Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Soe Tjen Marching, Dosen SOAS University dan Mimpinya Mengajar di RI
8 Februari 2022 15:19 WIB
·
waktu baca 6 menitTerletak di Bloomsbury, di pusat akademik London, Inggris , SOAS University of London merupakan pusat studi tentang Asia, Afrika dan Timur Tengah. Kampus tersebut adalah tempat terbaik untuk belajar ilmu sosial-humaniora.
Soe Tjen Marching, lahir 23 April 1971 di Surabaya , Jawa Timur . Ia merupakan seorang akademisi, penulis, aktivis, feminis dan tercatat pernah menjadi komposer untuk kompetisi internasional Avant-Grade di Singapura dan terpilih menjadi salah satu komponis terbaik pada saat itu. Di balik bakatnya dalam bermusik, Soe Tjen juga memiliki kemampuan menulis yang luar biasa.
Beberapa buku yang pernah ia terbitkan di antaranya, The Discrepancy Between the Public and the Private Selves of Indonesian Women (2007), Mati, Bertahun yang Lalu (2010), Kubunuh Di Sini (2013), The End of Silence: Accounts of the 1965 Genocide in Indonesia (2017), dan Dari Dalam Kubur (2020).
Soe Tjen Marching mendapatkan gelar Ph.D di Monash University, Australia dalam bidang kajian Asia Tenggara. Sebelum menjadi Dosen Senior bidang Bahasa dan Kebudayaan di SOAS University of London, dia juga sering diundang untuk menjadi dosen tamu di berbagai universitas di Australia, Inggris, dan tentu saja Indonesia.
Ketertarikannya dalam dunia akademis berada di bidang sastra, kajian gender Indonesia, literatur Indonesia, dan sejarah perpolitikan Indonesia. Soe Tjen Marching sudah mengajar di SOAS University of London sejak tahun 2016.
Lika-liku Kehidupan Soe Tjen Masa SMA
Ketertarikannya dalam dunia pendidikan diakui oleh Soe Tjen sudah muncul saat ia mulai mencoba mengasah pola berpikir kritisnya ketika duduk di Sekolah Menegah Atas (SMA) . Soe Tjen muda kala itu bersekolah di salah satu sekolah swasta di Surabaya. Ia pernah 'nakal', karena seringkali lari dan memilih tidak mengikuti kelas di sekolahnya.
Soe Tjen punya alasan sendiri kenapa dia sering melakukan itu. Ia mengaku bahwa tindakannya merupakan bentuk atas ketidaksetujuan, lantaran ia menemukan beberapa kecurangan yang tidak adil dalam sekolah tersebut.
"SMA itu terbilang cukup favorit dan lumayan elite pada waktu itu. Tapi, orang tua saya kan bukan orang tua kaya. Jadi waktu guru-gurunya buka les, orang tua saya gak mampu bayar. Mahal, gila-gilaan lesnya. Ternyata di les itu, murid-muridnya dikasih soal yang mirip gitu loh sama soal ulangan. Jadi, murid yang les-les itu dapet nilai yang bagus-bagus," jelas Soe Tjen saat dihubungi kumparan (7/2).
Soe Tjen mengaku, ia menjadi remaja yang marah atas peristiwa kecurangan yang terjadi. Baginya, hal tersebut sangat penuh kelicikan dan manipulasi. Semenjak itu, Soe Tjen sering lari dari sekolah dan mulai belajar-belajar sendiri. Hal ini yang dilihat Soe Tjen bahwa cara belajar mandirinya, membuat ia berpikir lebih kritis.
"Ada bersyukurnya, sejak itu saya jadi belajar-belajar sendiri. Justru dari situ saya merasa lebih kritis. Mungkin beda kalau saya anak orang kaya raya yang semuanya gampang, mungkin beda lagi. Saya bisa diikuti les ke guru-guru, mungkin saya gak akan jadi seperti ini," tambahnya.
Dari dinamika kehidupan Soe Tjen masa SMA yang cukup pelik, membuat ia berada di posisi ranking 3 dari belakang. Seperti siswa pada umumnya, Soe Tjen sempat merasakan kesedihan yang luar biasa dan tak habis pikir dengan dirinya yang mendapat ranking 3 dari bawah.
Kanker Bukan Hambatan Perjalanan Akademis Soe Tjen di Beberapa Negara
Soe Tjen Marching mendapatkan gelar sarjananya di Universitas Kristen Petra, Surabaya bidang Sastra Inggris. Saat itu, ia sudah memiliki keinginan agar tidak hanya kerja dan mencari duit saja, tetapi harus menjadi seorang penulis.
Kekhawatiran hidup 'kere' di tengah idealisme-nya sebagai seorang penulis, kerap menghantui Soe Tjen saat itu. Namun, ketakutannya tidak cukup kuat untuk mengalahkan prinsip Soe Tjen yang begitu besar.
"Saya terus ingin bisa menulis. Bagi saya tulisan itu harus bisa mengubah masyarakat dan mengubah secara sosial. Saya merasa itu keberhasilan saya. Jadi, cita-cita saya bisa terus menulis, tulisan saya bisa dibaca, dan mendorong perubahan," jelas Soe Tjen Marching.
Setelah mendapatkan gelar sarjana, Soe Tjen berkesempatan mengenyam pendidikan master di University of Canterbury, Selandia Baru dengan bidang yang sama. Ia mendapatkan beasiswa sebagian di universitas tersebut.
Setelah lulus, Soe Tjen Marching dengan mulus melanjutkan pendidikannya untuk mendapatkan gelar Ph.D. Dia berhasil menuntut ilmu di Monash University, Australia dengan beasiswa penuh.
Ternyata perolehan gelar Ph.D Soe Tjen harus terhambat, lantaran ia divonis mengidap kanker. Soe Tjen juga harus rela tidak bisa bekerja terlalu padat, karena tubuhnya yang sakit akibat efek dari pengobatan kanker yang ia jalani. Ia hanya bekerja sebagai dosen 1 minggu sekali di Melbourne University.
Beberapa waktu kemudian, suami dari Soe Tjen yang juga seorang akademisi (saat ini Profesor di Queen Mary University of London), mendapatkan tawaran untuk menjadi pengajar di Inggris. Mereka berdua pun pindah ke London. Ternyata di sana, Soe Tjen harus kembali mengidap kanker yang disertai vonis bahwa umurnya hanya tersisa 1 tahun.
"Sampai tahun 2011 itu saya dibilangin sama dokter kalau saya itu mau mati. Umur saya tinggal 1 tahun. Ternyata saya gak jadi mati ya. Dokter di sini ternyata juga ada kekeliruan, salah diagnosa. Ternyata saya masih hidup, malah kankernya sekarang gak muncul-muncul lagi," kata Soe Tjen.
Setelah dinyatakan sembuh, Soe Tjen mencoba peruntungannya dengan melamar di SOAS sebagai seorang dosen. Ia pun tidak banyak berharap, karena sadar saingannya yang cukup banyak. Pada akhirnya, di tahun 2016 Soe Tjen diterima menjadi dosen tetap di universitas tersebut.
Catatan bagi Sistem Pendidikan di Indonesia
Meskipun bertahun-tahun Soe Tjen membangun kariernya sebagai seorang akademisi di luar negeri, ia dengan penuh semangat menyampaikan keinginannya untuk bisa kembali ke Indonesia dan mengajar.
Menurutnya, dunia pendidikan di Indonesia masih sangat kurang dalam membangun kemampuan untuk berpikir kritis. Soe Tjen melihat, terutama bagi mahasiswa di Indonesia yang masih sangat kurang dalam mengasah pola pikir kritisnya. Banyak di antara mereka yang masih bingung dalam mengutarakan opini dan berpikir mandiri.
"Di Indonesia terus terang yang masih diutamakan itu dogma. Dogma menghafal ini. Pokoknya yang diterapkan itu hanya aturan. Lebih diterapkan daripada berpikir kritis," kata Soe Tjen Marching.
Ia juga menambahkan bahwa menghafal adalah tingkat intelektual yang cukup rendah.
"Saya gak bilang menghafal itu tidak penting. Menghafal itu penting, tetapi itu tingkat intelektual yang cukup rendah," tambahnya.
Meski begitu, Soe Tjen mengaku akan sangat senang bila diminta untuk kembali ke Indonesia.
"Saya ingin sekali mengajar di Indonesia. Bagi saya mengajar di Indonesia memberi kepuasan yang jauh lebih besar daripada mengajar di sini. Meskipun gaji lebih rendah, asal cukup untuk biaya hidup, saya mau kok pulang. Asal suami saya mau, masa suami saya mau ditinggal, hehe," tegas Soe Tjen.