Sopir Taksol Wajib Ber-KTP Bali untuk Beroperasi Dinilai Tak Bisa Diterapkan

5 Februari 2025 14:31 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Foto: Sena Pratama/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Foto: Sena Pratama/kumparan
ADVERTISEMENT
Pengamat transportasi menilai wacana sopir taksi online (taksol) nonkonvensional yang beroperasional di Bali wajib memiliki KTP Bali tidak bisa diterapkan. Hal ini lantaran KTP berlaku secara nasional.
ADVERTISEMENT
"Harus KTP Bali apa dasar hukumnya? Dan KTP kan berlaku nasional," kata Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah Bali, I Made Rai Ridharta saat dihubungi, Rabu (5/2).
Ridha menjelaskan, Indonesia tak memiliki aturan yang membatasi akses transportasi sesuai wilayah administrasi kependudukan. Pemerintah menjamin seluruh masyarakat berhak mendapatkan aktivitas kehidupan sosial sama.
Pemerintah mengatur syarat operasional baik untuk kendaraan dan sopirnya, tarif dan lain sebagainya. Untuk taksi atau ojek online di antaranya adalah kendaraan menggunakan pelat daerah dan sopir taksi memiliki surat domisili.
Hal ini tertuang dalam Permenhub Nomor PM 117 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek, Permenhub nomor 118 tahun 2018 tentang penyelenggaraan layanan angkutan sewa khusus dan Pergub Bali Nomor 40 tahun 2019 tentang layanan angkutan sewa khusus berbasis aplikasi.
ADVERTISEMENT
"Bali enggak bisa membuat dasar hukum tersendiri tanpa ada cantolan (aturan hukum) di atasnya apalagi transportasi tidak dibatasi wilayah administrasi. Kalau dipaksakan, kemudian orang Bali yang kerja di luar Bali dipaksa untuk pindah KTP, gimana? Padahal mereka enggak perlu pindah karena hanya bekerja beberapa waktu," katanya.
Menurutnya, yang menjadi persoalan bukan masalah sopir taksi atau ojol bukan ber KTP Bali atau tidak. Namun, kendaraan yang beroperasi tak memenuhi syarat.
Misalnya, kendaraan tak berpelat daerah Bali atau DK dan kendaraan yang beroperasional tak sesuai dengan jenis kendaraan tercatat di aplikator.
Selain itu, aplikator memfasilitasi kendaraan beroperasional tak memenuhi syarat. Masyarakat juga tidak bisa membedakan kendaraan yang resmi dan ilegal.
"Ada juga katanya ditemukan aplikator yang memfasilitasi pemohon yang tidak memenuhi persyaratan. Jadi, sepanjang memenuhi persyaratan saya kira legal dan siapa pun bisa yang mau berusaha namun sesuai peraturan tidak jadi soal dan yang melanggar mestinya ditindak," katanya.
ADVERTISEMENT
Dia merekomendasikan Pemprov mensurvei jumlah taksi online legal dan ilegal serta jumlah kebutuhan transportasi untuk mencari jalan tengah polemik ini. Melalui survei itu bisa dicarikan suatu solusi menampung seluruh aspirasi masyarakat.
Beberapa di antaranya adalah memprioritaskan sopir yang memiliki KTP Bali. Ini karena sopir yang memiliki KTP Bali sudah memiliki tempat tinggal tetap di Bali, kendaraan yang masih ilegal diminta mengurus izin operasional ke aplikator sesuai kuota transportasi Bali, atau pembatasan pemberian izin operasional oleh aplikator.
"Pemerintah perlu membuat survei berapa beroperasi yang legal dan yang ilegal. Harus ada angka, apakah Bali sudah memenuhi kuota atau sudah penuh atau masih kurang, kalau sudah penuh pasti tidak keluar perizinan,"
"Yang beroperasi ini apakah tidak difasilitasi perizinannya karena sudah penuh, karena ada juga yang beroperasi tanpa izin ini orang Bali kan? Persoalannya, apakah ini akan ditampung semua, bagi yang belum berizinan bagaimana, ini perlu pembahasan," katanya.
ADVERTISEMENT

Demo Sopir Taksi Konvensional

Diberitakan sebelumnya, ratusan sopir taksi konvensional yang tergabung dalam Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali menggeruduk kantor DPRD Bali, Senin (6/1). Mereka mendesak pembatasan kuota taksi online (taksol) di Pulau Dewata.
Pertimbangannya adalah maraknya taksi online berpelat non DK beroperasional dan sumber kemacetan di Bali. Mereka juga menyoroti ada WNA yang menjadi pemandu wisata hingga menjemput wisatawan di Bandara Ngurah Rai.
Salah satu tuntutan mereka dalam upaya pembatasan taksol adalah menuntut sopir taksi yang beroperasional wajib ber-KTP Bali.
Merespons hal ini, Perkumpulan Transportasi Online Bali (PTOB) menolak wacana sopir taksi online yang beroperasional wajib menggunakan KTP Bali. Aturan ini dinilai sangat diskriminatif.
Aryanto juga tak sepakat apabila keberadaan taksi online disebut menjadi biang kerok kemacetan di Bali. Dia meminta pemerintah mengkaji hal ini.
ADVERTISEMENT
"Jika aturan ini sampai gol, jelas ini berpotensi menimbulkan perpecahan dan ini tidak berdasarkan asas keadilan. Saat ini transportasi online sering jadi kambing hitam masalah kemacetan. Statement itu tidak memiliki data dan kajian," katanya.
Sementara itu, Kadishub Bali IGW Samsi menuturkan, akan melakukan kajian untuk mencari solusi polemik antara sopir taksi konvensional dan daring ini.
"Kami akan kaji dulu," katanya.