SETARA: MK Keluar Jalur dengan Putus Masa Jabatan Pimpinan KPK Jadi 5 Tahun

Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai telah keluar jalur dengan memutus memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun. Sebab hal itu sejatinya merupakan ranah pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan Pemerintah.
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani, menyebut sejak awal pemeriksaan permohonan Wakil Ketua Nurul Ghufron yang akhirnya dikabulkan MK, sudah dipaksakan. Sebab jika merujuk pada kasus-kasus sebelumnya, soal batasan usia, batasan syarat menduduki jabatan, dikategorikan oleh MK sebagai opened legal policy atau kebijakan hukum terbuka.
"Artinya kewenangan pengaturan ada pada organ pembentuk UU yakni DPR dan Presiden. Jadi isu usia calon dan masa jabatan pimpinan KPK bukanlah isu konstitusional melainkan kebijakan hukum terbuka. Hanya saja MK tidak konsisten dalam memperlakukan norma-norma sejenis ini," kata Ismail dalam keterangannya, Jumat (26/5).
Ismail mengatakan, putusan MK juga disertai dengan dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Bahkan yang tidak sepakat dengan putusan memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun ada 4 hakim konstitusi.
"Semakin menegaskan keterbelahan pandangan di tubuh MK. Sekalipun dissenting atau concurring opinion suatu hal biasa, tetapi tren keterbelahan yang berulang menggambarkan bahwa tubuh MK semakin rapuh, rentan dan mengalami pengikisan kenegarawanan hakim dan integritas kelembagaan," kata dia.
Ismail juga mengomentari pernyataan dari juru bicara MK Fajar Laksono. Sebelumya Fajar menyebut bahwa putusan soal masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun akan diterapkan pada masa jabatan pimpinan lembaga antirasuah saat ini.

Alasan Fajar, karena putusan MK mengikat dan berlaku sejak dibacakan. Akan tetapi, menurut Ismail, hal tersebut hanyalah tafsir Fajar Laksono saja, bukan bunyi putusan MK.
"Oleh karena itu bisa diabaikan. Betul bahwa putusan MK final dan mengikat dan berlaku saat diucapkan, tetapi objek uji materi di MK adalah norma abstrak dan tidak ditujukan untuk menyelesaikan kasus konkret, seperti yang diminta Nurul Gufron," kata dia.
"Apalagi sifat putusan ini adalah putusan yang sifatnya non-self executing, yang tidak serta merta berlaku untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK saat ini," sambungnya.
Menurut Ismail, jika putusan tersebut diberlakukan di era Firli Bahuri dkk, maka MK tidak hanya abai dalam membuat putusan, tetapi juga berpotensi menyebabkan kekacauan, ketidakpastian dan pertentangan hukum baru.
"Keppres 129/P Tahun 2019 tentang pengangkatan KPK tetap sah hingga masa akhir jabatan pimpinan KPK berakhir di 2023," kata dia.
"Putusan MK yang membentuk norma baru, yakni mengubah masa jabatan dari 4 tahun menjadi 5 tahun, adalah keluar jalur karena itu kewenangan pembentuk UU," sambungnya.

Presiden Jokowi Sebaiknya Abaikan Putusan MK
Ismail menyarankan kepada Presiden Jokowi untuk mengabaikan putusan MK ini. Dia menyebut sebaiknya Tim Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK tetap dilanjutkan untuk memilih pimpinan KPK jilid VI.
"Presiden Joko Widodo, sebaiknya mengabaikan putusan MK ini untuk kepentingan penguatan KPK, meluruskan cara berkonstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan, dan tetap melanjutkan pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK baru," kata dia.
"Paralel dengan langkah ini, Presiden dan DPR selaku pembentuk UU segera menyelenggarakan agenda legislasi membahas perubahan norma dalam UU KPK yang diujikan tersebut. Putusan MK terkait masa jabatan ini akan menimbulkan preseden konstitusional terburuk dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia," pungkasnya.