Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Dinilai Hambat Kiprah Anak Muda di Pileg

6 Januari 2023 23:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilu dengan sistem proporsional tertutup banyak menuai penolakan. Adapun wacana penerapan sistem pemilu tersebut kembali hidup setelah adanya gugatan judicial review (JR) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
Politikus PKB Rivqy Abdul Halim berpandangan, jika sistem pemilu proporsional tertutup dianut Indonesia, maka peran partai akan terlalu dominan. Sebab partai dapat penentuan siapa saja caleg-caleg mewakilinya.
"Sistem proporsional tertutup berpotensi memunculkan oligarki pengurus partai dalam menentukan komposisi caleg yang bernomor urut atas. Sehingga menghambat anak muda, aktivis dan para milenial untuk berkompetisi di pileg,” kata Rivqy, kepada wartawan, merespons ramainya penolakan sistem proporsional tertutup, Jumat (6/1)
Proporsional tertutup artinya pemilih hanya memilih partai, tak ada nama calon anggota legislatif.
Sementara dalam sistem pemilu proporsional terbuka, seperti yang saat ini diterapkan, memungkinkan bagi pemilih dapat memberikan suara bagi calon anggota dewan yang berkandidasi secara langsung. Sehingga, suara pemilih langsung tersalurkan, tanpa harus didistribusikan partai ke sosok tertentu.
ADVERTISEMENT
Rivqy menilai Sistem Pemilihan Proporsional tertutup tidak sesuai dengan semangat demokratisasi. "Sistem proporsional tertutup akan mengurangi kualitas demokrasi kita,” tutur Rivqy.
Selain itu, sistem proporsional tertutup dinilai akan menghambat aspirasi masyarakat. Sebab, para wakil rakyat tidak memiliki ikatan emosional khusus yang kuat dengan konstituennya.
"Sistem proporsional tertutup akan semakin mengeksklusifkan para wakil rakyat dari konstituen karena anggota legislatif terpilih tidak merasa memiliki emosional khusus dengan masyarakat,” terangnya.
Lebih jauh, ia berpendapat, pilihan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka sebenarnya upaya untuk membuka partisipasi rakyat sebagai pemilih untuk turut menentukan siapa wakil rakyat yang dikehendaki.
"Segala kekurangan yang ada dalam perjalanan sistem Proporsional terbuka kita justru menjadi PR kita bersama untuk terus diperjuangkan agar kita benar-benar memperjuangkan nilai Demokrasi yang kita cita-citakan,” pungkas Rivqy.
ADVERTISEMENT
Kini, sebanyak 8 fraksi di Senayan tegas menolak sistem proporsional tertutup kecuali PDI Perjuangan.
Aktivis yang tergabung dalam Masyarakat Madani melakukan aksi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/10/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Adapun terkait gugatan di MK, saat ini tengah diajukan oleh enam orang pemohon, dua di antaranya kader parpol dan tiga warga non-parpol.
Berikut daftarnya:
Dikutip dari laman MK, dalam gugatannya, para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Para pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.