Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Sidang Perdana di MK: Bernadya-Raisa Curhat soal Aturan Izin Pencipta Lagu
24 April 2025 17:30 WIB
·
waktu baca 8 menit
ADVERTISEMENT
Sidang perdana gugatan yang diajukan 29 musisi Indonesia terkait UU Hak Cipta mulai disidangkan di Mahkamah Konstitusi, Kamis (24/4). Sidang perdana ini beragendakan pemeriksaan pendahuluan dengan pembacaan permohonan di hadapan Hakim.
ADVERTISEMENT
Majelis Panel Hakim yang menyidangkan permohonan ini dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan anggota Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani
Para musisi selaku Pemohon itu termasuk Bernadya, Nadin Amizah, Raisa Andriana, Tubagus Arman Maulana atau dikenal Armand Maulana, hingga Nazriel Irham atau akrab disapa Ariel. Mereka menjalani sidang diwakili oleh kuasa hukum dalam persidangan dengan perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 .
Dalam permohonannya, mereka mengajukan pengujian materi Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para penyanyi dan pencipta musik ini menyadari adanya isu hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi merugikan hak konstitusionalnya dalam norma yang diuji tersebut.
ADVERTISEMENT
“Pada intinya ingin mempertanyakan dan meminta kejelasan dan juga meminta Mahkamah Konstitusi uji materi dan memberikan penafsiran yang lebih luas mengenai beberapa hal tertentu yaitu apakah pelaku pertunjukan wajib meminta izin secara langsung kepada pencipta lagu untuk menampilkan ciptaan lagu suatu pertunjukan,” ujar Panji Prasetyo selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Pasal 9 ayat (3) berbunyi, "Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan."
Kemudian Pasal 23 ayat (5) berbunyi, “Setiap Orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif."
ADVERTISEMENT
Berikutnya Pasal 81 berbunyi, "Kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait dapat melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (21)."
Pasal 87 ayat (1) berbunyi, "Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial."
Pasal 113 ayat (2) berbunyi, "Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)."
ADVERTISEMENT
Para Pemohon menjelaskan bahwa permohonan ini berangkat dari beberapa kasus yang menimpa sejumlah musisi.
Misalnya yang dialami Agnes Monica atau lebih dikenal Agnezmo. Agnezmo digugat dan dilaporkan pidana oleh Ari Bias, pencipta dari lagu “Bilang Saja”. Sebab, Agnezmo dianggap tidak meminta izin secara langsung dan tidak membayar royalti langsung kepada Ari Bias.
Terkait perkara itu, Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun memutus gugatan tersebut dengan menghukum Agnezmo mengganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar kepada Ari Bias. Agnezmo pun dilaporkan secara pidana ke Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tuduhan pelanggaran Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta.
Musisi lainnya yang terkena permasalahan yang serupa ialah grup band The Groove, Sammy Simorangkir, dan Once Mekel yang harus meminta izin secara langsung dan membayar royalti yang tidak berdasarkan ketentuan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Menurut kuasa hukum, hal ini menjadi isu hukum dalam praktik penggunaan karya cipta. Mengingat ketentuan Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta dinilai kerap digunakan pihak-pihak lain dengan penafsiran yang berbeda sehingga mengakibatkan ketidakpastian dalam praktiknya.
Para Pemohon menjelaskan, seperti halnya dengan penggunaan hak-hak ekonomi lainnya oleh orang lain dengan seizin pencipta, dalam penggunaan hak ekonomi pertunjukannya (performing rights), pencipta tetap berhak untuk mendapatkan imbalan yang wajar berupa royalti.
Meski penggunaan hak ekonomi pertunjukan tersebut dinilai seharusnya dapat dilakukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta. Royalti tersebut harus dibayarkan oleh pengguna melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
ADVERTISEMENT
Konsisten dengan ketentuan di mana royalti untuk menggunakan hak ekonomi pertunjukan (performing rights) dibayarkan melalui mekanisme LMK.
Pasal 87 UU Hak Cipta secara lebih khusus mengatur mengenai mekanisme tersebut. Pencipta hanya dapat memperoleh hak ekonominya dan menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan hak cipta dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.
Kemudian tata kelola penghimpunan dan pendistribusian royalti secara kolektif melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) pada dasarnya bekerja dengan mekanisme di mana pengguna suatu ciptaan membayarkan royalti untuk pencipta melalui LMKN. Royalti kemudian diteruskan kepada LMK untuk didistribusikan kepada pencipta yang merupakan anggota dari LMK tersebut.
Pemungutan royalti atas performing rights dinilai sudah menjadi common practice (kebiasaan umum) bahwa penyelenggara acara pertunjukan (event organizer) bertanggung jawab sebagai pengguna untuk membayar royalti atas pertunjukan di tempat hiburan, konser, radio, stasiun televisi, restoran, dan/atau kafe.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi dari keanggotaan dalam LMK adalah beralihnya wewenang pengelolaan hak ekonomi kepada LMK yang melekat pada lembaga tersebut. Karena itu, dalam setiap tindakan hukum terkait pengelolaan, maupun penegakan hak ekonomi atas karya cipta, pencipta sudah memberikan izin digunakan ciptaannya dalam suatu pertunjukan (performing) pada saat pencipta tersebut menjadi seorang anggota LMK.
Menurut para Pemohon, sistem blanket license yang diterapkan di Indonesia sangat masuk akal. Sebab, untuk memaksimalkan nilai ekonomi, sangat tidak mungkin bagi pencipta untuk mengawasi semua pertunjukan musik yang diadakan di Indonesia.
Apalagi untuk menagih royalti performing rights satu persatu dari penggunaan yang mungkin terjadi ratusan hingga ribuan kali di waktu yang bersamaan di seluruh dunia. Dengan diterapkannya sistem blanket license tersebut, para Pemohon menilai tata kelola penghimpunan dan pendistribusian royalti dapat dilaksanakan secara berkeadilan dan berkepastian hukum.
ADVERTISEMENT
Namun, pada realitanya, para Pemohon menyebut bahwa apa yang diamanatkan dalam UU Hak Cipta belum dapat terwujud karena masih banyak timbul polemik dan gejolak. Khususnya terkait sistem perizinan dan royalti sebagai akibat dari inkonsistensi dalam pelaksanaan undang-undang dan/atau kekeliruan dalam penafsirannya.
Untuk itu, para Pemohon meminta adanya perubahan dalam sejumlah pasal UU Hak Cipta, yakni:
Pasal 9 ayat (3)
Konstitusional sepanjang dimaknai: "Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tidak memerlukan izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dengan kewajiban untuk tetap membayar royalti atas penggunaan secara komersial ciptaan tersebut."
Pasal 23 ayat 5
Konstitusional sepanjang frasa "Setiap Orang" dalam pasal tersebut dimaknai sebagai “Orang atau badan hukum sebagai Penyelenggara Acara Pertunjukan." Kecuali apabila diperjanjikan berbeda oleh pihak terkait mengenai ketentuan pembayaran royalti, Serta sepanjang dimaknai bahwa pembayaran royalti dapat dilakukan sebelum dan sesudah dilakukannya penggunaan komersial suatu ciptaan dalam suatu pertunjukan;
ADVERTISEMENT
Pasal 81
Konstitusional sepanjang dimaknai: "Untuk Penggunaan Secara Komersial dalam suatu Pertunjukan tidak diperlukan lisensi dari Pencipta dengan kewajiban untuk membayar royalti untuk Pencipta melalui LMK."
Pasal 87 ayat (1)
Konstitusional, sepanjang tidak dimaknai: "Pencipta, Pemegang Hak Cipta ataupun Pemilik Hak Terkait juga dapat melakukan mekanisme lain untuk memungut royalti secara non-kolektif dan/atau memungut secara diskriminatif."
Pasal 113 ayat (2) huruf f
Inkonstitusional dan tidak berkekuatan hukum (dihapus).
T’Koes Band Juga Ajukan Gugatan
Dalam perkara berbeda, ada permohonan serupa mengenai Hak Cipta. Permohonan perkara Nomor 37/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh grup musik Terinspirasi Koes Plus atau T’Koes Band serta Saartje Sylvia, pelaku pertunjukan ciptaan yang dijuluki sebagai Lady Rocker pertama.
T’Koes Band kerap menampilkan lagu-lagu lawas yang dulu dinyanyikan orang lain seperti Koes Plus, D’Mercys, hingga Everly Brothers dan The Beatles. Akan tetapi kemudian T’Koes Band dilarang membawakan lagu-lagu dari Koes Plus per 22 September 2023 melalui para ahli waris dari Koes Plus.
ADVERTISEMENT
Menurut Pemohon, hal tersebut membuktikan penerapan Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta telah merugikan mereka dan ketidakpastian hukum dalam memperoleh izin. Padahal, kata Pemohon, setiap pertunjukan T’Koes Band telah meminta license dan/atau membayar royalti kepada LMK di Indonesia serta melakukan pendekatan dengan menyerahkan sejumlah nominal uang tertentu kepada sebagian ahli waris Koes Plus. Walaupun diakui Pemohon mungkin tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 113 ayat (2) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Berikut beberapa perubahan yang dimintakan Pemohon:
Pasal 9 ayat (2)
Konstitusional apabila dimaknai "Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (1) huruf f tidak memerlukan izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dengan melaksanakan kewajibannya membayar Royalti kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)/Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)."
ADVERTISEMENT
Pasal 113 ayat (2) konstitusional sepanjang frasa "tanpa hak dan/tanpa izin sebagaimana Pasal 9 ayat (1) huruf f" dimaknai "bahwa Pengguna dengan iktikad buruk tidak melaksanakan kewajibannya dalam pemenuhan hak ekonomi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)/Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)".
Nasihat Hakim
Menutup sidang perdana, Hakim MK memberikan nasihat kepada apra Pemohon. Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebut bahwa para Pemohon masing-masing perkara harus menjelaskan kerugian konstitusional yang sudah dialami atau yang akan dialami akibat berlakunya norma-norma yang diuji.
Selain itu, para Pemohon juga mesti menguraikan pertentangan norma-norma yang diuji dengan batu uji yang digunakan dalam UUD NRI Tahun 1945.
“Itu harus dijelaskan, ditunjukkan kepada kami mengapa itu bertentangan dengan konstitusi. Sebab yang kami nilai pertentangannya itu,” tutur Saldi.
ADVERTISEMENT
MK memberikan waktu kepada para Pemohon untuk dapat memperbaiki permohonan dalam waktu 14 hari. Berkas perbaikan permohonan harus diterima Mahkamah paling lambat pada Rabu, 7 Mei 2025.