Soal Evaluasi Pilkada, Tito Cerita Tangani Konflik Berdarah di Papua

25 November 2019 14:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Dalam Negeri RI Tito karnavian saat melakukan rapat bersama dengan Komite 1 DPD RI. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Dalam Negeri RI Tito karnavian saat melakukan rapat bersama dengan Komite 1 DPD RI. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Mendagri Tito Karnavian kembali mengklarifikasi perihal wacana evaluasi Pilkada langsung. Tito menegaskan tak pernah mengatakan akan mengembalikan pilkada langsung ke DPRD, melainkan lewat evaluasi dan kajian akademik terhadap pelaksanaan pilkada langsung.
ADVERTISEMENT
Menurut Tito, Pilkada langsung perlu dievaluasi bukan saja karena dampak mahalnya politik uang dan dampak kepala daerah menjadi korup, tapi juga ada dampak konflik gara-gara Pilkada langsung.
"Evaluasi yang saya maksud sebetulnya muncul dari pengalaman saya sebagai Kapolri 3 tahun 3 bulan, Kapolda di Papua 2 tahun, kemudian di (Polda) Metro Jaya selama setahun," ujar Tito dalam acara Anugerah Penghargaan Ormas 2019 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Senin (25/11).
Mendagri Tito Karnavian di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Senin (25/11). Foto: Maulana Ramadhan/kumparan
Tito mengaku setuju dengan semangat yang dimunculkan dalam sistem pilkada langsung, yakni partisipasi masyarakat untuk memilih pemimpin secara langsung. Namun, ia mengatakan, pilkada langsung juga berpotensi adanya konflik politik.
"Tapi dalam perjalanannya saya kira kita tidak boleh menutup mata adanya beberapa ekses yang negatif, di antaranya potensi konflik," kata Tito.
ADVERTISEMENT
Eks Kapolri itu lalu bercerita pengalamannya saat menjabat Kapolda Papua. Saat itu, kata Tito, pelantikan bupati bisa tertunda karena adanya konflik antarsuku.
"Waktu saya masuk ke Papua, 2012. Kabupaten Puncak yang sekarang dilantik jadi Bupati, empat tahun tertunda karena perang suku antara Ilaga dan Gome. Ini laporan meninggal dunia ratusan orang, terluka. Belum lagi di tempat lain," jelasnya.
Ilustrasi pemungutan suara di TPS Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Selain itu, Tito juga menyinggung soal polarisasi pemilih yang dapat menimbulkan konflik di masyarakat. Hal ini juga sesuai dengan pengalaman Tito saat memimpin operasi anti teror di daerah konflik Poso, Sulawesi Tengah, pada 2007 silam.
"Jadi ada ekses negatif. Keterbelahan masyarakat, polarisasi dalam menentukan pilihan yang dilakukan dengan cara violence, kekerasan, jatuh korban. Pengalaman saya, dua tahun di Poso, sekali ada korban, itu akan panjang ceritanya," jelas Tito.
ADVERTISEMENT
Tito juga kembali menyoroti tingginya biaya yang ditimbulkan karena pilkada langsung, baik oleh calon kepala daerah ataupun penyelenggara.
"Sehingga yang saya sampaikan adalah mungkin perlu dilakukan evaluasi karena adanya ekses negatif ini. Tapi saya tidak pernah mengatakan sekalipun kembali ke DPRD," tuturnya.
Tito menjelaskan, kajian akademik terhadap pilkada langsung sebaiknya dilakukan lembaga-lembaga independen bukan Kemendagri, agar kajian-kajian itu tidak bersifat subjektif.
"Apa kira-kira temuannya? kita enggak tahu, bisa saja temuannya masyarakat menghendaki tetap pilkada langsung. Apa respons Kemendagri? No problem, itu hasil kajian akademik, kita dukung. Tapi harus ada solusi how to reduce the damage. Bagaimana mengurangi dampak negatifnya," pungkas Tito.