Siswa Tak Hormat Bendera di Batam Skors 1 Tahun, KPAI Anggap Tak Lazim

10 Desember 2019 22:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bendera Merah Putih Foto: Mufidpwt/Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Merah Putih Foto: Mufidpwt/Pixabay
ADVERTISEMENT
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyayangkan keputusan SMPN di Batam yang memberi sanksi skorsing satu tahun kepada 2 siswa karena menolak hormat bendera saat upacara. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, menilai hukuman tersebut berpotensi melanggar hak anak.
ADVERTISEMENT
"Skorsing 1 tahun merupakan hal yang sangat tidak lazim dan mungkin kejadian pertama di Indonesia," ujar Retno dalam keterangan tertulis yang diterima kumparan, Selasa (10/12).
Kedua siswa tersebut sebelumnya dikenakan hukuman dikeluarkan dari sekolah dan dimutasi ke PKBM. Namun, hasil rapat terakhir pada jumat (29/11) memutuskan, sanksi tersebut diralat dan diganti dengan sanksi skorsing selama satu tahun.
Padahal, Retno mengingatkan, kedua siswa tersebut tetap mengikuti upacara bendera. Yang tidak mereka lakukan hanya mengangkat tangan hormat saat bendera dikibarkan. Sebab, keduanya memiliki keyakinan ajaran agama bahwa hormat bendera sama saja dengan menyembah Tuhan.
"Memberi sanksi skorsing 12 bulan berarti kedua siswa tidak mendapatkan haknya mendapatkan pembelajaran di sekolah dan kehilangan kesempatan mengembangkan potensi dirinya sebagaimana dijamin oleh peraturan perundangan di negeri ini," kata Retno.
ADVERTISEMENT
Komisioner bidang pendidikan Retno Listyarti saat konferensi pers tentang KPAI di awal 2019 mencatat banyaknya kasus-kasus anak di bidang pendidikan, Jakarta, Jumat (15/2/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Apalagi, kata Retno, sanksi diberikan saat semester ganjil tahun ajaran 2019/2020 hampir berakhir. Kedua anak yang disanksi berpotensi tidak naik kelas, lantaran tak mengikuti kegiatan belajar mengajar semester genap imbas skorsing.
"Kedua, baru masuk kembali di semester genap tahun ajaran 2020/2021, yang berarti tidak memiliki nilai di semester ganjil tahun tersebut. Artinya, keduanya tidak naik kelas 2 kali atau 2 tingkatan. Tentu hal ini melanggar hak-hak anak dan berpotensi kuat menimbulkan trauma psikologis pada kedua anak tersebut," imbuh Retno.
Retno juga menyayangkan campur tangan TNI-Polri dalam rapat koordinasi yang berlangsung di ruang kepala sekolah. Dalam UU Sisdiknas dan UU Guru Dosen, memberi sanksi dan nilai merupakan hak prerogatif sekolah melalui mekanisme Rapat Dewan Guru, bukan melalui rapat koordinasi yang dihadiri dinas pendidikan dan unsur militer serta kepolisian.
ADVERTISEMENT
"Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional tentu saja hal ini merupakan pelanggaran dari otonomi sekolah. Pemberian sanksi terhadap peserta didik, dalam UU Guru Dosen juga dibatasi, yaitu harus bersifat mendidik, sesuai kode etik guru dan tidak melanggar peraturan perundangan lainnya," ujar Retno.
Oleh karena itu, KPAI merekomendasikan agar sanksi tersebut dikaji kembali oleh pihak sekolah dan Dinas Pendidikan kota Batam. Menurutnya, penyelesaian masalah ini tidak mesti diselesaikan dengan berfokus pada hukuman.
"Namun justru malah tidak berfokus mengedukasi siswa dan kedua orang tuanya untuk memahami perbedaan antara menghormat bendera sebagai kecintaan pada sebagai warga negara yang baik dengan menyembah Tuhan YMK yang merupakan bentuk kecintaan sebagai umat beragama yang taat," tuturnya.
ADVERTISEMENT