Soal Foto Pria Bugil di Aceh, Google Disarankan Tidak Andalkan Mesin

4 November 2019 11:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto pria telanjang protes hukum syariah muncul dilayanan Google Map. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Foto pria telanjang protes hukum syariah muncul dilayanan Google Map. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Google kembali bermasalah dengan warga Aceh. Setelah sebelumnya Google Terjemahan menampilkan frasa bernada rasis saat menerjemahkan bahasa Jawa dan Melayu ke bahasa Indonesia, kini giliran Google Maps yang dinilai menyudutkan Aceh.
ADVERTISEMENT
Sebab muncul foto seorang pria bule telanjang bulat saat membuka maps Banda Aceh. Foto pria mengenakan topi dan kacamata itu, muncul di bagian sudut bawah hasil pencarian lokasi Banda Aceh di Google Maps. Tangan kanannya memegang tongsis (tongkat narsis), sementara tangan kiri menunjukkan sebuah tulisan tentang sikapnya memprotes hukuman syariah.
"Protest Sharia Law," tulis pria itu di atas telapak tangan menggunakan pulpen.
Direktur Eksekutif Masyarakat Informasi Teknologi (MIT) Aceh, Teuku Farhan. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Direktur Eksekutif Masyarakat Informasi Teknologi (MIT) Aceh, Teuku Farhan, meminta perusahaan teknologi Google itu tidak hanya mengandalkan mesin, tapi sebagai perusahaan profesional seharusnya memiliki tim verifikasi.
“Manusia memiliki rasa, kebijaksanaan. Hal ini yang tidak pernah dimiliki oleh mesin. Google jangan hanya mengandalkan mesin,” katanya saat dihubungi kumparan, Senin (4/11).
ADVERTISEMENT
Google menerapkan sistem partisipasi pengguna dengan menu kirim masukan. Akan tetapi menurutnya sangat disayangkan jika mereka tidak memiliki tim verifikasi sehingga foto pria telanjang itu bisa muncul ke publik.
“Jangan sampai Google turut menjadi sumber penyebaran hoaks dan rasisme. Karena Google saat ini telah menjadi sumber referensi awal bagi pengguna internet,” katanya.
Farhan menyarankan perusahaan Google memberikan reward kepada masyarakat yang melaporkan kelemahan sistemnya. Tidak hanya memberikan reward bagi penemu celah yang tidak aman dalam sistem (bug/Vulnerability Reward).
“Mereka sudah terlalu serakah dan besar, beginilah dampaknya. Besar pemasukan, besar pula risikonya. Monopoli di semua lini digital, tapi tanpa kontribusi kepada komunitas di daerah,” ungkapnya.
Sebelumnya Google Indonesia telah mendapatkan surat terbuka dari seorang warga Aceh bernama Haikal Afifa. Surat terbuka itu berisi keberatan Haikal terhadap layanan Google Translate yang dianggap menampilkan frasa bernada rasis.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini ihak Google Indonesia menyampaikan permintaan maafnya dan mengakui adanya kesalahan pada terjemahan di Google Translate.