Sosiolog Ungkap 2 Faktor Pemicu Marak Anak Gugat Orang Tua Kandung

26 Januari 2021 19:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ilustrasi anak-anak mencium tangan orang tua sebelum berangkat sekolah Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi anak-anak mencium tangan orang tua sebelum berangkat sekolah Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini kasus anak menggugat orang tua kandungnya ke pengadilan termasuk melaporkan kepada polisi marak terjadi. Sebagian besar dipicu karena harta warisan, seperti harta warisan, mobil hingga KDRT.
ADVERTISEMENT
Lantas mengapa akhir-akhir fenomena ini marak terjadi?
Terkait hal ini, Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono mengatakan, ada dua faktor yang memicu kejadian ini.
"Jadi kalau dari sosiologi memang ada ini ruangnya masuk ruang krisis keluarga. Ketika anak berani kepada orang tua kemudian berasa lebih benar dari orang tua, apa pun kesalahan orang tua kalau dahulu apa pun kesalahan orang tua anak tetap menghormati," kata Drajat, Selasa (26/1).
"Yang menjadi pertanyaan ini kenapa terjadi? Ini menurut saya karena efek perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat milenial," lanjut dia.
Drajat menjelaskan, pertama adanya perubahan dari era modern ke post modern atau meningkatnya otonomi pada individu pada anak. Karena kemajuan teknologi, kini semua orang termasuk anak generasi 90-an sampai 2000-an dapat mendapat informasi secara langsung.
ADVERTISEMENT
"Maksud otonomi itu jadi dengan perkembangannya internet dengan berkembangnya komunikasi setiap anak memiliki akses kepada informasi langsung. Setiap anak punya akses pada penyekatan otoritas norma langsung," jelas Drajat.
"Kalau dahulu informasi macam-macam mulai dari pekerjaan, moral, itu dari bapak ibu termasuk cari pekerjaan bapak ibu juga ikut mengakses termasuk norma. Sekarang saya bisa buka (informasi) tiap waktu pada ustaz terhebat Arie Hidayat di situ langsung ketemu," tambah dia.
Drajat menuturkan, leluasanya anak dalam mengakses informasi ini menjadi faktor pemicu terjadinya anak berani melawan orang tua.
ADVERTISEMENT
Sedangkan faktor kedua atau gejala umum yakni berkembangnya sistem demokrasi di mana prinsip dasar demokrasi adalah kesejahteraan, kesetaraan untuk menghormati pendapat pikiran yang lain.
"Hanya saja demokrasi berkembang ini liberal, setiap orang boleh berpendapat boleh berpikir tidak harus mengikuti norma siapa yamg punya pengetahuan lebih atau otoritas. Ini kan kita liberal, siapa saja boleh berpendapat," ucap Drajat.
"Nah ini masuk ke keluarga, anak-anak pakai hak demokrasi dan pakai dasar bukan hukum sosial kultural tapi dasar normatif tertulis. Ketika dia selesaikan masalah keluarga dengan hukum normatif tertulis, maka di situlah urusan hierarki anak dan orang tua hilang, karena di mata hukum semua orang sama, tergantung dua barang bukti siapa pun bisa dihukum berdasarkan pengaduan," tutur dia.
ADVERTISEMENT
Jika sudah masuk meja hijau, Drajat menjelaskan titik penyelesaian masalah ada di tangan hakim. Namun hakim juga akan mendapat kendala dalam menangani masalah ini karena dia harus memutuskan akan memakai hukum positif saja atau juga memakai hukum substantif.
"Jadi dia (hakim) tidak sekadar pakai hukum tertulis dalam hukum tetapi juga pertimbangan sosiologi, norma itu dia pikirkan. Tentu saja di ruang hukum tidak mudah karena hakim harus mengikuti kitab KUHP, Perdata dan sebagainya," kata Drajat.
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock

Fenomena Anak Gugat Orang Tua Harus Disikapi Secara Serius

Drajat mengatakan, fenomena anak menggugat orang tua ini harus disikapi secara serius. Sebab jika ini terus dibiarkan, maka ke depan akan semakin banyak kasus seperti ini terulang.
ADVERTISEMENT
"Ini akan diuji kekuatan keluarga dan hukum bagaimana meletakkan diri dalam relasi ini. Karena harusnya kalau relasi keluarga kan diselesaikan secara norma sosial kultural dengan tokoh masyarakat. Kalau hukum kan tidak menghitung itu, kalau ada barang bukti, dasarnya barang nanti akan semakin banyak kalau enggak diselesaikan, anak merasa punya hak pribadi, orang tua juga punya hak pribadi," kata Drajat.
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
Dalam hal ini, Drajat menilai keluarga dan negara menjadi faktor kunci untuk memutus fenomena ini. Sehingga ia berharap instansi terkait yang berkaitan dengan masalah ini menyikapi masalah ini secara serius.
"Orang tua, keluarga dan negara, terutama pada hukum di mana politik keberpihakan akan ke demokratis liberal atau lebih ke keluarga ke institusi. Ini kan ikatan sosial sosialitas mekanik istilahnya, itu kalau dipakai rasional hilang, misal orang tua mendidik anak, terus anak dipukul dan lapor polisi, orang tua bisa ditangkap ini kan harus diselesaikan. Negara yang terhubung dengan peranan negara dan yudikatif," tutup Drajat.
ADVERTISEMENT