Si Pitung, Bandit atau Pahlawan?

10 Februari 2019 10:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rumah Si Pitung di Cilincing Marunda, Jakarta Utara. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rumah Si Pitung di Cilincing Marunda, Jakarta Utara. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Ruang diskusi Perpustakaan Universitas Indonesia (UI Depok mendadak memanas. Sebabnya, salah satu peserta diskusi buku “Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api” karya Margret Van Till emosi. Pria bernama Hidayat itu, tak terima ketika kata ‘bandit’ dalam buku yang juga membahas jagoan Betawi, si Pitung.
ADVERTISEMENT
Hidayat bahkan nyaris adu jotos dengan moderator diskusi. Menurut pria asal Rawa Belong itu, Pitung adalah pahlawan, bukan bandit. Alhasil, diskusi pun terpaksa ditutup tanpa ada sesi tanya jawab lanjutan.
“Tadi dia terbawa ke situasi emosianal. Padahal, ini kan suatu diskusi akademis. Semuanya bisa didiskusikan,” kata sejarawan UI sekaligus salah satu narasumber diskusi, Bondan Kanumoyoso, kepada kumparan setalah kejadian.
Apalagi, menurutnya, dalam buku 'Batavia Kala Malam', sebenarnya tidak ada yang menyebutkan si Pitung sebagai bandit. Kata ‘bandit’ dalam judul, juga tidak merujuk pada sosok Pitung.
Bondan Kanumoyoso (Sejarawan UI). Foto: Prima Gerhard/kumparan
Namun, Bondan memahami sikap Hidayat. Sebab, bagi orang Betawi, Pitung adalah sosok yang begitu diagungkan. Pembela rakyat kecil, islami, dan bukan perampok biasa.
ADVERTISEMENT
“Justru Bu Margret mengatakan bahwa Pitung adalah noble out law. Orang yang bertindak di luar hukum secara terhormat,” ujar Bondan.
Gambaran suasana di atas menjadi indikasi, perdebatan soal Pitung adalah pahlawan atau bandit, masih terjadi hingga kini.
Dalam penelusuran kumparan, belum ditemukan dokumen resmi baik yang dikeluarkan oleh Belanda maupun Indonesia yang mengungkap tempa dan waktu kelahiran Pitung. Sejarawan dan Budayawan Betawi Ridwan Saidi mengatakan, asal usul dan keluarga Pitung pun tak terekam dokumen.
“Pitung eksis, ya Pitung memang ada. Tapi.dia punya binikah? Punya anakkah? enggak jelas. Lahir kapan, enggak ada. Paling bisa diperkirakan dia lahir tahun 1840-an,” jelas Ridwan saat dihubungi, Jumat (8/2).
Memang, berbagai dokumen pada masa kolonial meyakinkan bahwa Pitung eksis. Salah satunya, artikel soal si Pitung yang dimuat surat kabar ‘Hindia Olanda’ pada 18 Juni 1892.
ADVERTISEMENT
Artikel itu melaporkan, polisi Belanda menggeledah sebuah rumah seseorang bernama Bitoeng di Kampung Sukabumi, Kebayoran, Batavia.
Ridwan Saidi saat berorasi politik. Foto: Puti Cinintya Arie Safitri/kumparan
Di antara barang-barang yang ditemukan di sana yakni jas hitam, topi polisi Belanda, dan seragam. “Pakaian itu digunakan Pitung ketika menyamar sebagai polisi bersama kawan-kawannya ke kampung,” demikian petikan surat kabar ‘Hindia Olanda’ pada halaman dua.
“Dia sangat terkenal, ada beberapa cara melafalkan namanya. Suatu kali disebut Bitoeng, pada lain waktu dipanggil Pitang. Tetapi berbulan-bulan kemudian akhirnya disebut Pitung,” ungkap Margret van Till.
Namun cerita soal Pitung yang menyamar jadi polisi Belanda dianggap oleh komunitas Betawi sebagai akal-akalan. Mereka meyakini, Pitung adalah pahlawan yang merampok demi membahagiakan rakyat miskin.
“Di komunitas Betawi Pitung itu sama dengan Robin Hood, kalau di Australia Kelly. Pahlawan yang mengambil harta orang kaya untuk orang kecil,” kata antropolog Prof. Yasmin Shahab saat dihubungi kumparan, Jumat (8/2).
Pitung dalam pakaian jago pada 1930-an sedang berkelahi dengan polisi pribumi. Foto: Dok. Buku 'Batavia Kala Malam' Margreet van Till
Jago Silat atau Ahli Menembak?
ADVERTISEMENT
Ridwan Saidi mengatakan, Pitung memang menjadi musuh utama Belanda karena kerap merampok di Batavia dan Ommelanden (sekarang Bogor, Depok, Bekasi, -red). Namun, semua aksinya, tidak dilakukan dengan mengandalkan kemampuan pencak silat.
Ridwan mengatakan, tak ada dokumen yang menunjukkan bahwa Pitung memang menguasai pencak silat.
“Kalau melalui laporan Belanda, dia itu melakukan aksinya dengan menggunakan pistol,” ucapnya.
Laporan Belanda yang dimaksud Ridwan termaktub dalam Batavia Nieuwsblad terbitan 26 Februari 1930. Di sana tertulis, ketika inovasi teknologi semakin cepat, penggunaan senjata api di kalangan Pribumi turut meningkat. Terutama mulai 1850, ketika kolonialisme di Nusantara memasuki masa-masa akhir..
“Setelah kejadian pemberontakan-pemberontakan seperti Perang Diponegoro (1825-1830) banyak yang senewen. Akhirnya senjatanya dijual di pasar gelap termasuk di Batavia. Nah, Pitung beli di sana. Menurut keterangan itu enggak ada silat-silat, toh dia pakai pistol,” ungkap Ridwan.
ADVERTISEMENT
Namun, cerita yang berkembang di masyarakat Betawi agak berbeda. Pitung dianggap sebagai sosok yang menguasai ilmu bela diri pencak silat.
Pitung disebut pertama kali belajar silat di Rawa Belong, Jakarta Barat. Hal itu pun memicu tumbuhnya berbagai padepokan pencak silat di Rawa Belong.
Pitung yang menguasai pencak silat ini tidak dinafikan oleh Bondan Kanumoyoso. Da pernah menemukan sebuah jurnal karya Margreet Van Till tahun 1971 yang mengungkapkan awal mula Pitung belajar pencak silat.
“Dijelaskan bahwa Bang Pitung itu disuruh bapaknya jual kambing di Tanah Abang. Terus dia dirampok di sana. Nah pulang dari sana Pitung ditanya bapaknya mana uangnya. Dia enggak bisa jelasin tapi dia pengin mengambil uang itu. Oleh karena itu, ia belajar silat,” kata Bondan.
Rumah Si Pitung di Cilincing Marunda, Jakarta Utara. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Selain perdebatan antara jago tembak atau silat, ada juga mitos yang melekat pada Pitung. Yakni kemampuannya untuk menghilangkan diri.
ADVERTISEMENT
Bondan pernah menemukan sebuah sumber dari dokumen Belanda yang menceritakan tentang awal mula mengapa Si Pitung disebut-sebut bisa menghilang.
Suatu hari Pitung sedang bertamu di rumah seorang kawannya di Rawa Belong. Namun ia mengintip dari kejauhan, polisi Belanda terlihat gerasak-gerusuk untuk mencarinya.
Sesaat sebelum polisi Belanda yang berjumlah lima orang itu masuk ke rumah itu, Pitung pamit ke belakang. Pitung tak ingin melawan karena tak enak hati kalau terjadi kekacauan di sana.
“Pas dia ke belakang, masuklah Belanda kemudian bilang kami mencari Pitung. Mereka cari tapi enggak ketemu. Ternyata beliau naiknya ke atap rumah terus sembunyi. Itu yang menyebabkan banyak sekali kisah-kisah bahwa Bang Pitung bisa menghilang. Padahal kalau menurut logika sejarah semua bisa dijelaskan,” ucap Bondan.
ADVERTISEMENT
Pitung memang licin bak belut. Belanda begitu kesulitan untuk menangkapnya. Padahal, menurut mereka Pitung betul-betul meresahkan.
Cerita tentang Pitung yang bisa menghilang dan memakai jimat juga sempat diyakini Belanda menjadi alasan jagoan Betawi itu sulit ditangkap.
Namun pada tahun 1892, si Pitung bersama beberapa temannya akhirnya bisa diciduk polisi Belanda. Mereka disebut menerima uang ‘keamanan’ sebesar 50 ringgit dari kepala desa Kebayoran.
Hal ini yang kemudian semakin meyakinkan sebagian polisi Belanda bahwa Pitung bisa menghilang.
Namun Ridwan Saidi memiliki pandangan lain. Menurutnya, lolosnya Pitung dari penjara bukan sesuatu yang istimewa. Ia tidak yakin Pitung bisa menghilang.
“Setahu saya di tahun-tahun itu banyak juga yang kabur dari penjara. Itu karena pengawasannya lemah. Makanya kan akhirnya ditutup tuh sebagai LP. Sistemnya terlalu lemah. Jadi bukan karena dia menghilang,” ujar Ridwan.
ADVERTISEMENT
Sempat ada isu empat sipir dari Belanda terlibat dalam pelarian Pitung dan kawan-kawannya. Namun para sipir itu membantah terlibat.
Ada juga yang menyebut Pitung dapat kabur dengan bantuan dari seorang tahanan lainnya yang segan terhadapnya. Seorang tahanan itu mengaku memberikan sebuah gancu kepada Pitung.
Sementara itu dalam surat kabar Belanda ‘Hindia Olanda’ terbitan 25 April 1893, penyebab Pitung kabur terungkap.
“Namun akhirnya diketahui buronan-buronan itu ternyata menggunakan talang untuk memanjat tembok,” demikian keterangan ‘Hindia Olanda’ di buku ‘Batavia Kala Malam’.
Di balik sederet dokumen-dokumen yang dirunutkan di atas, masih ada keraguan dari para komunitas Betawi. Mereka menilai sejarah tentang si Pitung dibuat berdasarkan tafsir subjektivitas pemerintah Belanda.
ADVERTISEMENT