Sihir 3 Stanza Indonesia Raya

17 Agustus 2017 15:01 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menyanyikan Lagu Indonesia Raya pada 1930 (Foto: perpusnas.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Menyanyikan Lagu Indonesia Raya pada 1930 (Foto: perpusnas.go.id)
ADVERTISEMENT
“Kami harapkan mulai tahun ini, upacara-upacara di sekolah setiap hari Senin menggunakan lagu Indonesia Raya 3 stanza,” ujar Mendikbud Muhadjir Effendi, Senin (31/7).
ADVERTISEMENT
Sejumlah tanya pun lahir: stanza itu apa? Memang yang selama ini kita nyanyikan itu kenapa?
Hingga muncul bumbu keraguan --yang berbau nyinyir: lirik sepanjang itu, bagaimana menghafalnya? Bakal makan waktu berapa lama untuk menyanyikannya? Apakah akan ada dampaknya menyanyikan Indonesia Raya 3 stanza?
Stanza menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kumpulan larik sajak yang menjadi satuan struktur sajak, ditentukan oleh jumlah larik, pola matra, atau rima; bait.
Intinya, yang biasa kita nyanyikan setiap upacara bendera itu baru stanza pertama saja, sepertiga dari liriknya yang utuh.
Tidak ada yang salah dengan menyanyikan Indonesia Raya hanya stanza pertamanya, karena aturan memang membolehkan.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan menyebutkan, jika lagu Indonesia Raya dinyanyikan satu stanza, maka ulangan/refrain dinyanyikan dua kali.
ADVERTISEMENT
Sementara jika lagu Indonesia Raya dinyanyikan lengkap tiga stanza, maka ulangan dinyanyikan masing-masing sekali setelah bait pertama dan kedua, serta dua kali setelah bait ketiga.
Peraturan itu dipertegas kembali melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara dalam Pasal 60 dan 61.
Jadi sekali lagi, tak ada yang salah dengan menyanyikan hanya stanza pertama lagu Indonesia Raya. Pun tidak ada aturan yang menganjurkan untuk hanya menyanyikan stanza pertama. Satu atau tiga stanza hanya soal pilihan --yang lalu menjadi kebiasaan.
Tak salah pula jika ada keinginan untuk kembali mengingatkan bahwa lagu Indonesia Raya bukan hanya satu stanza yang sebagian itu saja. Masih ada dua pertiga bagian lainnya, yang sudah terlalu lama kita lupakan atau bahkan tak kita ketahui sama sekali.
ADVERTISEMENT
Perihal menghafal lagu barangkali hanya persoalan waktu dan interaksi. Itulah yang kemudian dipersiapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Kebudayan yang kini digawangi Hilmar Farid.
Mulai dari video tutorial, buku panduan, partitur, hingga situs khusus dipersiapkan demi membumikan kembali Indonesia Raya pada rakyatnya. Akses terhadap sejarah hingga pembahasan makna dan regulasi bisa diperoleh di dalamnya.
Hilmar Farid, yang juga sejarawan, menyatakan bahwa lagu Indonesia Raya merupakan salah satu sumber imajinasi kebangsaan kita. Selain itu, Indonesia Raya dalam PP Lagu Kebangsaan disebut sebagai “pernyataan perasaan nasional”.
Apakah pernyataan itu berlebihan? Lebay? Mari kita kembali menyusuri masa lalu untuk menemukan jawabannya.
Kongres Sumpah Pemuda. (Foto: perpusnas.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Kongres Sumpah Pemuda. (Foto: perpusnas.go.id)
Tahun 1928, 17 tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan dibacakan, lagu Indonesia Raya diperdengarkan. Nama Indonesia masihlah berusia muda, 15 tahun, jika dihitung sejak pertama kali digunakan oleh Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara untuk nama biro pers yang ia dirikan.
ADVERTISEMENT
Setelah hampir 10 tahun, nama Indonesia menemukan identitas nasionalnya secara politik, bukan hanya geografis. Adalah Mohammad Hatta yang pada 1922 menggunakan Indonesia sebagai nama perkumpulan pelajar dari Hindia ketika bersekolah di Belanda. Indonesia menggantikan nama Hindia Belanda yang diberikan oleh bangsa penjajah.
Kehendak merdeka, lepas dari cengkeraman penjajah, disertai imajinasi sebagai kesatuan negara-bangsa yang utuh barulah mulai muncul saat itu. Sebelumnya, perjuangan kemerdekaan masih rapuh karena terpisah, terpecah belah berdasarkan suku atau daerah.
Wage Rudolf Supratman (Foto: Kemdikbud.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Wage Rudolf Supratman (Foto: Kemdikbud.go.id)
28 Oktober 1928, Kongres Pemuda II, menjadi momentum di mana semua perkumpulan pemuda melebur, bersumpah sebagai bangsa yang satu. Indonesia Raya pun menemukan gongnya.
W.R. Supratman, mantan pemusik klub jazz di Makassar yang baru empat tahun kembali ke Jawa, datang menghampiri ketua rapat Kongres Pemuda, Soegondo Djojopoespito. Ia menceritakan perihal gubahannya dan meminta izin untuk diperbolehkan memainkan lagu ciptaannya tersebut. Panitia kongres akhirnya menyetujui bahwa Kongres Pemuda II akan ditutup oleh lagu ciptaan Supratman.
ADVERTISEMENT
Supratman pun maju. Wartawan koran Sin Po yang baru berusia 25 tahun itu perlahan membunyikan lagu Indonesia Raya pertama kalinya hanya dengan gesekan biola. Tanpa lirik lagu.
“Atas pertimbangan Soegondo, demi menghindari represi oleh agen-agen kolonial yang terus memantau keseluruhan acara, lagu itu sengaja tidak dinyanyikan,” tulis Dirdho Adithyo dan I Gusti Agung Anom Astika dalam buku Bunyi Merdeka.
Meski begitu, semua peserta tahu isi lagu yang dimainkan oleh wartawan muda itu karena lirik lagu telah dibagikan lebih dulu. Usai kongres, lagu bernada mars itu menjadi siulan yang melekat di mulut para pemuda.
Indonesia Raya menjadi negeri impian yang terbayangkan dan kemudian diperjuangkan.
Secara resmi, lirik lagu Indonesia Raya disebarkan melalui Koran Sin Po, tempat WR Supratman bekerja. Sehingga dengan cepat ia menyebar, menjadi wabah penyebar nilai kebangsaan yang mengkhawatirkan bangsa kolonial.
Lagu Indonesia Raya (Foto: perpusnas.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Lagu Indonesia Raya (Foto: perpusnas.go.id)
Lagu Indonesia Raya (Foto: perpusnas.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Lagu Indonesia Raya (Foto: perpusnas.go.id)
Pada 1930, dengan resmi Pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang melarang lagu Indonesia Raya untuk dinyanyikan. Indonesia Raya dianggap lagu subversif dan rust en orde, mengganggu “ketenangan dan ketertiban”.
ADVERTISEMENT
Mereka khawatir dan ketakutan, lagu tersebut bisa memicu semangat kemerdekaan atau pemberontakan terhadap pemerintah yang sah.
Atas dasar itu pula Supratman kemudian ditangkap dan diinterogasi oleh pemerintah kolonial. Pelarangan itu memicu protes dan perdebatan hingga ke Volkskraad, semacam dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda. Tapi Supratman tak gentar.
Dalam menyuarakan cita-cita kemerdekaan, Supratman tak hanya berhenti pada gubahan musik. Ia juga menulis novel berjudul Perawan Desa yang ditulis dan diterbitkan pada 1929, yang kemudian disita dan dimusnahkan oleh aparat pemerintah Belanda.
Sepuluh tahun setelah Indonesia Raya berkumandang dan menyatukan, WR Supratman meninggal dunia pada 17 Agustus 1938. Sebelum wafat, Supratman menulis surat, “Selamat tinggal tanah airku. Tanah tumpah darahku Indonesia, tanah berseri. Tanah yang aku sayangi. Selamat tinggal bangsaku!”
ADVERTISEMENT
Surat yang ditulisnya untuk negara yang merdeka tujuh tahun kemudian.
Tahun berikutnya, Indonesia Raya ditetapkan sebagai lagu persatuan. “Gapi (Gabungan Politik Indonesia) dalam kongresnya tanggal 23-25 Desember 1939 menetapkan bahwa lagu WR Supratman itu menjadi lagu persatuan,” cerita Maman S. Mahayana, penulis buku Jalan Puisi yang juga pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia kepada kumparan (kumparan.com), Selasa (7/8).
Selain itu, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Sukarno menetapkan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan.
Lagu Indonesia Raya pernah mengalami beberapa kali perubahan. Buku Bunyi Merdeka menyebutkan, “Syair yang pertama kali dibuat oleh Soepratman juga sudah diubah beberapa kali, sesuai dengan kebutuhan artistik dan politik.”
“Perubahan pertama itu, kata ‘merdeka’ nggak boleh ada. Jadi di situ dimunculkan ‘Indones Indones’. Karena itu larangan dari pihak pemerintah Belanda,” ujar Maman S. Mahayana. Perubahan selanjutnya terjadi setelah Supratman meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Sukarno meminta Kusbini untuk membentuk sebuah panitia guna menyempurnakan lagu dan syair Indonesia Raya agar dapat menjadi lagu kebangsaan. Pada 8 September 1944 dibentuklah Panitia Lagu Kebangsaan yang terdiri dari:
1. Sukarno 2. Ki Hadjar Dewantara 3. Achiar 4. Bintang Sudibyo 5. Darmajaya 6. Kusbini 7. Kyai Haji Mansyur 8. Muhammad Yamin 9. Sastromulyono 10. Sanoesi Pane 11. Cornel Simandjuntak 12. A. Subardjo 13. Utoyo
Panitia Lagu Kebangsaan itu kemudian menetapkan sebuah peraturan dan perubahan terhadap lagu Indonesia Raya.
1928
Kuplet I Menjaga pandu ibuku Kebangsaan tanah-airku Bangsaku, jiwaku semua Bangunlah, rakyatnya Bangunlah, bangsanya
ADVERTISEMENT
Kuplet II Disanalah aku hidup Marilah kita berseru Indonesia bersatu
Kuplet III Menjaga ibu sejati Selamatlah rakyatnya Selamatlah putranya Pulaunya, lautnya semua
1944
Kuplet I Jadi pandu ibuku Bangsa dan tanah airku Bangsaku, rakyatku sem’wanya Bangunlah jiwanya Bangunlah badannya
Kuplet II Disanalah aku berada Marilah kita mendoa Indonesia bahagia
Kuplet III Njaga ibu sejati S’lamatlah rakyatnya S’lamatlah putranya Pulaunya, lautnya sem’wanya
Indonesia Raya, yang diciptakan Supratman kemudian tak menjadi sekadar suara personal atau perkumpulan. Ia adalah jelmaan, pernyataan perasaan yang mewakili seluruh rakyat Indonesia bersatu melawan kekuatan kolonial penjajahan.
Sejak awal lagu dinyanyikan, “Indonesia tanah airku tanah tumpah darahku”, janji kebangsaan untuk menjaga Indonesia ditegaskan. Kekuatan lagu Indonesia Raya dibuktikan dalam sejarah.
ADVERTISEMENT
Tak ada lagu kebangsaan lain yang mampu menggetarkan sanubari rakyat, membangun imaji Indonesia merdeka, hingga membuat gentar pemerintah kolonial, seperti Indonesia Raya. Terlebih sepeninggal Supratman, hampir tak ada lagu kebangsaan lain muncul hingga datang era Kusbini dan kawan-kawan.
Perubahan Lagu Indonesia Raya (Foto: Ridho Robby/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Perubahan Lagu Indonesia Raya (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Upaya memperkenalkan, mengingatkan kembali lagu Indonesia Raya rasanya bukan satu hal yang aneh ataupun baru. Terlebih, titik tekannya bukan pada menghafal dan merapal lagu, tetapi memaknai kembali dan mendekatkan simbol kebangsaan dalam pendidikan.
“Adanya cerita sejarah itu menjadi penting, sehingga lagu yang biasa kita nyanyikan itu jadi punya dimensi yang sangat berbeda ketika diberi ‘kedalaman’,” papar Hilmar Farid.
Oleh karena itulah materi sejarah, pemaknaan kata per kata, hingga nilai musikalitas lagu Indonesia Raya disediakan kembali dan bisa kamu akses di sini. Sehingga Indonesia Raya bukan hanya menjadi seremoni, tetapi mengundang kontemplasi.
ADVERTISEMENT
Apalagi kini merawat kemerdekaan dan imaji sebagai negara kesatuan, sebagai rumah bagi segala perbedaan, tengah menghadapi tantangan.
Jika lagu Adele bisa membuat banyak anak muda menikmati kegalauan, mengapa tidak Indonesia Raya, satu stanza atau tiga stanza, membuat anak sekolah dan kita memaknai kembali nilai kebangsaan?
Umar Patek menjadi pengibar bendera (Foto: Antara/Umarul Faruq)
zoom-in-whitePerbesar
Umar Patek menjadi pengibar bendera (Foto: Antara/Umarul Faruq)
Untuk anda yang punya cerita menarik seputar riwayat Proklamasi Kemerdekan Indonesia, atau #Momentum72 tahun Indonesia merdeka saat ini, atau bahkan soal perlombaan 17 agustusan unik di lingkungan sekitar, sila berbagi cerita via akun kumparan.
Jika belum punya akun kumparan, bisa buat dengan mudah. Klik panduan berikut: Q & A: Cara Membuat Akun & Posting Story di kumparan
Jangan lupa masukkan topik Momentum 72 saat mem-publish story ;)
ADVERTISEMENT
------------------------
Ikuti kisah-kisah mendalam lain dengan mem-follow topik Liputan Khusus di kumparan.