Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Jelang dilantik, Prabowo dihadapkan pada deflasi lima bulan beruntun yang jadi bukti turunnya daya beli warga. Persoalan ini berkelindan dengan PHK yang merajalela dan kelas menengah yang banyak turun kasta jadi kelompok miskin. Belum lagi adanya beban utang warisan pemerintah Jokowi. Bagaimana presiden baru akan menghadapinya?
***
Dermawan belum lama ini melungsurkan laptopnya kepada sang adik, bertepatan dengan tahun ajaran baru 2024/2025 yang jatuh bulan Juli. Sebetulnya ia ingin mengganti laptopnya dengan yang baru, tapi berbagai pertimbangan membuatnya urung membeli.
Kondisi keuangan Dermawan sedang tidak baik-baik saja. Belakangan, gaji karyawan swasta perusahaan perkebunan di Sukabumi itu habis untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Satu–dua bulan terakhir ini ia bahkan sampai merogoh tabungan untuk pengeluaran tak terduga. Padahal biasanya ia selalu bisa menyisihkan gaji untuk tabungan.
“Saya juga pengin ganti HP, tapi tiga bulan ini harus lebih hati-hati dalam mengeluarkan uang. Kebutuhan primer sudah terpenuhi, tapi untuk memenuhi keinginan tidak seberani dulu. Merogoh tabungan agak susah,” kata lelaki 29 tahun asal Kuningan, Jawa Barat, itu kepada kumparan.
Pola belanja dan gaya hidup Dermawan juga berubah. Ia tak lagi ngopi-ngopi di coffee shop sesering dahulu saat awal kerja pada 2019. Ia pun jadi rajin berburu promo dan diskon untuk membeli barang-barang kebutuhan anak.
Sebagai kelas menengah dengan pengeluaran Rp 2,04 juta sampai Rp 9,9 juta, Dermawan kini harus banyak berhemat karena punya tanggungan anak-istri, sedangkan gajinya tidak naik-naik juga selama tiga tahun—sejak mulai kerja sampai saat ini.
Dengan sistem gaji bersih, pungutan dan iuran pemerintah di perusahaan Dermawan dibayar oleh kantor. Ia menduga, adanya pembayaran BPJS Kesehatan/Ketenagakerjaan, Pajak Penghasilan, dan lain-lain itu membuat perusahaan memilih merealokasi kenaikan gaji karyawan untuk membayar segala pungutan itu.
Beban-beban perusahaan belum ditambah dengan antisipasi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 dan Pungutan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dicanangkan di akhir era Presiden Jokowi.
Beban yang bertambah bukan cuma dirasakan pegawai seperti Dermawan, tapi juga pengusaha kecil seperti Visal Zein. Lelaki yang memiliki warmindo di Yogya itu merasa tiga bulan ke belakang adalah masa terberat bagi usahanya.
Warmindo yang notabene jadi tempat nongkrong mahasiswa untuk diskusi, ngopi, dan makan mi instan itu kini sepi pelanggan. Alhasil, usahanya nombok alias rugi. Dan hal ini bukan cuma terjadi pada Zein, tapi juga rekannya sesama pengusaha warmindo.
Saat berdiskusi dengan kawan-kawan anggota paguyuban warmindo di Yogya, Zein mendapat cerita bahwa semua pelaku usaha itu mengalami situasi serupa.
Dampaknya bagi Zein, ia harus mengurangi karyawan dari tiga orang menjadi dua orang untuk menjaga kedainya. Namun, itu pun tak cukup. Medio Juli 2024, Zein melepas semua karyawannya. Ia mengoperasikan sendiri kedainya bersama seorang kawan daripada mesti membayar dan menunggak gaji karyawan.
“Ada beberapa mahasiswa yang ditanya ‘Kenapa jarang ke sini lagi?’ Mereka bilang karena harga. Tapi menurut saya bukan soal harga karena bahan baku di pasar enggak begitu mahal. Saya lihat karena daya beli turun. Masyarakat ditekan sama kondisi ekonomi,” kata Zein.
Kondisi ekonomi masyarakat di akhir era Presiden Jokowi ini menjadi gambaran beban yang akan dipikul Prabowo-Gibran. Jadi, apa sebenarnya yang terjadi dan mesti menjadi perhatian pemerintahan baru Prabowo?
Hantu Deflasi dan Turunnya Daya Beli Masyarakat
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,12% pada September 2024, menandai penurunan harga konsumsi barang dan jasa yang kelima berturut-turut sepanjang tahun ini, dan berpotensi menghantui pemerintahan Prabowo.
Menurut Pejabat Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, deflasi bulan September adalah yang terdalam dibanding bulan yang sama selama setengah dekade terakhir. Deflasi itu disumbang oleh harga komoditas yang bergejolak; serta harga makanan, minuman, dan tembakau.
Sekilas, fenomena penurunan harga ini terlihat menguntungkan, tapi sebetulnya menjadi alarm bagi kondisi ekonomi Indonesia. Peneliti ekonomi The Indonesian Institute (TII) Putu Rusta Adijaya menyatakan, deflasi bisa disebabkan oleh penurunan permintaan karena rendahnya daya beli masyarakat.
“Jangan sampai bilangnya karena ada peningkatan suplai [barang dan jasa] jadi harganya murah lalu deflasi. Tapi kembali lagi, banyaknya suplai apakah karena masyarakat menengah itu tidak mampu membeli?” ujar Putu.
Ekonom senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menjelaskan, dalam kondisi deflasi kini, kelas menengah semakin mengurangi belanja kebutuhan sekunder dan tersier.
“Kalau kita lihat data BPS, kelas menengah pola belanjanya berubah. Yang semula [anggaran] makanan porsinya kecil, sekarang meningkat. Mereka menahan belanja karena mengantisipasi kenaikan inflasi di pangan. Mereka siapkan itu,” terang Tauhid.
BPS membandingkan pergeseran prioritas pengeluaran masyarakat dalam lima tahun terakhir. Terjadi peningkatan pengeluaran makan dari 41,05% menjadi 41,67%. Pengeluaran untuk pajak/iuran juga meningkat dari 3,48% ke 4,57%. Di sisi lain, penurunan pengeluaran terjadi di klaster hiburan, kendaraan, dan pakaian. Menurut BPS, kelas menengah kini fokus pada pengeluaran di bidang makanan dan perumahan.
Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana menilai, deflasi kini masih menyentuh barang-barang primer. Tetapi, di balik itu, barang kebutuhan sekunder yang diproduksi oleh perusahaan pengolahan (manufaktur) juga mulai turun harga untuk merengkuh daya beli masyarakat.
Danang menjelaskan, deflasi berdampak ke industri karena produsen bakal menurunkan harga dengan berbagai cara seperti diskon dan cuci gudang agar produknya laku. Hal ini membuat keuntungan menurun pada rantai ekonomi industri manufaktur: dari pabrik, perusahaan logistik, hingga toko ritel.
Apabila keuntungan dan pembelian menurun, perusahaan manufaktur akan memproduksi barang-jasa yang lebih sedikit di bawah kapasitas produksi yang jika diteruskan dapat berujung ke pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan demi efisiensi perusahaan.
“Kalau mereka layoff karyawan, maka jumlah kelas menengah akan semakin menurun. Sementara penurunan harga untuk produk-produk sekunder seperti baju, handphone, motor, itu menjadi berbahaya untuk keseluruhan rantai pasok ekonomi,” kata Danang.
Fenomena itu disebut sebagai spiral deflasi yang jika berkepanjangan bisa menghambat pertumbuhan ekonomi.
Danang yang juga Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut bahwa puluhan industri padat karya seperti tekstil dan garmen mengalami kebangkrutan sehingga PHK di bidang itu sudah mencapai 200 ribu karyawan dalam tiga tahun terakhir.
Deflasi karena menurunnya daya beli masyarakat dan PHK menjadi tantangan terbesar pemerintah Prabowo. Terlebih, yang tak kalah gawat menurut peneliti TII Putu Rusta Adijaya, ialah penurunan kelas menengah sebagai akibatnya.
Dalam lima tahun terakhir, BPS mencatat jumlah kelas menengah di Indonesia menurun bertahap. Pada 2019, kelas menengah Indonesia berjumlah 57,33 juta orang, sedangkan pada 2024 menjadi 47,85 juta atau berkurang 9,48 juta. Padahal pada kurun yang sama, kelas atas hanya naik 0,05 juta orang.
Artinya, kelas menengah di Indonesia mayoritas bukan “berpindah” ke atas, melainkan ke bawah, jatuh ke golongan kelas miskin, rentan miskin, atau menuju kelas menengah yang berpendapatan di bawah Rp 2 juta per bulan.
“Jadi jangan sampai kelas menengah yang sekarang ada, turun ke [kelas] menuju kelas menengah (aspiring middle class), bahkan ke kelas rentan atau miskin. Itu yang perlu dijaga pada kondisi saat ini,” terang Putu Rusta.
Dalam jangka pendek, imbuhnya, masalah daya beli, PHK, deflasi, dan penurunan kelas menengah perlu diatasi dengan jaring pengaman sosial yang diutamakan bagi kelas miskin dan kelas menengah yang terancam turun kelas.
Selain bantuan sosial, ujar ekonom Indef Tauhid Ahmad, pendapatan masyarakat mesti digenjot dengan menahan laju PHK berkolaborasi dengan industri. Pemerintah juga mesti menyediakan program jangka pendek yang menciptakan lapangan kerja besar.
“Kita harus kasih karpet merah bagi sektor atau investasi yang menyerap tenaga kerja besar. Bedakan insentif dan kebijakannya, termasuk bagaimana membangun kemitraan dengan negara luar untuk investor,” jelas Tauhid.
Cara lain ialah dengan mengurangi beban masyarakat. Menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, pada era Prabowo nanti, mestinya tidak boleh ada pungutan-pungutan yang membebani kelas menengah.
Bhima mencatat, kini sudah ada 10 rencana pungutan atau pajak yang membebani kelas menengah di Indonesia, di antaranya Tapera, asuransi third party liability, iuran BPJS Kesehatan yang hendak disesuaikan jumlahnya, hingga PPN 12%.
Utang Warisan Jokowi vs. Target Pertumbuhan Ekonomi 8%
Warisan utang yang ditinggalkan oleh pemerintahan Jokowi menjadi salah satu tantangan besar bagi perekonomian Indonesia. Hingga akhir Agustus 2024, total utang pemerintah mencapai Rp8.461,93 triliun, terdiri dari Surat Berharga Negara sebesar Rp 7.452,56 triliun dan pinjaman Rp 1.009,37 triliun.
Utang-utang tersebut akan menjadi beban pemerintahan Prabowo di mana pada 2025 akan ada jatuh tempo pembayaran utang sebesar Rp 800 triliun dan pembayaran bunga utang Rp 552,9 triliun. Jika ditotal, pemerintah mesti membayar Rp 1353,23 triliun untuk utang pada 2025 atau setara 45% dari Rp 3005,1 triliun pendapatan negara di APBN.
Hal ini menciptakan beban yang tidak kecil bagi pemerintah berikutnya, terutama dalam memenuhi kewajiban pembayaran yang bersamaan dengan berjalannya program unggulan “Quick Win” Prabowo seperti Makan Bergizi Gratis (Rp 71 triliun), pemeriksaan kesehatan gratis (Rp 3,2 triliun), pembangunan rumah sakit lengkap berkualitas di daerah (Rp 1,8 triliun), renovasi sekolah (Rp 20 triliun), sekolah unggulan (Rp 2 triliun), dan lumbung pangan (Rp 15 triliun).
“Kalau [anggaran] habis [di atas] 40% untuk bayar bunga dan utang jatuh tempo, program-program quick win Prabowo susah gerak,” ujar ekonom Celios Bhima Yudhistira.
Menurut Bhima, pemerintah baru Prabowo akan menghadapi dilema antara menjalankan program dan mencari pendanaannya, sebab jika komponen utang sudah mengambil porsi tinggi di APBN, opsi pemerintah untuk menggenjot pendapatan bisa jadi dengan memperluas dan menaikkan rasio pajak. Hal ini berpotensi saling menyandera.
Bhima menjelaskan, jika pajak dinaikkan dengan kenaikan PPN 12 persen, tentu akan menggencet kelas menengah yang justru mesti diselamatkan di tengah terpaan daya beli yang rendah akibat deflasi.
“Untuk jangka pendek, [makan bergizi gratis] kalau dipaksakan/harus dilakukan; sementara ada kebijakan lain yang lebih urgen, yang mampu mendorong pendapatan atau ekonomi masyarakat kelas menengah, kenapa [yang ini] enggak dikejar dulu,” ujar Putu Rusta.
Dunia usaha pun akan melihat beban utang negara dengan wajah negatif, sebab tingginya utang menjadi sinyal banyaknya pungutan pajak dari negara.
“Begitu kita berpikir banyak banget nih, pungutan pajak, pungutan, macam-macam yang akan dilakukan negara kepada dunia industri, maka kita akan meresponsnya dengan ya berjalan aja apa adanya gitu, nggak ada ekspansi, nggak ada reinvestasi baru,” ujar Danang.
Akibatnya, ekonomi berjalan stagnan padahal pemerintah Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% tiap tahun—cita-cita ambisius yang pada era Jokowi hanya bisa diwujudkan rata-rata 5% tiap tahunnya meski sempat menjanjikan ‘meroket’ 7%.
“Negara juga mengalami pengurangan terhadap penerimaan pajak karena dunia usaha tidak bergerak,” tambah Danang.
Para pengamat hingga dunia usaha juga memandang pesimis dengan pertumbuhan 8%. Tauhid Ahmad dari Indef mencontohkan prasyarat yang mesti dicapai yakni laju pertumbuhan kontribusi industri pengolahan terhadap PDB mesti di atas 7%, di bidang pertanian juga mesti di atas 5%. Sebagai gambaran di 2023, industri pengolahan yang jadi sumber pertumbuhan PDB terbesar saja laju pertumbuhannya hanya sebesar 4,64%.
Sedangkan dalam 10 tahun terakhir, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB mengalami penurunan dari 21,08% (2014) menjadi 18,67% (2023). Bhima melihat bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi dini alias industrinya sudah layu sebelum menjadi negara maju.
“Karena tidak ada negara yang pertumbuhan [ekonomi] tinggi sebelum melalui fase industrialisasi dulu,” terang Bhima. Danang menambahkan bahwa industri manufaktur mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Danang dan Bhima juga melihat 10 tahun ke belakang, Jokowi lebih fokus pada industri ekstraktif seperti tambang dan komoditas. Industri semacam itu dinilai akan menggantungkan nasib kepada harga pasar yang bergejolak, dan jika harga sedang rendah tentu tak bisa dijadikan sandaran.
Prabowo, menurut Bhima, mesti mencari sumber pertumbuhan baru yang keluar dari kungkungan Jokowi-nomics yang berbasis pada hilirisasi industri ekstraktif.
“Contohnya Malaysia dengan semikonduktor, Vietnam dengan energi terbarukannya luar biasa progresif. Minat investor bergeser ke Vietnam untuk komponen energi terbarukan, solar panel salah satunya,” kata Bhima.
Sementara industri manufaktur di sisi lain menurut Danang menghadapi tantangan birokratif. Misalnya, Kementerian Perindustrian menggalakkan proses produksi barang jadi di dalam negeri, tetapi di sisi lain Kementerian Perdagangan membebaskan barang jadi dari luar negeri masuk ke Indonesia.
Karenanya menurut Danang, pemerintahan Prabowo mesti bisa mengatur dan mengharmonisasikan para menterinya dalam membuat kebijakan, termasuk membendung produk impor barang jadi dan menegakkan hukum terhadap importasi ilegal. Sebab, hal itu mengancam industri pengolahan dalam negeri.
“Proses (produksi) di Indonesia relatif lebih mahal, listrik, gas, transport dan tenaga kerja. Terus pemerintah buka keran impor seluas-luasnya. Ujungnya berkompetisi dengan barang impor yang sangat murah. Bagaimana bisa berkompetisi?” ujar Danang.
Bagaimana Strategi Prabowo?
Meski banyak pihak skeptis, Prabowo tetap optimis pertumbuhan ekonomi 8%-9% akan tercapai di era pemerintahannya. Ekonom senior Dewan Pakar TKN Prabowo Gibran Dradjad Wibowo mengakui bahwa target tersebut bukan tidak mungkin dicapai meski perlu langkah berat.
Modal utamanya, menurut Dradjad, ialah kepemimpinan kuat dari Prabowo Subianto. Modal selanjutnya, pihaknya juga sudah menandai berbagai sektor ekonomi yang memiliki efek berganda pada pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
“Makanan minuman, ritel, properti. Orang membangun kan perlu tukang, semen. Itu banyak industri terkait yang akan terkena [manfaat],” kata Dradjad.
Selain itu, Dradjad menilai industri tekstil dan produk tekstil juga mesti dihidupkan lagi–meski di tengah banyaknya pabrik tutup dan PHK yang terjadi. Ia juga tetap mendorong dan memperbaiki ekspor sektor andalan seperti nikel.
Meski begitu hilirisasi di era Prabowo juga akan didorong ke sektor yang menyentuh rakyat kebanyakan seperti rumput laut dan kelapa. Prabowo, menurut Dradjad, sangat fokus kepada sektor pertanian.
“Tapi pertanian tidak akan bisa tumbuh kalau produksinya tidak naik. Jadi mau tidak mau harus produksinya naik. [Cara] produksi naik cuma 2, tanahnya ditambah dan pola tanamnya dipersering atau produktivitasnya dinaikkan,” kata Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional itu.
Pada 100 hari pemerintahan, Prabowo-Gibran juga akan langsung mengegas program-program Quick Win, termasuk Makan Bergizi Gratis. Program ini juga diharapkan menjadi penyumbang sumber pertumbuhan ekonomi.
Turunnya kontribusi industri terhadap PDB juga menjadi perhatian serius pemerintah Prabowo-Gibran. Dradjad mengatakan salah satu akar masalah yang mengganggu berkembangnya industri (yang jadi motor pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pendorong ekspor) ialah regulasi dan birokrasi.
“Jadi ada semacam kecenderungan overregulasi di Indonesia. Dan ini sudah mengganggu. Justru ironis karena kita mempunyai UU Cipta Kerja, tapi ternyata birokrasi justru mengganggu, regulasinya banyak,” katanya.
Selain regulasi yang ruwet, kebijakan pemerintah juga dinilai tidak menjamin konsistensi. Dradjad mencontohkan saat RI meminta investor asing untuk investasi mobil listrik. Namun di saat yang sama Indonesia juga menerima produk dumping mobil listrik dari negara lain.
Hal tersebut membuat reputasi investasi Indonesia buruk karena kebijakannya tidak sinkron satu sama lain. Karenanya, pemangkasan peraturan pada industri dan investor juga akan dilakukan sejak hari pertama Prabowo-Gibran menjabat untuk meraih kepercayaan investor.
“Setelah itu baru berbagai insentif [bagi industri] kita pikirkan. Feeling saya, berdasarkan pengalaman, kalau regulasi bisa kita pangkas, kebijakan konsisten, industri akan jalan sendiri,” tutupnya.
Apa tantangan ekonomi yang jadi fokus pemerintahan mendatang dan bagaimana Prabowo menggenjot pendapatan negara untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi? Akankah kelas menengah dibebani lebih banyak pungutan atau sebaliknya?
Simak selengkapnya dalam wawancara khusus Dradjad Wibowo pada artikel “Tim Ekonomi Prabowo: Selamatkan Daya Beli Warga Jadi Fokus 100 Hari Pertama” .