Sosiolog UGM: Ada Tren Pengembalian Dwifungsi ABRI seperti Orde Baru

18 Februari 2025 10:11 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Universitas Gadjah Mada (UGM).  Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Universitas Gadjah Mada (UGM). Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sosiolog UGM yang juga Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Muhammad Najib Azca, menduga ada upaya mengembalikan Dwifungsi ABRI seperti masa Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Dugaan ini muncul dengan upaya memperluas jabatan bagi militer melalui revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
"Dwifungsi ABRI ini sudah dihilangkan. Sekarang ini sudah mulai dimunculkan kembali bahkan sejak periode kedua pemerintahan Jokowi. Belakangan semakin meluas di pemerintah Presiden Prabowo," kata Najib dalam keterangan tertulis, Selasa (18/2).
Contoh terkini adalah diangkatnya Perwira Tinggi TNI AD, Novi Helmy Prasetya, sebagai Direktur Utama Bulog yang timbulkan kontroversi lantaran jabatan itu tak bisa diisi tentara aktif, meski Novi disebutkan telah berhenti dari dinas kemiliteran.
Najib menjelaskan sesuai konstitusi, prajurit militer hanya boleh mengisi jabatan di pemerintahan di sektor pertahanan serta keamanan. Di antaranya Badan Intelijen Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, dan Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, menurut Najib, pada pertengahan 2024 ada dua pasal yang diubah dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yakni Pasal 47 dan 53 ditambahkan klausul “Kementerian dan lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden".
Sosiolog UGM Muhammad Najib Azca. Foto: UGM
Dari klausul itu, ketika prajurit militer mendapat izin presiden dia dapat mengisi posisi di pemerintahan maupun sektor sipil tanpa harus mengundurkan diri dari jabatan militernya.
Lanjutnya, Revisi UU TNI ini telah disetujui oleh seluruh fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Sidang Paripurna Mei 2024 lalu.
"Revisi ini harus dicermati betul-betul. Jangan sampai hanya memberikan cek kosong kepada pemerintah untuk mengisi apa saja jabatan yang diperlukan. Harus ada diskusi publik yang serius," terangnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang menganggap militer merupakan nilai-nilai superior, sehingga penolakan terhadap perluasan jabatan militer ini belum mendapat respons maksimal dari masyarakat.
"Ada keyakinan militerisme, di mana nilai-nilai militer dianggap punya kelebihan dibanding sipil. Perlu ada upaya de-militerisme untuk menyadarkan masyarakat bahwa urusan sipil tidak memerlukan militer," jelas Najib.
Najib menilai partai politik harus berperan sebagai representasi politik publik serta menegaskan sektor sipil tak perlu diisi militer. Partai politik juga perlu mendukung de-militerisme.
"Militer harusnya tetap ditempatkan dalam fungsi pertahanan. Meskipun ada wilayah non-militer yang bisa diberikan, jangan sampai batasan-batasan dihilangkan hingga seolah membangkitkan kembali sistem di era Orde Baru," ucapnya.