Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
SETARA soal Jokowi Beri Gelar Jenderal Kehormatan ke Prabowo: Hina Korban HAM
28 Februari 2024 11:23 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Presiden Jokowi memberikan gelar Jenderal Kehormatan kepada Menhan Prabowo Subianto. Hal itu dilakukan pada saat Rapim TNI-Polri yang digelar di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (28/2).
ADVERTISEMENT
SETARA Institute menilai apa yang dilakukan Jokowi itu tidak sah dan ilegal. Dalam keterangan tertulisnya, SETARA Institute menyebut UU Nomor 34 Tahun 2024 Tentang Tentara Nasional Indonesia, tidak mengenal bintang kehormatan sebagai pangkat kemiliteran.
Bintang sebagai pangkat militer untuk Perwira Tinggi hanya berlaku untuk TNI aktif, bukan purnawirawan atau pensiunan.
"Jika merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, maka Bintang yang dimaksud dalam UU tersebut adalah Bintang sebagai Tanda Kehormatan, yang menurut Pasal 7 Ayat (3), dalam bentuk Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma, Bintang Kartika Eka Pakçi, Bintang Jalasena, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa, bukan bintang sebagai pangkat kemiliteran perwira tinggi bagi purnawirawan militer," sebut SETARA Institute.
"Secara lebih spesifik, jika merujuk kepada Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 18 Tahun 2012, pemberian kenaikan pangkat ini juga merupakan tanda tanya besar. Dalam ketentuan umum peraturan ini, disebutkan bahwa Kenaikan Pangkat Istimewa diberikan kepada PNS dengan prestasi luar biasa baik. Sedangkan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) diberikan kepada Prajurit yang mengemban penugasan khusus dengan pertahanan jiwa dan raga secara langsung dan berjasa dalam panggilan tugasnya. Dalam 2 kategori ini, tentu Prabowo tidak masuk kualifikasi sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan tersebut," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, SETARA menilai pemberian gelar kehormatan untuk Prabowo itu bermasalah. Sebab, Prabowo diberhentikan dari dinas kemiliteran melalui KEP/03/VIII/1998/DKP dan Keppres No. 62 Tahun 1998, bukan karena memasuki usia pensiun.
"Dengan demikian, keabsahan pemberian bintang kehormatan itu problematik. Sebuah kontradiksi jika sosok yang diberhentikan dari dinas kemiliteran kemudian dianugerahi gelar kehormatan kemiliteran," katanya.
Rendahkan Korban dan Pembela HAM
SETARA Institute juga menilai pemberian gelar kehormatan jenderal bintang empat kepada eks Danjen Kopassus itu, merupakan langkah politik Jokowi yang menghina dan merendahkan korban dan pembela HAM, terutama dalam tragedi penculikan aktivis 1997-1998.
Langkah politik Jokowi, lanjut SETARA, bertentangan dengan hukum negara tentang pemberhentian Prabowo dan pada saat yang sama melecehkan para korban dan pembela HAM yang hingga detik ini terus berjuang mencari keadilan.
ADVERTISEMENT
"Dugaan keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan aktivis itu sudah jelas dinyatakan oleh satu lembaga ad hoc kemiliteran resmi yang dibentuk oleh negara bernama Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang rekomendasinya pemberhentian Prabowo dari dinas kemiliteran, dan kemudian dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden. Negara jelas menyatakan bahwa Prabowo merupakan pelanggar HAM, berdasarkan keputusan negara," tuturnya.
Kemudian, dari sisi etika kepubilkan, lanjut SETARA, pemberian bintang kehormatan oleh Jokowi ke Prabowo dinilai bermasalah. Kata dia, presiden seharusnya lebih memikirkan nasib sebagian besar rakyat yang saat ini sedang mengalami kesulitan ekonomi serius, karena naiknya harga beras dan harga-harga sembako lainnya, bukan mengambil langkah politik untuk memberikan Bintang Kehormatan bagi Prabowo dengan pertimbangan dan untuk kepentingan politik, yaitu 'menanam' jasa kepada Prabowo yang diproyeksikan oleh Joko Widodo menjadi Presiden RI selanjutnya.
ADVERTISEMENT
"Oleh karena itu, SETARA Institute menuntut agar Jokowi mengevaluasi kembali pemberian bintang kehormatan kemiliteran untuk Prabowo. Jika tuntutan ini diabaikan, maka semakin jelaslah bahwa di ujung periode pemerintahannya, Presiden Joko Widodo lebih sering menampilkan tindakan politik dan pemerintahan yang bertentangan dengan hukum, melawan arus aspirasi publik, dan mengabaikan hak asasi manusia," tandas SETARA.