Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Gagal dengan Partai SRI tak membuat Nono jauh dari politik. Ia ikut tim sukses Jokowi pada Pemilu 2014. Pokoknya, ia sudah pernah mengalami dinamika pemilu di Indonesia, termasuk menelan pil pahit dalam sistem itu.
Pahit bukan cuma dirasa Nono dan Riyanto, tapi juga kawan-kawan mereka yang kebetulan satu almamater di Universitas Indonesia. Mereka semua resah dengan situasi politik di Indonesia dan kerap berdiskusi soal pemilu dalam forum kecil.
Bergabung dalam forum diskusi itu Yuwono Pintadi, eks kader NasDem yang berniat nyaleg; Fahrurrozi, kader NasDem yang gagal nyaleg karena tak punya cukup biaya untuk mengerek elektabilitas dan membiayai kampanye; Demas Brian Wicaksono, kader PDIP di Banyuwangi yang ingin nyaleg tapi pesimistis karena tak populer dan tak punya banyak duit; Ibnu Rachman Jaya, pengajar yang mencita-citakan kebijakan politik sesuai nilai-nilai Pancasila; serta Sururudin, pengacara yang kemudian membantu mereka mengajukan gugatan sistem pemilu.
Nono dkk. kecewa melihat semakin maraknya caleg yang berlatar belakang artis dan pengusaha, mulai tingkat DPR sampai DPRD. Sementara orang-orang yang berlatar belakang akademik dan punya program politik lebih baik justru kerap gagal.
Caleg dengan kualitas lebih baik tapi kurang populer dan kurang duit pun tak bisa berkutik dalam pemilihan langsung. Singkat kata, menurut mereka, sistem pemilu terbuka saat ini lebih banyak melahirkan orang-orang yang tak kompeten duduk di badan legislatif.
Sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif yang dianut Indonesia saat ini didasarkan pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008. Kala itu, sistem proporsional tertutup digugat karena menuai kritik. Rakyat tidak tahu siapa caleg-caleg yang akan lolos ke parlemen karena mereka hanya memilih partai.
Kini, Nono dkk. melakukan hal sebaliknya. Mereka ingin mengembalikan sistem ke proporsional tertutup seperti dahulu karena sistem terbuka mereka nilai punya banyak kelemahan.
“Demas sebagai orang yang aktif di parpol sekarang sulit [menjadi caleg]. Meski orang lokal, kalau mau maju caleg tapi profesinya dosen, juga sulit. Mencalonkan diri butuh duit banyak. Akhirnya mereka (pemohon gugatan) merasa sistem pemilu ini perlu dikritisi,” ujar Sururudin, kuasa hukum penggugat, kepada kumparan di kantornya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (22/2).
Mereka pun sepakat melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi melalui nomor perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022. Saat ini sidang gugatan mereka sampai pada tahap pengucapan putusan. Mereka berharap MK mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Daulat Rakyat vs Daulat Parpol
Sistem proporsional tertutup merupakan skema pemilihan umum yang hanya menyediakan gambar partai bagi pemilih, tanpa daftar nama caleg. Dengan sistem pemilu ini, partai yang memutuskan siapa caleg yang akan duduk di kursi legislatif berdasarkan nomor urut.
Melalui sistem proporsional tertutup, caleg di nomor urut kecil (1, 2, 3) berpeluang lebih besar lolos ke parlemen. Daftar nomor urut berisi nama caleg tersebut diserahkan parpol ke KPU saat masa pendaftaran caleg.
Sistem ini dipakai pertama kali ketika Indonesia menggelar pemilu perdana pada 1955, dan dipertahankan hingga Pemilu 1999. Terbitnya UU 12/2003 tentang Pemilu membuat sistem pemilu berubah menjadi proporsional terbuka bersyarat yang diterapkan di Pileg 2004. Barulah pada Pileg 2009, sistem pemilu benar-benar menjadi proporsional terbuka.
Komisioner KPU RI periode 2012-2017, Hadar Nafis Gumay, menyatakan sistem pemilu proporsional tertutup akan memberikan kekuasaan penuh kepada partai politik (parpol) untuk memilih caleg akan lolos ke parlemen. Calon-calon 'favorit' parpol ini yang kerap ditaruh di nomor urut teratas.
“Mungkin dia anaknya ketua partai, mungkin dia ketua partai di wilayah situ, atau orang baru tapi ngasih duit banyak. Seringkali parpol tidak punya mekanisme demokratis menentukan itu [nomor urut], lebih oligarki yang menguasainya, sehingga yang ditaruh adalah elite-elitenya saja,” kata Hadar pada kumparan di Jakarta, Selasa (21/2).
Hadar berpendapat, daulat yang diberikan ke parpol untuk menentukan siapa caleg terpilih bisa menggerus ikatan antara caleg dan pemilih. Sebab tak jarang pemilih kecewa dengan partai yang dicoblosnya lantaran caleg yang dikirim ke parlemen bukan yang dikehendaki.
“Lebih parahnya sering kali saya pilih partainya, terapi ternyata yang jadi [caleg] adalah orang yang enggak kami sukai,” kata Hadar.
Berbeda dengan sistem proporsional terbuka. Sistem tersebut memberikan daulat kepada rakyat untuk memilih caleg yang dikehendaki. Ini sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan di tangan rakyat.
"Dengan sistem proporsional terbuka, suara dari para pemilih menjadi penentu," kata Hadar.
Selain itu, sistem proporsional terbuka mampu memunculkan relasi antara caleg dan konstituennya. Sehingga ketika caleg terpilih duduk di parlemen, pemilihnya bisa menagih janji yang pernah disampaikan ketika masa kampanye.
"Waktu terpilih dia [caleg] akan merasa punya tanggung jawab untuk merealisasikan apa yang dijanjikan. Di sisi lain rakyatnya akan merasa dulu saya pilih dia, saya akan tagih orang ini. Ini kelebihan sistem proporsional terbuka," ucap Hadar.
Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, Andi Mallarangeng, menilai jika Mahkamah Konstitusi (MK) nantinya memutuskan Pileg 2024 memakai skema proporsional tertutup, maka hal itu akan menjadi kemunduran demokrasi.
Sebab berdasarkan pengalamannya, sistem proporsional tertutup memunculkan egoisme di parpol tanpa mempertimbangkan kehendak rakyat. Suara parpol yang akan mempunyai kekuatan penuh dalam pemilihan umum.
Pada akhirnya, parpol hanya mengincar kursi terbanyak tanpa memperhatikan relasi caleg dengan rakyat.
“Yang penting bahwa partainya itu dapat kursi, dapat suara. Dapat kursi karena yang dicoblos partai,” kata Andi saat ditemui di kediamannya, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (23/2). Andi merupakan anggota KPU di Pemilu 1999.
Andi menambahkan, daulat parpol yang begitu dominan di sistem proporsional tertutup membuat caleg sibuk mendekati elite-elite parpol untuk mendapat nomor urut teratas, ketimbang menyampaikan gagasannya ke masyarakat.
Sebaliknya, Andi menganggap sistem pemilu proporsional terbuka lebih fair. Persaingan antar caleg dalam meraih suara rakyat dilakukan dengan cara mempromosikan program kerjanya ketika berkampanye. Caleg dengan nomor urut besar juga memiliki kesempatan lolos ke parlemen apabila mendapat suara terbanyak.
Andi menangkal argumen yang menyebut sistem pemilu proporsional terbuka mengotori lingkungan akibat baliho yang terpampang di beragam tempat umum. Menurutnya, masalah banyaknya baliho tidak akan hilang meski dengan sistem proporsional tertutup.
“Bedanya sekarang [dengan sistem proporsional terbuka] yang Anda lihat caleg-caleg. Nanti kalau (sistem) tertutup, baliho-baliho gambar partai di mana-mana," ucap Andi.
Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, berpendapat pada dasarnya setiap sistem pemilu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tidak ada sistem pemilu yang sempurna.
Kelebihan sistem pemilu proporsional terbuka, kata Denny, yaitu membuat rakyat leluasa memilih langsung caleg untuk duduk di kursi dewan. Dari sisi caleg, dengan sistem proporsional terbuka, mereka akan lebih maksimal dalam berkomunikasi dengan rakyat.
Namun, kekurangan sistem proporsional terbuka adalah menghadirkan pasar bebas. Semisal caleg partai A tandem kampanye dengan caleg partai B di daerah tertentu, lalu di wilayah lain tandem dengan caleg partai C.
“Pasar bebas menjadikan mesin partai menjadi tidak punya kendali lebih besar kepada anggota legislatif kader-kadernya,” jelas Denny yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia era SBY.
Sementara mengacu pada data di Pemilu 2019, KPU menyatakan pemilih mayoritas mencoblos nama caleg dibanding logo partai. Tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu 2019 mencapai 82%.
“Dari 82% tersebut pemilih mencoblos nama calon anggota legislatif sebanyak 75% dan pemilih mencoblos lambang partai itu 25%," kata Komisioner KPU Idham Holik kepada kumparan, Kamis (23/2).
Biaya Pemilu Tertutup Lebih Murah?
Pro kontra mengenai sistem pemilu juga merembet ke biaya. Sistem proporsional tertutup dinilai lebih irit dana karena desain surat suara lebih simpel.
Surat suara cukup berisi lambang partai, tanpa perlu memasukkan daftar nama caleg. Alhasil, satu desain surat suara bisa digunakan di berbagai daerah dan distribusi logistik bisa semakin mudah.
"Kalau pemilunya nyoblos tanda gambar, cost-nya tidak mahal, murah meriah, dan anggota yang terpilih punya bobot," ujar Ketua DPP PDIP Said Abdullah.
Sedangkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, menyatakan biaya sistem pemilu proporsional tertutup bisa lebih hemat. Ia mencontohkan Pemilu 2004. Padahal Pemilu 2004 sudah menerapkan sistem proporsional terbuka di mana di surat suara tercantum daftar nama caleg.
"Belajar dari Pemilu 2004 dengan Pemilu Legislatif, Pilpres I, dan Pilpres II biaya hanya kurang lebih Rp 3,7 triliun,” kata Hasto di Banda Aceh, Februari 2022.
Hadar mengakui biaya sistem pemilu proporsional tertutup memang lebih murah. Meski demikian, menurut Hadar, pembahasan sistem pemilu tidak tepat apabila hanya dilihat berdasarkan biaya.
"Jangan menurunkan nilai perdebatan suatu sistem pemilu terhadap persoalan logistik, biaya, makna sistem itu tinggi," ucap Hadar.
Informasi yang diterima kumparan, KPU telah melakukan simulasi berapa biaya yang dibutuhkan jika sistem proporsional tertutup diterapkan. Simulasi tersebut sudah dijabarkan dalam jawaban tertulis ke MK terkait gugatan sistem pemilu.
Dari simulasi itu, sistem tertutup dinilai mampu menghemat biaya hingga 70%. Artinya jika anggaran pemilu 2024 yang masih dengan sistem terbuka mencapai Rp 76 triliun, maka dengan sistem tertutup, biaya yang dibutuhkan hanya sekitar Rp 23 triliun.
Politik Uang: Apakah Berkurang Bila Sistem Pemilu Tertutup?
Dalam gugatan UU Pemilu yang dilayangkan keenam pemohon, salah satu poin yang turut menjadi pertimbangan adalah makin masifnya politik uang.
Kuasa hukum pemohon, Sururudin, menyebut sistem proporsional terbuka membuat biaya politik makin mahal. Sebab caleg berupaya 'membeli' suara pemilih dengan melakukan politik uang.
“Kalau mau caleg (tingkat) kabupaten di provinsi kecil minimal (butuh) Rp 5 miliar. waktu berkuasa gimana cara balikin, itu makanya banyak orang korupsi,” jelas Sururudin.
Menanggapi argumen sistem pemilihan terbuka yang menimbulkan politik uang ini, Denny punya alasan. Menurutnya, tak ada sistem pemilihan yang tidak bebas dari politik uang.
Mungkin dalam skema proporsional tertutup caleg tidak akan jor-joran melakukan politik uang ke pemilih demi meraih suara rakyat. Namun, politik uang justru beralih ke internal partai karena caleg berebut menduduki nomor urut teratas.
“Jadi dia bisa beli nomor urut, dia lebih menyetor dananya ke partai politik, elite, untuk bisa mendapatkan nomor urut satu,” ucap Denny.
Menurut Denny, meminimalisir politik uang harus dengan memperkuat penegakan hukum.
“Bagaimana Bawaslu dan penegak hukum lebih efektif berikan sanksi bagi pelaku tindak pidana politik uang, bukan mengubah sistem pemilu,” terang Denny.
Sementara itu, Andi mengusulkan satu skema untuk mengurangi penggunaan biaya politik yang berlebihan. Ia menyebutnya dengan skema reformasi pendanaan kampanye (Campaign Finance Reform).
Melalui skema ini maka setiap parpol akan mengelola biaya kampanye mereka secara mandiri. Artinya setiap suara yang akan diperoleh tak serta merta mampu dibeli para oligarki dan konglomerat. Harus ada aturan yang membatasi biaya kampanye politik.
Selain itu, sistem pendanaan kampanye ini mirip dengan yang pernah dijalankan Amerika Serikat (AS). Bahwa setiap kandidat caleg mendapat sumbangan langsung dari warga secara sukarela. Namun, parpol yang mampu menggalang dana sukarela mendapat insentif melalui pemerintah.
“Misalnya, Obama pada waktu kampanye presiden rata-rata sumbangan yang diterima adalah rata-rata USD 27 sumbangan. Tapi datang dari jutaan orang. Ditambah matching fund oleh pemerintah senilai yang sama,” jelas Andi.
Dengan demikian maka parpol akan memiliki kecenderungan utang budi langsung kepada rakyat karena mereka membantu secara langsung biaya kampanye.
Jika ditemukan partai yang melanggar batasan biaya kampanye politik langsung ditindak tegas. Ada sanksi yang menunggu yang akan mengancam keberlangsungan parpol.
“Bukan kemudian obatnya kembali ke sistem tertutup. Oligarki partai, yang kemudian menghasilkan money politik dalam partai pada puncak pimpinan partai,” jelas Andi.
Kualitas Caleg yang Tak Memuaskan
Menurut para pemohon, kehadiran sistem pemilu proporsional terbuka hanya akan menguntungkan orang-orang yang populer. Salah satu pemohon, Nono menjelaskan beberapa tokoh artis yang duduk di kursi Senayan yang dinilai hanya bermodal popularitas.
“Walaupun dia caleg kader bagus. Kalau sama artis atau uang bisa kalah. Yang dikalahin Krisdayanti cari saja di Jawa Timur (Ahmad Basarah), salah satu jagoan PDIP," kata Nono.
Ahmad Basarah merupakan Wasekjen PDIP. Ia kalah suara dari Krisdayanti di Dapil V Jatim. Ketika itu, Basarah meraih 104.914 suara. Sedangkan Krisdayanti mendapatkan 131.131 suara. Walau demikian, Basarah tetap lolos ke Senayan.
Kuasa hukum pemohon, Sururudin, menyebut indikator penurunan kualitas para caleg yaitu dengan menurunnya jumlah UU yang dibuat. Berdasarkan penelusuran kumparan, realisasi pengesahan UU mengalami penurunan sejak DPR periode 2009-2014 menjadi di bawah 50% dari target. Ketika itu sistem pemilu proporsional terbuka penuh sudah diterapkan pada Pemilu 2009.
Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto, mengatakan penerapan sistem pemilu proporsional tertutup bisa menghadirkan anggota dewan yang berkualitas.
"Sistem proporsional tertutup menghadirkan anggota dewan based on quality. Ini yang harus kita persiapkan dengan sebaik-baiknya," katanya, Jumat (3/2).
Hadar menyatakan, perdebatan mengenai kualitas caleg yang dianggap menurun ketika sistem proporsional terbuka diterapkan, merupakan tanggung jawab parpol.
Ia menyebut ada peran partai dalam menyeleksi para calegnya sebelum mendaftarkannya untuk bertarung di pemilu. Menurutnya, baik sistem proporsional tertutup atau terbuka, pemilihan caleg merupakan kewenangan utuh parpol.
"Dalam memahami sistem terbuka maupun tertutup jangan dilupakan caleg ini milik siapa, datang dari mana, semua dari parpol. Kalau Anda khawatir dengan caleg-caleg ini ya cari yang bagus. Kalau nyarinya salah, kalau nyarinya pakai duit ya begitu jadinya," jelas Hadar.
Di samping itu, Hadar mengatakan parpol juga mempunyai kewenangan mengganti wakilnya di parlemen melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).
"Benahilah sistem rekrutmen, pengawasannya, sehingga caleg-caleg tidak liar, tidak liberal. Kesalahan di mereka [parpol] dalam mempersiapkan," ucap Hadar.
Kini seluruh pihak sedang menunggu keputusan MK terkait sistem pemilu. Terlepas dari perdebatan proporsional terbuka atau tertutup, Denny Indrayana berharap Pemilu 2024 benar-benar berjalan jujur dan adil.
"Tanpa pemilihan jujur dan adil yang akan tetap berkuasa adalah oligarki yang berdiri dengan kekuasaan. Dan itu menghadirkan Indonesia yang makin koruptif dan jauh dari sistem demokrasi," tutup Denny.