Sindir Kunjungan Jokowi ke Ukraina Tahun Lalu, Anies: Polugri Kita Transaksional

8 November 2023 17:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bacapres Koalisi Perubahan, Anies Baswedan, berbicara soal arah dan strategi politik luar negeri di CSIS Auditorium, Pakarti Center, Jakarta Pusat, Rabu (8/11/2023). Foto: Haya Syahira/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bacapres Koalisi Perubahan, Anies Baswedan, berbicara soal arah dan strategi politik luar negeri di CSIS Auditorium, Pakarti Center, Jakarta Pusat, Rabu (8/11/2023). Foto: Haya Syahira/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bakal Calon Koalisi Perubahan, Anies Baswedan, memandang politik luar negeri (polugri) Indonesia saat ini bersifat transaksional — bukan berdasarkan nilai atau kesadaran masing-masing sebagai warga dunia.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks itu, Anies memberi contoh kunjungan Presiden Joko Widodo ke Rusia dan Ukraina pada Juni 2022. Inisiatif Jokowi untuk membawa perdamaian di antara kedua negara tersebut menuai pujian luas, bahkan menjadikannya pemimpin Asia pertama yang melakukan hal demikian di tengah invasi Rusia ke Ukraina.
Hal ini tercantum dalam paparan Anies di panel diskusi 'Pidato Calon Presiden Republik Indonesia: Arah dan Strategi Politik Luar Negeri' yang diselenggarakan oleh lembaga penelitian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta Pusat, Rabu (8/11).
Anies menjelaskan perihal adanya kecenderungan bahwa masyarakat Indonesia tidak terdidik untuk menyadari posisinya sebagai warga dunia — melainkan memandang dirinya sebagai warga setempat saja.
Oleh sebabnya, kata Anies, politik luar negeri yang selama ini dianut Indonesia cenderung bersifat transaksional dan mengejar keuntungan saja.
ADVERTISEMENT
"Berbagai pihak menilai, bahwa selama ini politik luar negeri kita masih bersifat transaksional. Artinya Indonesia bergerak ketika politik luar negeri memberikan keuntungan investasi, keuntungan perdagangan, dan bukan sebagai tanggung jawab sebagai warga dunia," ungkap Anies.
"Kita mengejar kepentingan sempit di dalam berhubungan internasional. Bahkan ketika kita lihat peristiwa invasi ke Ukraina dan kita hadir ke sana, maka kita bicaranya pun mengamankan mata rantai supply pangan kita gitu. Lha, ini kan lebih besar daripada soal pasokan pangan, begitu," tambahnya.
Bacapres Koalisi Perubahan, Anies Baswedan, berbicara soal arah dan strategi politik luar negeri di CSIS Auditorium, Pakarti Center, Jakarta Pusat, Rabu (8/11/2023). Foto: Haya Syahira/kumparan
Eks Gubernur DKI Jakarta itu menekankan pentingnya partisipasi Indonesia dalam pertemuan pemimpin global — bukan hanya sekadar menjadi penonton.
"Pertemuan pemimpin global tahunan kita di mana di situ? Kita harus kembali hadir di sana dan harus membawa pesan 'kami warga dunia dan penduduk nomor empat terbesar di dunia demokrasi salah satu terbesar di dunia punya agenda untuk dunia yang harus jadi perhatian'. Jadi kami melihat ini masalah ini kalau kita transaksional seperti ini," tegas Anies.
ADVERTISEMENT
"Indonesia tidak boleh lagi menjadi penonton di samping, Indonesia sudah harus aktif, dan Indonesia harus di recognize bukan hanya sebagai negara besar — tapi juga sebagai negara yang bisa menjadi referensi," jelasnya.
Anies mengungkapkan, ketika terpilih dalam pemilu 2024 nantinya Koalisi Perubahan membayangkan akan ada pergeseran paradigma politik luar negeri yang transaksional menjadi sesuatu yang berdasar pada nilai.
"Jadi kami membayangkan ke depan ada pergeseran paradigma dari yang lebih transaksional, lebih melihat ini sebagai hubungan yang bisa serba dihitung — tapi ini sesuatu yang value-based smartpower, istilah yang kami gunakan," ucap Anies.
Sehubungan dengan misi itu, Koalisi Perubahan yang dipimpin Anies dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) berupaya menggeser kebijakan transaksional tersebut menjadi kebijakan berbasis nilai (value).
ADVERTISEMENT
Kemudian, dari kebijakan itu maka akan diwujudkan gaya diplomasi dari yang pragmatis menjadi lebih cerdas (smartpower) berbasis nilai sebagai pegangannya.
"Kalau kita punya nilai, itu pegangan. Seorang yang tidak memegang nilai, dia tidak punya kompas. Kalau tidak punya kompas, dia tidak akan ada pegangan mana benar mana salah, mana sesuatu yang bisa mana yang jangan," tutur Anies.
"Tapi kalau kita tidak pegang nilai, maka potensinya kita melakukan kompromi lalu off dari track tanpa kita sadari. Itu kenapa menjadi penting," tutup dia.