SHI Belum Puas dengan Nilai Penyesuaian Pendapatan Hakim, Ungkap 3 Alasannya

22 Oktober 2024 18:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perwakilan tim Solidaritas Hukum Indonesia (SHI) membawa spanduk yang bertuliskan 'Legalkan & Layakkan Gaji Hakim' saat audiensi dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Senin (7/10/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Perwakilan tim Solidaritas Hukum Indonesia (SHI) membawa spanduk yang bertuliskan 'Legalkan & Layakkan Gaji Hakim' saat audiensi dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Senin (7/10/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
ADVERTISEMENT
Tuntutan dari para hakim yang tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) terkait kenaikan gaji membuahkan hasil. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur terkait penyesuaian gaji tersebut.
ADVERTISEMENT
Peraturan yang dimaksud adalah PP Nomor 44 Tahun 2024 mengenai Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung. Diteken Jokowi selaku Presiden RI pada 18 Oktober 2024.
Juru bicara SHI, Fauzan Arrasyid, menyambut baik keputusan tersebut. Namun, pihaknya menilai PP Nomor 44 Tahun 2024 tersebut belum menyelesaikan masalah.
"Langkah awal ini merupakan capaian yang patut diapresiasi. Satu dari empat tuntutan Solidaritas Hakim Indonesia telah direspons oleh pemerintah melalui PP Nomor 44 Tahun 2024, yang mengatur kenaikan tunjangan jabatan sebesar 40 persen secara merata," ujar Fauzan kepada wartawan, Selasa (22/10).
"Namun, apakah dengan terbitnya PP Nomor 44 Tahun 2024 ini sudah menyelesaikan semua permasalahan? Jawabannya belum," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Fauzan pun membeberkan tiga alasan PP tersebut belum menyelesaikan masalah terkait tuntutan mereka.
Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: Shutterstock
Pertama, peraturan tersebut hanya mencakup kenaikan tunjangan jabatan, sementara sembilan komponen hak keuangan lainnya yang menjadi tuntutan hakim belum diatur.
"Komponen tersebut mencakup gaji pokok, fasilitas perumahan, transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan protokoler, serta penghasilan pensiun dan tunjangan lainnya," jelas dia.
Kedua, masih adanya ketimpangan kesejahteraan. Menurutnya, skema kenaikan 40 persen tersebut justru belum menyelesaikan masalah ketimpangan bagi hakim tingkat pertama, khususnya yang bertugas di Pengadilan Kelas II yang tersebar di berbagai kabupaten/kota.
"Hakim-hakim di tingkat tersebut menghadapi tantangan lebih besar, dan kebijakan saat ini belum sepenuhnya efektif untuk mengurangi beban tersebut," terangnya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, ia menilai pemerintah juga perlu memahami secara komprehensif putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2018.
Putusan itu menyatakan bahwa gaji pokok dan penghasilan pensiun hakim selaku pejabat negara perlu diatur secara terpisah dengan pengaturan gaji pokok dan pensiun pokok PNS.
Fauzan menyebut, putusan itu tak hanya sekadar mengatur pemisahan norma gaji pokok dan pensiun hakim dari Aparatur Sipil Negara (ASN), melainkan juga menuntut penetapan nominal yang lebih tinggi.
"Pemerintah terkesan hanya fokus pada pemisahan pengaturan tanpa memastikan besaran yang sesuai dengan tanggung jawab hakim," pungkas dia.
Dalam tuntutannya, para hakim mengaku sudah 12 tahun tidak mendapatkan kenaikan gaji. Mereka menuntut adanya kenaikan 142 persen nilai tunjangan dari tunjangan tahun 2012.
ADVERTISEMENT
Namun dalam PP Nomor 44 Tahun 2024, terlihat kenaikan tidak mencapai 142 persen. Seperti contohnya gaji pokok untuk hakim golongan III.a dengan masa kerja 0-1 tahun yakni 2.785.700. Sebelumnya, gaji untuk hakim golongan tersebut yakni Rp 2.064.100. Artinya ada kenaikan lebih dari Rp 700 ribu, tidak mencapai 142 persen.
Begitu juga tunjangannya. Sebagai contoh, tunjangan Hakim Pratama Rp 8.500.000 di Pengadilan Kelas II, naik menjadi Rp 11.900.000. Artinya ada kenaikan sebesar Rp 3,4 juta alias 40 persen.