TNI" di kantor SETARA Institute. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
"Tidak relevan dengan upaya penguatan TNI dalam menghadapi perkembangan spektrum ancaman yang semakin luas, yang diwujudkan melalui usulan perubahan lainnya mengenai perincian ruang lingkup dan definisi ketentuan Operasi Militer untuk Perang dalam Pasal 7," kata Ikhsan.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, SETARA juga memberikan 5 catatannya terhadap revisi UU TNI ini.
Pertama, SETARA merasa, perubahan pasal yang menghapus larangan bisnis bagi prajurit TNI membuat mereka terlibat jauh dalam bidang ekonomi, yang berimbas pada mundurnya profesionalitas militer.
Kedua, menghapus norma larangan berbisnis pada pasal 39 tidak menjamin prajurit TNI menahan diri. TNI bisa saja masuk dalam berbagai bentuk praktik bisnis aktif, yang paling parah, menjadi beking bagi sebuah entitas bisnis.
Ketiga, pada pasal 47 ayat 2, pembatasan di kementerian/lembaga tidak diatur spesifik. Pada pasal tersebut, prajurit TNI aktif bisa menjabat jabatan di kementerian pendidikan yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit.
Ilustrasi TNI Foto: Laksana Mohammad Hanif/Shutterstock
Tapi, tidak terdapat diksi "..berkaitan dengan pertahanan negara". SETARA menilai, ketiadaan diksi ini membuat tak ada batas jelas kewenangan TNI di kementerian/lembaga.
ADVERTISEMENT
SETARA menilai, memang belum nampak kaitannya dengan politik praktis secara langsung, tapi ini adalah perluasan jabatan sipil bagi para prajurit TNI. Ditakutkan, dapat membuka ruang terjadinya politik akomodasi bagi militer.
"Dampak jangka panjangnya menimbulkan utang budi politik karena semua ruang-ruang kementerian/lembaga tersebut dibuka berdasarkan kebijakan Presiden, yang notabene merupakan produk politik hasil kontestasi dalam Pemilihan Umum," kata Ikhsan.
Pada akhir pertimbangannya, SETARA menyampaikan, citra TNI yang sudah lepas dari Dwifungsi harus dipertahankan.
"Dalam pandangan SETARA, kepercayaan publik dan citra institusi TNI yang tinggi di mata publik harus terus dijaga dengan merawat dan melakukan penguatan agenda-agenda reformasi TNI, sehingga TNI menjadi tentara yang kuat dan profesional di bidang pertahanan negara," tutup Ikhsan.
ADVERTISEMENT