Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Singgung 'Kardus Durian', Firli Bahuri Dinilai Jadikan KPK Alat Manuver Politik
29 Oktober 2022 15:27 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Ketua KPK Firli Bahuri dinilai mulai bermanuver politik. Bahkan, Firli dinilai menggunakan KPK sebagai alat untuk bermanuvernya tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal itu tak terlepas dari penyataan Firli Bahuri yang menyinggung kasus 'kardus durian'. Kasus pada 2011 yang sempat menyeret nama Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Saat ini, Cak Imin ialah Ketum PKB.
"Beberapa waktu yang lalu Firli Bahuri secara tiba-tiba kembali mengungkit desas desus perkara OTT lama yang terjadi tahun 2011 'Kardus Durian' yang diduga melibatkan pimpinan partai politik tertentu menjelang pemilu," kata Ketua IM57+ Institute, Mochamad Praswad Nugraha, dalam keterangannya kepada wartawan, Sabtu (29/10).
Praswad menilai pernyataan tersebut memperlihatkan Firli Bahuri yang secara terbuka menggunakan KPK masuk ke dalam ranah politik.
"Statement yang seolah-olah heroik dan tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum dan memberantas korupsi. Namun jika lebih jeli kita cermati, hal ini mencerminkan Firli Bahuri semakin tidak malu-malu lagi untuk menggunakan KPK agar dapat masuk ke dalam ranah politik," ujar mantan penyidik KPK ini.
ADVERTISEMENT
"Menunjukkan indikasi keberpihakan dengan afiliasi politik tertentu, dan secara tiba-tiba mengungkit kasus 11 tahun yang lalu, sementara kasus-kasus mega korupsi yang di depan mata seolah-olah lenyap menghilang," sambungnya.
Praswad menyebut bahwa KPK seharusnya merupakan yang independen. Namun, bila penanganan perkara dilakukan berdasarkan atas pesanan, maka unsur terpenting dalam penanganan perkara, yaitu objektivitas, akan menghilang.
Akibatnya, akan muncul perlakuan yang tidak adil dalam penanganan perkara.
"Satu kasus yang masih sangat jauh pembuktiannya seperti terburu-buru dan berpura-pura tegas secara terus menerus didengung-dengungkan oleh Firli Bahuri untuk ditindaklanjuti oleh KPK, sedangkan kasus yang sudah jelas-jelas terbukti dan sudah berkali-kali diajukan sprindik pengembangan perkaranya dibiarkan terbengkalai," papar Praswad.
"Itu semua tidak bisa dilepaskan dari motif adanya keterkaitan partai dan aktor politik tertentu. Korupsi bansos adalah contoh nyata tidak adanya tindak lanjut padahal buktinya sudah terang benderang untuk ditindaklanjuti," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Praswad merupakan salah satu penyidik kasus Bansos saat masih bertugas di KPK. Namun, ia menjadi bagian dari 57 pegawai KPK yang dipecat Firli Bahuri karena Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
"Bila hal ini terus dibiarkan, KPK akan menjadi alat manuver politik yang sangat berbahaya. KPK dengan segala kewenangan dan perangkatnya dapat digunakan untuk mengkriminalisasi dan menyandera para pimpinan partai politik untuk kepentingan 2024, dan ini merupakan kiamat demokrasi bagi Indonesia. KPK dijadikan alat menggebuk lawan politik," pungkas Praswad.
Belum ada tanggapan dari Firli Bahuri atas pernyataan IM57+ Institute itu.
Beberapa waktu lalu, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan kasus 'kardus durian' menjadi salah satu kasus yang menjadi perhatian. Ia pun berjanji perkembangan perkara akan disampaikan kepada publik.
ADVERTISEMENT
Hal itu disampaikan Firli Bahuri menjawab pertanyaan wartawan mengenai apakah KPK sedang membuka kembali pengusutan kasus tersebut.
"Terkait perkara lama tahun 2014, kalau tidak salah itu yang disebut dengan kardus durian gitu, ini juga menjadi perhatian kita bersama," kata Firli kepada wartawan, Kamis (28/10).
Namun, Firli tidak menjelaskan lebih lanjut soal kalimatnya tersebut. Sebab, tiga pelaku dalam kasus tersebut sudah dihukum dan perkaranya pun sudah inkrah sejak sekitar 10 tahun lalu.
Kasus ini berawal dari OTT pada 2011 lalu, terkait dugaan suap Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans).
Dimulai ketika KPK menangkap 3 orang dalam OTT pada Desember 2011. Ketiganya ialah I Nyoman Suisnaya selaku Sesditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (P2KT), Dadong Irbarelawan selaku Kabag Perencanaan dan Evaluasi Kemenakertrans, dan Dharnawati dari PT Alam Jaya Papua.
ADVERTISEMENT
Dalam penangkapan itu, KPK mengamankan barang bukti uang Rp 1,5 miliar dalam kardus durian. Uang Rp 1,5 miliar itu diamankan dari Gedung Kemenakertras. Ini yang kemudian mencuatkan kasus dengan nama kasus kardus durian.
Suap itu disebut untuk mempercepat pencairan dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah transmigrasi (PPIDT) di 19 kabupaten/kota yang dilaksanakan 2011. Nilai proyek itu mencapai Rp 500 miliar dan berasal dari APBN 2011.
Muhaimin Iskandar atau akrab disapa Cak Imin terseret dalam kasus ini. Sebab, uang Rp 1,5 miliar itu diduga ditunjukkan untuk Cak Imin yang ketika itu ia menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Namun, Cak Imin dengan tegas membantah dirinya terlibat dalam kasus itu. Ia menjamin dirinya tidak ada sangkut pautnya dengan suap itu.
ADVERTISEMENT
"Penyuapan yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan saya. Tidak ada perintah dari saya, tidak ada pembicaraan langsung maupun tidak langsung dari saya," kata Cak Imin pada (3/10/2011) usai diperiksa KPK.
Namun, kala itu, KPK meyakini Cak Imin merupakan pihak yang dituju untuk pemberian uang tersebut. KPK kemudian mencantumkannya dalam tuntutan Suisnaya dan Dadong.
Meski demikian, hal tersebut tidak termuat dalam putusan hakim pada 2012 lalu. Kasasi yang diajukan KPK pun belakangan ditolak.
Wasekjen PKB, Syaiful Huda, menegaskan partainya tidak terpengaruh atas pernyataan KPK tersebut.
"Enggak ada, saya pastikan enggak ada. Kami anggap peristiwa kemarin itu sebagaimana peristiwa gangguan ke Anies soal itu, Ganjar soal e-KTP, itu biasa saja," kata Huda kepada wartawan, Sabtu (29/10).
ADVERTISEMENT
Saat disinggung soal adanya pihak tertentu yang mencoba memainkan isu 'kardus durian' terkait Cak Imin, Huda menyebut hal itu gampang untuk ditelusuri. Namun, ia tak menjelaskannya lebih lanjut.
"Kira-kira dalam akuarium politik begini mudah sekali itu," kata Huda sambil tertawa.