Soal Sedekah Laut, Tradisi Jawa Dibalut Budaya yang Harmonis

14 Oktober 2018 20:09 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
KRT Rintaiswara, Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punakawan  (KHP) Widyabudaya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
 (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
KRT Rintaiswara, Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Widyabudaya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
ADVERTISEMENT
"Ajining diri soko lathi, ajining diri soko busono, ajining bangsa soko budoyo," kalimat tersebut terucap dari KRT Rintaiswara, Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Widyabudaya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat saat ditemui wartawan usai mengisi sarasehan budaya dengan tema Hajad Dalem Labuhan di Balai Desa Pleret, Bantul, DIY, Minggu (14/10).
ADVERTISEMENT
Rintaiswara merupakan seorang abdi dalem keraton yang sehari-hari berkutat dengan sejarah Kraton Ngayogyakarta dan juga budaya di Yogyakarta. Ia juga sering melayani mahasiswa yang ingin belajar atau menyusun skiripsi seputar sejarah keraton.
Tentang kisruh dan perusakan properti Sedekah Laut di Pantai Baru, Bantul, oleh sekelompok orang, Rintaiswara memang enggan berkomentar panjang lebar. Namun lewat kisahnya, ia menyampaikan bahwa melalui tradisi ini menandakan religiusitas masyarakat Jawa itu sendiri.
"Sebagai orang Jawa kita mestinya harus tahu budaya Jawa. Supaya tidak apriori terhadap budaya Jawa kita sendiri. Baik yang berupa seni apa pun, seni tari, seni suara, seni tradisi, macam-macam. Itu sebetulnya tradisi yang dilaksanakan di Jawa itu adalah menandakan orang Jawa adalah orang yang religius," ujarnya.
Pantai Baru, Bantul. (Foto: Instagram/@itjustanotherholiday)
zoom-in-whitePerbesar
Pantai Baru, Bantul. (Foto: Instagram/@itjustanotherholiday)
Ia mencontohkan, bagaimana hari lahir Nabi Muhammad diperingati oleh orang Jawa dengan tradisi sodakoh atau sedekah. Pun demikian ketika hari ke-21 puasa Ramadan maka masyarakat Jawa juga akan menyongsong datangnya malam lailatulqodar.
ADVERTISEMENT
"Hari-hari penting dalam ajaran Islam bagi orang Jawa diperingati dengan membuat sedekah. Hal-hal seperti ini mulai tergerus modernisasi, globalisasi, rasionalisasi, arus pemahaman agama yang istilahnya saklek. Terus dibabat dengan tidak ada tuntunannya," jelasnya.
Menurutnya, semestinya agama dan budaya bisa digunakan masyarakat. Misalnya, dalam adab makan dan minum. Dari sisi agama, setiap orang wajib berdoa sebelum makan dan minum. Sementara, dari sisi budaya mengajarkan bagaimana sikap seseorang saat makan minum seperti cara duduk.
"Ya makan harus yang berbudaya, makan pelan-pelan tidak sambil ngomong, duduk yang sopan. Itu adalah perpaduan agama dan budaya. Mestinya idealnya orang beragama ya berbudaya. Kehidupan kita gersang tanpa itu. Contoh pernikahan kan cuma pengantin, wali, dan saksi menurut agama sudah sah. Tapi kalau ada tarub, manten dihias, sungkeman itu kan istilahnya budaya. Tidak dilarang," bebernya.
KRT Rintaiswara, Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punakawan  (KHP) Widyabudaya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
 (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
KRT Rintaiswara, Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Widyabudaya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan)
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan pilar bangsa. Keberagaman juga tetap harus senantiasa dihormati.
ADVERTISEMENT
"lah ya itu padahal salah satu tiang pilar kan kebudayaan. Kawulo Ngayogyakarta itu harus menjadi kawula yang berbudaya. Sopan santun, unggah-ungguh, toto kromo (tata krama). Terserah mau (perusakan properti Sedekah Bumi) dibilang mencinderai atau apa, tapi itu menyimpang dari pilar kebudayaan," tegasnya.
"Kebebasan mereka yang mengadakan (Sedekah Bumi) dijamin oleh negara semestinya. Main hakim sendiri itu tidak menjaga toleransi," pungkasnya.
Sementara itu, Putri Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu yang juga menjadi narasumber dalam acara sarasehan budaya enggan berkomentar tentang insiden perusakan acara tradisi masyarakat Sedekah Bumi. Meski begitu, ia mengatakan kegiatan seperti ini akan terus digelar sebagai sarana berbagi pengetahuan dengan masyarakat.
"Makanya ada pameran-pameran begini untuk sharing pengetahuan. Yang penting intinya acara sarasehan seperti ini tidak akan menjadi terakhir. Misinya medsos Keraton Yogya adalah berbagi ilmu untuk masyarakat yang lebih muda dengan informasi yang lebih mudah dicerna. Kita akan memperbanyak sharing knowledge tentang budaya dari dalam keraton ke luar," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, di zaman canggih seperti ini setiap orang terlebih generasi muda sudah paham akan gawai. Informasi dari lokal, nasional, hingga internasional masuk tanpa bisa dibendung. Untuk itu selain melalui teknologi, pihaknya juga menyajikan sumber yang berkompeten seperti KRT Rintaiswara.
"Semua wis overload tinggal gimana budaya Jawanya sendiri, informasinya (harus) sama banyaknya dengan budaya-budaya luar yang masuk. Dulu misalnya tentang keraton kan enggak ada source secara resmi, entah itu sumbernya siapa dari mana. Jadi yang penting bagaimana narasi yang ke luar sama banyaknya dengan dari luar yang masuk. Sehingga istilahnya kalau di-search di search enggine iki ya metu (ya keluar)," pungkasnya.