Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Setelah Putusan MK: Koalisi Pilkada Ambyar, Taji Jokowi Pudar
27 Agustus 2024 15:17 WIB
·
waktu baca 14 menit***
Kemarahan meledak di langit Senayan, Jakarta, Kamis (22/8). Ribuan orang turun ke jalan dan menggeruduk Gedung DPR RI. Mereka berasal dari berbagai kalangan, mulai buruh, mahasiswa, akademisi, pekerja kreatif, komedian, sampai selebritas, termasuk aktor ternama Reza Rahadian.
Reza datang sendirian dan langsung berbaur dengan para demonstran. Pemeran Habibie dalam film Habibie & Ainun itu mengatakan tak bisa duduk tenang di rumah melihat DPR dan pemerintah seenaknya mengubah aturan, dalam hal ini revisi UU Pilkada, dengan mengabaikan putusan MK demi kepentingan keluarga dan kelompok.
“Menyedihkan kalau caranya begini … Ini bukan negara milik keluarga tertentu … Saya miris melihat ini semua,” kata Reza dalam orasinya dari mobil komando.
Reza berorasi bergantian dengan pedemo lain, termasuk komika Abdur Arsyad yang berteriak “Kita semua cari kerja sendiri, bukan dibantu bapak!” dan Bintang Emon yang berseru “Kalau belum umur 30 tahun, jangan nyalon dulu!”
“Keluarga tertentu” yang dimaksud Reza sudah pasti keluarga Jokowi, sedangkan orang yang disindir “belum berumur 30 tahun” dan “cari kerja dibantu bapak” sudah jelas Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi yang semula hendak dicalonkan menjadi Wakil Gubernur Jawa Tengah mendampingi cagub Jateng Komjen Ahmad Luthfi.
Kini, Kaesang dan istrinya dikuliti warganet. Mereka jadi bulan-bulanan di media sosial, antara lain karena berangkat ke Amerika Serikat dengan pesawat jet pribadi dan dianggap mempertontonkan kemewahan, menandakan ia tidak peka dengan situasi di tanah air.
Putusan MK, Awal Gempa Politik yang Kandaskan Kaesang
Selasa, 20 Agustus, hanya seminggu menjelang pendaftaran pasangan calon kepala daerah, Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan Nomor 60 dan 70 yang mengubah syarat ambang batas pencalonan dan batas usia kepala daerah.
Dalam Putusan 60, MK menurunkan ambang batas minimal sebagai syarat pencalonan menjadi setara dengan calon independen, yakni 6,5–10%, tergantung jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di daerah tersebut. Sebelumnya, pada pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, ambang batas itu minimal memiliki 20% kursi DPRD atau 25% suara sah partai/gabungan partai.
Putusan itu tak pelak membuka peluang bagi lebih banyak tokoh untuk diusung, dan berpotensi mengikis dominasi koalisi Prabowo (Koalisi Indonesia Maju Plus) di pilkada.
Berikutnya, dalam Putusan 70, MK menyatakan syarat usia calon kepala daerah dan wakilnya dihitung saat mereka mendaftar ke KPU, bukan saat pelantikan. Tafsir MK tersebut berbeda dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 23 yang diketuk tiga bulan sebelumnya, pada 29 Mei. Dalam Putusan 23 MA, syarat usia calon kepala daerah ialah minimal 30 tahun saat dilantik, bukan saat mendaftar.
Putusan 23 adalah hasil gugatan Ketua Umum Partai Garuda yang dikabulkan oleh MA. Putusan ini membuka jalan bagi Kaesang Pangarep—yang kini berusia 29 tahun—untuk diajukan jadi cawagub, sebab ia sudah berumur 30 tahun ketika dilantik nanti (jika memenangi Pilkada Jateng).
Berdasarkan usulan Mendagri, pelantikan kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024 kemungkinan berlangsung bertahap mulai Januari 2025, sedangkan Kaesang akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024. Artinya, bila memakai Putusan MA, Kaesang akan melenggang mulus ke kursi Wagub Jateng. Terlebih, sang cagub, Komjen Ahmad Luthfi—yang telah bertugas sebagai Wakapolda dan Kapolda Jateng selama enam tahun—merupakan kandidat kuat di Jawa Tengah.
Rencana tinggal rencana. Skenario itu terancam buyar setelah MK mengeluarkan Putusan 70. Kaesang tak bisa diusung di pilkada karena masih berusia 29 tahun saat pendaftaran paslon pada 27–29 Agustus 2024. MK menegaskan, syarat usia calon dihitung saat mendaftar ke KPU, bukan ketika dilantik.
Jokowi dan Koalisi Kalang Kabut, RUU Pilkada yang Mati Suri Dihidupkan
Putusan MK yang dibacakan Selasa, 20 Agustus, itu bikin Istana dan DPR geger. Sumber di lingkup Koalisi Indonesia Maju menyebut pihaknya kecolongan. Ia tak menyangka MK bakal memutus di luar materi yang dimohonkan (ultra petita) dengan mengubah ambang batas pencalonan dan menetapkan batas usia calon kepala daerah terhitung sejak penetapan calon, bukan pelantikan.
Sekretaris Fraksi PPP yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Achmad Baidowi, mengatakan asas hukum terkait putusan MK berlaku ke depan. Ia sempat bilang, terserah KPU hendak memberlakukan putusan MK pada Pilkada 2024 atau 2029.
Sementara Wakil Ketua Umum Golkar sekaligus Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung awalnya mengatakan, DPR baru menjadwalkan rapat konsinyering untuk membahas Peraturan KPU sebagai turunan Putusan MK 60 dan 70 pada Sabtu, 24 Agustus.
Lantaran tak ada jadwal khusus untuk membahas putusan MK tersebut, seorang anggota Baleg terbang menuju daerah pemilihannya. Namun, belum lama mendarat, ia sudah menerima banyak telepon dan surat dari Baleg. Rupanya ada undangan rapat untuk membahas revisi UU Pilkada esok harinya, Rabu, 21 Agustus. Alhasil, meski baru beberapa jam berada di dapil, ia langsung terbang kembali ke Jakarta.
Awiek—sapaan Achmad Baidowi—yang memimpin rapat Baleg mengatakan, revisi UU Pilkada merupakan Rancangan Undang-Undang inisiatif DPR yang disusun sejak Oktober 2023. Pembahasannya sebetulnya mandek selama berbulan-bulan, dan baru pada 20 Agustus—pada hari putusan 60 dan 70 MK dibacakan—dimandatkan pimpinan DPR kepada Baleg untuk kembali melanjutkannya.
Tak seperti sebelumnya, kali itu revisi UU Pilkada dibahas kilat, tak sampai 7 jam, dari pukul 10.00 WIB hingga disetujui panitia kerja sekitar pukul 16.55 WIB. Dari 9 fraksi di DPR, hanya PDIP yang tidak menyetujui RUU tersebut.
Dalam rapat ekspres tersebut, Baleg DPR mengabaikan Putusan 70 MK dan menyepakati batas usia calon kepala daerah sesuai dengan Putusan 23 MA, yakni minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan.
Putusan 60 MK pun hanya diakomodasi sebagian ke dalam RUU Pilkada. Baleg menghendaki ambang batas pencalonan bagi parpol pemilik kursi DPRD tetap menggunakan aturan sebelumnya, yakni 20% kursi DPRD atau 25% suara sah pada pilkada sebelumnya. Sementara penurunan ambang batas pencalonan sesuai putusan MK, yakni 6,5–10% sesuai jumlah pemilih di wilayah terkait, hanya diberlakukan bagi parpol yang tak lolos ke DPRD.
Dua klausul tersebut tentu tak sepenuhnya selaras dengan Putusan 60 dan 70 MK, bahkan terang menunjukkan faktor pengabaian. Namun DPR tetap lanjut mengebut RUU Pilkada dan menjadwalkan pengesahannya pada rapat paripurna keesokannya, Kamis, 22 Agustus.
Pertemuan di Istana di Tengah Aksi Demo Berujung Batalnya Revisi UU Pilkada
Rapat paripurna pengesahan RUU Pilkada berlangsung pukul 9.30 WIB, Kamis (22/8). Rapat dibuka oleh Wakil Ketua DPR dari Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, sedangkan Ketua DPR Puan Maharani—yang fraksinya, PDIP, menentang RUU Pilkada—tak hadir karena kunjungan kerja ke Hungaria.
Saat rapat paripurna dibuka, hanya 89 anggota DPR yang hadir. Rapat pun diskors 30 menit. Hingga skors berakhir, forum dinyatakan Dasco tidak kuorum sehingga rapat pengesahan RUU Pilkada ditunda. Berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPR, rapat memenuhi kuorum bila dihadiri separuh lebih anggota Dewan dari separuh lebih fraksi di DPR, baik fisik maupun virtual.
Namun, sumber di DPR menyebut bahwa “tidak kuorum” hanyalah alasan untuk tidak melanjutkan rapat. Ia mengatakan, ada permintaan Istana untuk menunda rapat paripurna guna melihat lebih dulu eskalasi demonstrasi Tolak RUU Pilkada dan Peringatan Darurat di luar Gedung DPR dan sejumlah titik lain di Jakarta.
Sumber yang sama mengisyaratkan, perhatian atas situasi di dalam dan di luar DPR hari itu bukan cuma datang dari Istana, tapi juga Prabowo, presiden terpilih sekaligus Ketua Umum Gerindra. Prabowo melihat kondisi itu mengkhawatirkan menjelang transisi kepemimpinan nasional. Ia pun disebut meminta agar pembahasan RUU Pilkada dibatalkan dan putusan MK diikuti saja.
Maka, menurut sumber itu, usai menunda sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada, Dasco menyelinap ke Istana untuk berkoordinasi. Ia hendak menanyakan kelanjutan nasib RUU Pilkada. Di sana, Prabowo dan Jokowi bertemu untuk membahas situasi terkini. Prabowo menyampaikan penolakannya atas revisi UU Pilkada yang berpotensi mengganggu stabilitas dan suksesi pemerintahan.
Dasco membantah bertandang ke Istana, namun sore harinya, ia mengumumkan pengesahan RUU Pilkada dibatalkan.
Di Balik Putusan MK yang Obrak-abrik Strategi Koalisi
Seorang elite politik menyebut putusan MK jelas-jelas menguntungkan PDIP yang kini jadi bisa mencalonkan kepala daerah tanpa perlu berkoalisi dengan partai lain untuk memenuhi ambang batas minimal pengajuan calon berdasarkan perolehan kursi DPRD.
Sementara sumber internal di PDIP menyatakan partainya tidak tahu-menahu soal putusan MK sebelum dibacakan. “Enggak ada rapat apa pun di DPP sebelum putusan MK. Kami semua terkejut.”
Putusan 60 MK merupakan hasil dari gugatan ambang batas pencalonan kepala daerah yang diajukan Partai Buruh. Tujuannya untuk meruntuhkan dominasi sejumlah parpol yang membentuk semacam oligarki parpol usai perhelatan Pilpres 2024 Februari kemarin.
Pasalnya, Partai Buruh menganggap koalisi politik di pilkada dirancang untuk mematikan demokrasi. Ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah oleh parpol sebesar 20% kursi DPRD dinilai jadi alat untuk menjegal orang agar tak bisa dipilih.
“Akhirnya terjadilah calon koalisi besar itu melawan kotak kosong atau calon independen yang sebetulnya calon ‘boneka’. Itu memperlihatkan demokrasi kita sedang dibajak,” kata Ketua Umum Partai Buruh Said Iqbal.
Saat hendak mengajukan judicial review, Partai Buruh mengajak sekitar 10 parpol yang tak lolos parlemen untuk ikut menggugat. Namun, hanya Partai Gelora yang mengiyakan ajakan tersebut dan melenggang ke gelanggang gugatan pada 20 Mei 2024.
Namun, seiring gugatan berjalan, Partai Gelora—yang bagian dari Koalisi Indonesia Maju—disebut Said acuh tak acuh dengan proses persidangannya. Ketika akhirnya Putusan 60 dibacakan MK dan menjadi gempa politik bagi KIM, Partai Gelora pun disentil elite KIM.
Sumber kumparan di kalangan parpol sempat menunjukkan percakapan di grup WhatsApp yang memperlihatkan gonjang-ganjing KIM ketika salah satu pentolannya menegur petinggi Partai Gelora. Dari situlah muncul penjelasan Gelora bahwa ia hanya memohonkan ke MK agar parpol non-parlemen bisa mengusung calon kepala daerah, tanpa mengutak-atik soal ambang batas pencalonan yang awalnya mensyaratkan 20% kursi DPRD.
Lima hari pasca-putusan MK diketuk, Partai Gelora menyatakan lima sikap soal putusan MK yang di antaranya mempertanyakan soal penurunan ambang batas pengajuan calon oleh parpol dan membuat aturan baru di luar yang dimohonkan (ultra petita). Itu sebabnya Partai Gelora mendorong DPR melakukan langkah legislasi sendiri—yang ternyata mendapat penolakan keras dari publik.
Putusan MK mengagetkan elite KIM yang sudah relatif ajek mengatur koalisi kuat di sejumlah daerah. Akibat putusan itu, terbuka kesempatan bagi parpol pesaing, utamanya PDIP, untuk mengusung calon sendiri di beberapa wilayah yang sebelumnya terhalang syarat ambang batas 20%.
Juru Bicara PKS M. Kholid menyatakan partainya tidak tahu soal gugatan yang berujung pada Putusan 60 dan 70 tersebut. Menurutnya, jika ada rekan koalisi di KIM yang mengetahuinya, seharusnya mitra koalisi lainnya diberi tahu.
Elite KIM mengaku kecolongan. Padahal, menurut sumber di lingkaran itu, ada orang mereka yang kerap memantau jalannya sidang di MK. Hal ini juga diiyakan oleh Said Iqbal yang mendengar bahwa ada koalisi parpol yang terus-menerus memantau semua gugatan yang masuk ke MK.
Nyatanya, gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora itu sama sekali tidak senyap karena dapat dilacak secara terbuka pada situs tracking perkara MK. Sumber di lingkaran Anies misalnya sudah mendengar kabar mengenai gugatan Partai Buruh sejak medio Juni-Juli, dan memantaunya untuk mengantisipasi situasi bila Anies sewaktu-waktu ditinggal parpol pengusungnya—yang kemudian memang betul-betul terjadi.
Meski demikian, orang-orang di lingkaran Anies Baswedan ketika itu pesimistis gugatan bakal dikabulkan hakim. Terlebih, suara parpol non-parlemen jika dikumpulkan pun jumlahnya sangat kecil.
Dampak Putusan MK: Prabowo Ganti Strategi, Pamor Jokowi Meredup
Menanggapi ucapan elite KIM yang menyebut PDIP paling diuntungkan dengan Putusan 60 MK, Juru Bicara PDIP Chico Hakim berpendapat bahwa sesungguhnya turunnya ambang batas syarat pencalonan di pilkada merupakan kemenangan untuk rakyat dan partai politik. Rakyat jadi punya lebih banyak pilihan, sedangkan parpol jadi lebih leluasa mengajukan calonnya sendiri.
“Ini kan sukaria bagi semua parpol. Ada yang [menunjukkannya] terang-terangan seperti PDIP, ada yang dalam hati saja, ada yang malu-malu, dan ada yang takut,” ujar Chico dalam Info A1 kumparan , Sabtu (24/6).
Kini, partai-partai yang perolehan suaranya tak sampai 25% atau kurang dari 20% kursi DPRD jadi bisa mengusung calon sendiri di pilkada. Dampaknya, menurut kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), peluang parpol mengusung calon jadi terbuka di 508 kabupaten/kota dan 37 provinsi di Indonesia.
Putusan MK juga dinilai dapat memerdekakan atau meminimalkan partai dari politik transaksional karena, menurut anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, “Pencalonan kepala daerah tidak dikendalikan oleh kartel politik yang menggunakan kekuasaan untuk menekan koalisi pencalonan.”
Setelah revisi UU Pilkada dibatalkan, esoknya, 23 Agustus, Sekjen Gerindra Ahmad Muzani menyatakan bahwa partainya sebagai inisiator KIM membebaskan partai-partai mitra koalisinya di KIM Plus untuk mengusung calon kepala daerah masing-masing.
“Kami memberi keleluasaan bagi setiap parpol untuk mengambil posisi politik di daerah-daerah. Kami menghormati pandangan dan basis antarparpol yang berbeda. Tapi bila memungkinkan, kami akan berusaha untuk bersama,” kata Muzani.
Tiga hari kemudian, 26 Agustus, Ketua Dewan Penasihat PKS Tifatul Sembiring mengumumkan lewat akunnya di X bahwa partainya urung mengusung Riza Patria-Marshel Widianto di Pilwalkot Tangerang Selatan, dan lebih memilih untuk mencalonkan kadernya sendiri, Ruhamaben-Shinta.
Sebelumnya, pasangan Riza-Marshel telah disepakati KIM Plus untuk diusung di Tangsel. Riza Patria ialah Ketua DPD Gerindra Jakarta dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2022–2022, sedangkan Marshel Widianto ialah komedian dan aktor yang belum lama ini blusukan di Ciputat Timur dan Pondok Aren, Tangsel, bersama Gibran Rakabuming.
“Insyaallah PKS mengusung pasangan Ruhama-Shinta di Pilkada Tangerang Selatan, mengalihkan dari yang sebelumnya, Riza-Marshel,” kata Tifatul.
Namun, pada saat yang sama, Riza justru menyebut PKS belum menarik dukungan atasnya, dan ia masih menyimpan surat rekomendasi pencalonan dari DPP PKS.
Baru keesokannya, Selasa (27/8), PKS resmi mengalihkan dukungan ke Ruhama-Shinta. Ruhamaben yang pernah menjabat sebagai Ketua DPD PKS Tangsel merupakan Wakil Ketua DPRD Tangsel periode 2010–2015.
Presiden PKS Ahmad Syaikhu menyatakan, keputusan itu diambil berdasarkan aspirasi kader dan masukan publik yang berkembang usai Putusan 60 MK.
Terbaru, Partai Golkar yang sebelumnya mengusung duet politisi Gerindra-PKS Andra Soni-Dimyati Natakusumah di Pilgub Banten, mendadak berbalik arah dan kembali mendukung kadernya sendiri, Airin Rachmi Diany.
Padahal, Airin sebelumnya ditinggal sendirian oleh Golkar dan KIM Plus meski ia sudah lama digadang-gadang sebagai cagub Banten. Alhasil, sampai kemarin, Senin (26/8), ia hanya bisa bekerja sama dengan PDIP sebagai satu-satunya partai di luar koalisi Prabowo.
Langkah terbaru Gerindra yang mau “mengalah” dan melonggarkan mitra koalisinya untuk mengusung calon sendiri, diyakini sebagai perubahan strategi agar Gerindra dan Prabowo tidak dianggap sebagai musuh bersama. Dalam hal ini, Gerindra bisa jadi menurunkan targetnya pada pilkada demi stabilitas politik jelang pelantikan Prabowo pada 20 Oktober 2024—sebulan sebelum gelaran pilkada pada 27 November.
Pun begitu, menurut pengamat politik Hendri Satrio, Gerindra sebetulnya tak perlu merasa terpengaruh Putusan 60 MK karena telah mengunci strategi lebih dulu di sejumlah daerah. Hanya saja, Gerindra jadi bakal bertemu lawan-lawan hebat, yakni calon PDIP.
Gerindra diduga tak cuma mengubah strategi dengan mengendurkan ikatannya ke koalisi, tapi juga dengan menjaga jarak dengan Jokowi yang kini rusak citranya karena dinasti politik, utamanya terkait Kaesang yang sebelumnya hendak nyawagub di Jateng.
Sumber internal KIM menyebut, skenario Kaesang jadi cawagub sebetulnya tidak benar-benar diseriusi oleh KIM Plus. Kaesang pun telah disarankan untuk fokus pada bisnis. Ucapan ini diamini Sekjen PSI Raja Juli Antoni. Menurutnya, sejak awal Kaesang memang tak ingin maju pilkada.
“Pengurusan persyaratan [maju cawagub] dilakukan sebelum keputusan Mahkamah Konstitusi. Semua proses administrasi itu dihentikan setelah keputusan MK. PSI taat konstitusi dan sepenuhnya mengikuti keputusan MK,” ujarnya.
Sentimen Negatif ke Jokowi Ancam Pencalonan Kerabatnya di Pilkada
Pakar politik dan pendiri Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, menilai demonstrasi besar 22 Agustus kemarin berpengaruh signifikan terhadap memudarnya dominasi dan taji Jokowi di KIM Plus, bahkan Indonesia.
“Demo itu menghentikan cawe-cawe atau intervensi Jokowi ke banyak partai dan cabang lembaga negara; menghentikan [tumbuhnya] dinasti politiknya,” kata Ujang, Senin (26/8).
Adi Prayitno, pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sependapat. Menurutnya, sentimen negatif terhadap Jokowi kini muncul di mana-mana dan akan memengaruhi kerabat dan orang dekat Jokowi yang maju pilkada di daerah-daerah tertentu.
Meski demikian, Ujang melihat menantu Jokowi, Bobby Nasution, masih mungkin bisa menang di pilkada, sebab Bobby sudah kadung maju di Pilgub Sumut dengan sokongan KIM Plus, tak seperti Kaesang yang terhenti di awal.
Namun, menurut Adi, Bobby—yang akan menghadapi calon kuat Edy Rahmayadi usungan PDIP—perlu segera mengantisipasi sentimen negatif terhadap Jokowi bila tak mau kena serangan sistematis dan agresif dari netizen di masa kampanye.
“Kalau hanya mengarah ke Jokowi, sentimen negatif itu tidak terlalu penting karena Jokowi sebentar lagi akan mengakhiri jabatan politiknya. Tapi kalau sentimen itu mengarah ke keluarga politiknya—konon ada ajudan, aspri, dan kerabatnya yang maju pilkada, terutama Bobby; mereka bisa jadi sasaran serangan,” tutup Adi.
Roda berputar, musim berganti. Taji Jokowi tak selamanya sakti.